Searching...

Menghidupkan Kembali Model Kolonial di Yogya



Jakarta - Pemerintah ingin agar gubernur dan wakil gubernur dipilih langsung, sementara Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualaman ditempatkan pada lembaga yang punya hak-hak khusus, termasuk hak untuk memberhentikan gubernur. Usulan itu dianggap menjiplak model pemerintahan kolonial Belanda.
 
Penyusunan RUU Keistimewan Yogyakarta (RUU KY) memang benar-benar istimewa. Sejak dibahas pada 1999, beragam masukan dan gagasan bermunculan dari kalangan akademisi, keraton, Kemendagri, serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun hingga kini RUU yang akan dibahas Komisi II DPR belum juga menemukan kata sepakat. 
 
Menurut RH Heru Wahyukismoyo, kerabat Keraton Ngayogyakarta, munculnya prokontra RUUKY akibat pemerintah pusat dalam menyusun RUU keluar dari substansi. Itu pula yang menjadi alasan Keraton membentuk Tim 9. "Tim ini bertugas menyusun draf RUU versi Keraton," ujar Wahyukismoyo, salah satu anggota Tim 9 
 
Dalam draf RUU KY versi Kemendagri, Pasal 11 ayat (1) menjelaskan, Provinsi DIY memiliki bentuk dan susunan pemerintahan yang bersifat istimewa. Pada ayat (2) disebutkan, Pemerintahan Provinsi DIY terdiri atas Parardhya, Pemerintah Daerah Provinsi, dan DPRD Provinsi DIY. 
 
Dalam Pasal 12 ayat (1) disebutkan, Parardhya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Adipati Pakualam dari Kadipaten Pakualaman yang bertahta secara sah. 
 
Sementara dalam Pasal 21 tentang Pemerintahan Daerah Provinsi di sebutkan, Pemerintah Daerah Provinsi dipimpin oleh Gubernur dan dibantu seorang Wakil Gubernur. Gubernur atau Wakil Gubernur mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilaksanakan sesuai dengan tata cara sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. 
 
Sedangkan di Pasal 22 ayat (2) RUU KY versi Kemendagri dijelaskan, Parardhya dapat mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. 
 
Isi RUU itulah yang tidak diterima Keraton. Keraton kemudian membentuk tim 9 yang dipimpin GBPH Joyokusumo, adik kandung HB X. Tim ini kemudian diberi tugas membuat draf RUUK DIY sebagai masukan bagi pemerintah pusat. 
 
Isi draf versi Keraton, kata Wakyukismoyo, intinya meminta pemerintah pusat dalam menyusun RUUK KY tidak menghilangkan tiga substansi tentang keistimewaan Yogyakarta. Ketiga substansi itu, pertama adalah sejarah pembentukan DIY telah diamanatkan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945. 
 
Kedua, soal pembentukan DIY yang sudah diatur dalam UU No 3/1950, serta amanat Sultan HB IX tertanggal 5 September 1945 dan amanat Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945. Sedangkan, substansi ketiga terkait kepala pemerintahan yang tercantum dalam piagam kedudukan 19 Agustus 1945. Piagam ini diberikan Presiden Indonesia Soekarno kepada Kepala Negara di daerah Yogyakarta yakni Sultan HB IX dan Pangeran PA VIII. 
 
Dengan kata lain pihak Keraton mengajukan tiga keistimewaan DIY, yakni sejarah pembentukan pemerintahan DIY dalam NKRI, bentuk pemerintahan DIY setingkat provinsi yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Keistimewaan ketiga, kepala pemerintahan DIY dijabat Hamengku Buwono dan Paku Alam. 
 
Hal lain yang membuat Keraton menentang RUU KY versi Kemendagri lantaran ada pembentukan lembaga baru, yakni Parardhya yang akan diisi Sri Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam. Sebab lembaga ini tidak ubahnya seperti lembaga kepatihan pada masa kolonial Belanda. 
 
