Searching...

Sabdo Pandito Ratu



Jakarta - Yogyakarta amuk. Pasca Gunung Merapi meletus, kini terjadi ledakan susulan berupa ribut status kota. Secara konstitusional apakah Yogyakarta tetap sebagai daerah istimewa atau menjadi daerah biasa-biasa saja. Inilah geger ngoyak macan di tengah keprihatinan.


Mataram Islam nampaknya harus mengikuti jejak Mataram Hindu. Setelah terpecah akibat Perjanjian Giyanti dan dibelah Perjanjian Salatiga, kini 'kerajaan' ini sudah mendekati akhir untuk terhapus dalam sejarah. Itu bukan tidak mungkin. Sebab sekarang saja sudah jarang yang tahu masalalu bangsa ini. Dari berbagai etnis kebhinekaan kita.



Mataram Hindu (abad sembilan) sudah tak dikenali. Nama-nama seperti Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Raja Wawa atau Kerajaan Colomadu sangat asing diperbincangkan. Nama yang tersurat dalam Prasasti Kedu itu hanya sebagian kecil orang yang paham.



Bahkan letak persis kota dari pemerintahan dinasti Sanjaya itu pun belum terlacak. Hanya samar-samar disebut di beberapa wilayah Kota Gudeg, dan belum diketahui letak persisnya. Untung ada Candi Roro Jonggrang dan candi-candi kecil di sekitaran daerah ini yang diasumsikan dibangun masa itu, maka nama kerajaan besar itu masih acap terdengar.



Begitu juga kerajaan sebesar Majapahit juga bernasib sama. Kerajaan pemangku konsep Nusantara dengan cakupan wilayah Afrika, seluruh Asia Tenggara dan Australia itu hingga kini juga tetap gelap gulita. Letak tepat kota belum diketahui, dan lamat-lamat mulai sedikit terkuak ketika beberapa prasasti baru ditemukan di wilayah Kediri. 



Untuk melihat masa lalu kita, para ahli harus mendatangi Belanda, China, Italia, bahkan Portugal atau India (Prasasti Calcutta). Kita mengais informasi dari sana, menemukan informasi yang berbeda-beda, dan itu pun belum mampu membuat alur yang jelas terhadap sosok kita yang sebenarnya.



Kini Mataram yang dibangun Panembahan Senopati masih bisa dilihat. Kendati kerajaan ini telah lantak akibat berebut pengaruh antar rasi yang melibatkan Belanda, namun kerajaan ini masih eksis dan dapat ditelaah. Bahkan dalam mewujutkan Indonesia merdeka, 'Mataram' punya andil besar bagi tegaknya negeri ini. Mataram memberi sokongan yang luar biasa untuk kemerdekaan di awal-awal proklamasi. Sangat beda dengan Makasar yang masih dalam cengkeraman Belanda (ingat eksekusi terhadap Wolter Monginsidi), atau kerajaan Samawa (Sumbawa) yang baru tahun 1960-an menyatakan bergabung dengan Indonesia.



Namun 'kekayaan' masa lalu yang masih ada itu sekarang mulai dipergunjingkan. Dipertanyakan status istimewanya. Dipertentangkan antara demokrasi dan monarkhi. Dibenturkan antara presiden dan raja. Dan mulai diprovokasi hak rakyat untuk memilih pemimpin yang disukai kini dan kelak di kemudian hari.



Benturan dan wacana itu memang layak untuk diperbincangkan. Vox populi vox dei amanat demokrasi. Bahkan dalam UUD 45 juga tegas disebut itu. Selain catatan negara mengakui asal-usul keistimewaan dan kekhususan daerah. Namun wacana itu menjadi kurang tepat dan tidak etis tatkala disuarakan saat Yogyakarta sedang tertimpa musibah.



Kelaparan dan kemiskinan kini sedang menerpa warga daerah ini. Gending monggang (dukacita) dan kidung megatruh (kematian) masih membahana di kawasan ini. Harusnya siapa saja, termasuk presiden memberi durmo, bukan memunculkan isu yang sensitif itu. Ungkapan itu sangat melukai hati rakyat dan 'raja Yogya'. Toh etika politik menyebutkan, bahwa sesuatu yang baik menjadi tidak baik jika disajikan secara tidak baik. Dan mempertanyakan status istimewa Yogyakarta saat-saat ini adalah tidak baik.



Bagi saya, Hamengku Buwono X (HB X) cukup arif dan tahu posisi. Dia tak lagi ngugemi sabdo pandito ratu. Dia sangat demokratis. Dia menyadari bahwa 'ratu' yang dimaksud kini bukanlah dirinya, tetapi konstitusi. Malah sikap ini yang acap menimbulkan ambivalensi di kalangan rakyat.



Namun jika sikap sumeleh (menerima) sang raja, andil besar kerajaan terhadap Indonesia di masa awal kemerdekaan, dan kebudayaan tinggi yang dikandungnya tidak mendapat penghargaan dari negeri ini, maka rasanya kita adalah bangsa barbar yang tidak bisa berterimakasih dan tidak menghargai diri sendiri.
Hak istimewa adalah perlindungan. Perlindungan terhadap komunitas budaya. Tanpa perlindungan itu, lambat tapi pasti sebuah komunitas akan hilang dari riuhnya gerak zaman. Kita kembali akan kehilangan masalalu yang justru dibutuhkan bagi bangsa ini. Dan anak-cucu kita kelak ada kemungkinan tak tahu asal-muasalnya di tengah benturan budaya global.



Sangat ironi jika keistimewaan Yogyakarta dihapus!



*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.



(vit/vit)
Sumber : Detik