Lembaga Patih ini, jelas Wahyukismoyo, pernah dihapuskan semasa kepemimpinan HB IX karena memiliki loyalitas ganda, baik terhadap pemerintahan kerajaan Mataram maupun terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Lembaga patih pada waktu itu dimanfaatkan pemerintah kolonial sebagai pemicu potensi konflik serta agen untuk melancarkan sistem adu domba (devide et impera) agar kekuasaan raja terbelah. 
 
"Dengan dibentuknya Parardhya sama saja akan menghidupkan kembali lembaga Kepatihan. Dan hal ini sangat berpotensi menjadi ajang adu domba," tegas Wahyukismoyo saat berbincang-bincang dengan detikcom. 
 
Tapi draf versi Keraton yang dikirim Tim 9 ternyata tidak digubris oleh Kemendagri. Pihak Keraton sendiri tidak mengetahui secara pasti dasar penolakan terhadap draf tersebut. 
 
Yang pasti, perbedaan pandangan antara Kemendagri dan Keraton terkait RUUK KY ini membuat masalahnya semakin berlarut-larut. Perbedaan yang paling tajam yakni terkait soal bagaimana menetapkan kepala daerah atau gubernur. Pemerintah pusat tetap ngotot pemilihan gubernur dan wakil gubernur di DIY dilakukan secara langsung. Sementara Keraton meminta gubernur dan wakilnya cukup ditetapkan saja sesuai UU no 3/1950 dan keinginan mayoritas masyarakat DIY. 
 
Sementara itu, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gajah Mada (JIP UGM) juga membuat draf RUU KY pada 2007. Namun draf yang dibuat JIP UGM tidak jauh berbeda dengan versi Kemendagri. Bahkan ada tudingan kalau draf versi JIP UGM itu merupakan pesanan Kemendagri. 
 
Dalam draf RUU KY versi JIP UGM, Pasal 3 ayat (2) butir a menyebutkan, pemilihan gubernur dan wakil gubernur dilaksanakan secara langsung. Dan dalam butr c disebutkan, adanya pemisahan kekuasaan antara lembaga penyelenggara politik dan pemerintahan dengan Kesultanan dan Pakualaman. 
 
Soal pemisahan kekuasaan ini dijelaskan dalam Pasal 12 ayat (1): Sri Sultan Hamengku Buwono dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Adipati Paku Alam dari Kadipaten Pakualaman disebut Pengangeng. Selain itu, di Pasal 20 ayat (1) dituliskan, Pengageng dilarang menjadi pengurus dan anggota partai politik. 
 
Namun tudingan kalau draf JIP UGM merupakan pesanan Kemendagri ditolak anggota Tim Penyusun RUU KY versi JIP UGM, AAGN Ari Dwipayana. "JIP membuat draf itu bukan pesanan Depdagri, tetapi hasil riset lembaga yang proses penyusunannya tidak dikendalikan oleh lembaga lain dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademik," terangnya. 
 
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga tidak mau tinggal diam. DPD bahkan mengklaim sudah menyampaikan draf RUU KY versinya ke dalam sidang paripurna DPD 26 Oktober 2010. Dalam draf itu, DPD menegaskan dukungannya bahwa mekanisme kepemimpinan DIY tidak melalui proses pemilihan, tapi penetapan, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Adipati Paku Alam ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY. 
 
Dalam naskah akademik RUUK DIY versi DPD disebutkan, Gubernur dalam menjalankan tugasnya dibantu perangkat daerah Provinsi DIY. Gubernur bertanggung jawab terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi DIY di semua sektor pemerintahan, termasuk keistimewaan DIY serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat. 
 
Munculnya perbedaan dan perdebatan ini membuat RUU tersebut tidak kunjung selesai. Apalagi di kalangan DPR juga terjadi perbedaan pandangan. Beberapa partai, seperti PPP, Golkar dan PDIP, ingin  supaya Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam secara otomatis menjadi gubernur dan wakil gubernur. Sementara Partai Demokrat tetap bersikeras agar diadakan pemilihan langsung.

(ddg/diks)

Sumber : Detik