Sejak pertama kali terbentuk di negeri Palestina, rezim ilegal bernama Israel yang didirikan oleh orang-orang Zionis selalu berusaha memaksakan kehendak terhadap rakyat Palestina dan bangsa-bangsa lainnya. Senjata dan kekuatan militer adalah cara yang lebih sering mereka gunakan untuk mempertahankan eksistensinya yang tak legal. Cara lain adalah dengan memanfaatkan seni khususnya sinema sebagai seni yang punya pengaruh sangat besar.
Lewat sinema, rezim zionis yang dibantu para pendukungnya menyebarkan ide-ide zionisme. Fakta itu dapat ditangkap jika kita memerhatikan dengan baik kinerja Hollywood dalam menyebarkan ide-idenya. Film-film Hollywood, dari yang bertemakan sejarah, religi sampai kisah drama keluarga selalu menyelipkan ide-ide zionisme di sela-selanya. Tujuannya, adalah untuk mengubah pandangan buruk masyarakat dunia terkait zionisme.
Strategi budaya yang diterapkan gerakan Zionis cukup pelik dan sistematis dengan skala yang luas. Strategi ini tidak hanya dibatasi pada pembuatan karya-karya seni, sastera dan sinema saja tetapi juga dengan mendistorsi sejarah dan menyesuaikannya dengan kepentingan zionismenya. Pengambilan nama zionisme untuk gerakan ini sendiri juga sarat dengan manipulasi.
Nahum Sokolow, salah seorang tokoh gerakan Zionisme mengaku bahwa ide Zionisme muncul sejak kelahiran kaum Yahudi. Menurutnya, yang dilakukan para tokoh zionisme adalah menghidupkan kembali pemikiran ini dan menyebarkannya. Padahal, fakta sejarah berbicara lain. Tidak ada satupun dokumen sejarah tertulis yang membuktikan adanya penggunaan nama zionisme. Sebab kata itu pertama kali diucapkan oleh seorang Yahudi pada tahun 1890. Kata itulah yang lantas digunakan oleh Theodor Herzl dalam bukunya ‘Negara Yahudi’ tahun 1896.
Zionisme diambil dari nama gunung Zion yang berada di Beitul Maqdis yang diyakini oleh umat Yahudi sebagai lokasi pemakaman Nabi Daud (as). Zionisme adalah gerakan politik yang mengaku berjuang untuk menghidupkan kembali kekuasaan Nabi Daud. Kaum Zionis bahkan mengklaim telah mendapat tugas dari Allah untuk menegakkan pemerintahan di muka bumi. Para teoretis Zionisme yang berusaha mencocok-cocokkan misinya dengan agama Yahudi dalam banyak hal sering melakukan penafsiran keliru terhadap taurat dan kitab-kitab rujukan agama itu. Padahal, sebelum akhir abad 19 masalah pembentukan sistem politik dan ekonomi bagi umat Yahudi tidak pernah muncul ke permukaan. Artinya, ide membentuk negara Yahudi sepenuhnya ide yang sama sekali baru.
Di kemudian hari, orang-orang Zionis memfokuskan ide itu dalam sebuah program pembentukan negara bernama Israel. Mereka beralasan, bangsa Yahudi perlu membentuk negara sendiri karena selalu menjadi korban pembantaian dan diskriminasi. Masih menurut klaim mereka, bangsa-bangsa dan rezim-rezim di dunia ini terjangkiti penyakit yang tak tersembuhkan bernama sentimen anti Yahudi atau yang lebih dikenal dengan anti semitisme. Mereka lantas menyebutkan kisah-kisah penganiayaan dan pembantaian Yahudi oleh sejumlah penguasa dalam sejarah. Kisah-kisah itu sengaja mereka angkat untuk mengesankan ketertindasan umat Yahudi.
Kisah pembantaian orang Yahudi terjadi setelah mereka menderita kekalahan dalam perang melawan Assiriyan dan kerajaan Babilonia antara abad keenam dan kedelapan sebelum Masehi. Kisah berikutnya yang katanya terjadi di era kontemporer adalah pembantaian yang dilakukan Nazi Jerman di bawah pimpinan Adolf Hilter pada masa perang dunia II. Kisah yang dikemas sedemikian rupa itu diceritakan sebagai pembantaian atas jiwa 6 juta warga Yahudi Eropa.
Kisah yang disebut Holocaust itu sengaja mereka besar-besarkan dengan banyak cara. Berbagai buku dicetak dan banyak film diproduksi untuk meyakinkan masyarakat dunia bahwa bangsa Yahudi pernah menjadi korban pembantaian massal di masa Hitler. David Ben Gurion, perdana menteri pertama Rezim Zionis Israel bahkan pernah mengatakan, bahwa kesan ketertindasan bangsa Yahudi sangat penting baginya. Bahkan jika perlu, dia akan mengirim orang-orang Yahudi ke berbagai negara untuk menyebarkan berita ketertindasan itu.
Bukti sejarah memperlihatkan bahwa sebagian besar klaim yang diungkapkan oleh Zionisme tak punya dasar kebenaran sama sekali. Bangsa Yahudi memang hidup tersebar di berbagai belahan dunia. Hal itu terjadi karena mereka memang menghendaki berimigrasi ke berbagai negeri. Bangsa Yahudi punya kebiasaan berhijrah ke negeri yang makmur. Dari sisi lain, bangsa Yahudi tidak pernah menjadi korban penganiayaan dan pembantaian di negeri-negeri luas seperti kesultanan Ottoman, atau kerajaan Prancis, Britania, maupun Iran. Tak hanya itu mereka bahkan hidup makmur dan sejahtera di negeri-negeri tersebut.
Sejarah juga menyebutkan bahwa kapal-kapal yang mengangkut para budak hitam dari Afrika umumnya dimiliki oleh orang Yahudi. Mereka biasanya orang-orang pebisnis yang hanya mementingkan keuntungan materi dalam semua hal. Untuk memperoleh uang, mereka siap mengorbankan jutaan orang Afrika yang dijual sebagai budak. Kisah Holocaust yang katanya terjadi pada masa Perang Dunia II dimanfaatkan oleh jaringan Zionisme untuk membenarkan kejahatan yang mereka lakukan terhadap bangsa Palestina.
Kebohongan kaum Zionis sedemikian buruknya dan tak berdasar sehingga ditentang oleh kalangan internal Yahudi sendiri. Beberapa waktu lalu terbit sebuah buku di Palestina Pendudukan atau Israel yang mengungkap kerjasama para tokoh Yahudi dengan Hitler. Buku yang berjudul “Yahudi di Perang Nazisme” ditulis oleh Profesor Judah Ridge menyebut klaim pembantaian Yahudi sebagai kebohongan besar yang dimaksudkan untuk memuluskan program pembentukan negara Zionis di Palestina.
Selain pembohongan dan distorsi fakta sejarah, orang-orang Zionis juga terbiasa mencegah terungkapnya fakta sejarah yang membuktikan kebohongan klaim-klaim mereka. Misalnya, pada tahun 1999 nama David Irving, penulis dan sejarawan Inggris menjadi buah bibir karena keberaniannya menguak kebohongan sejarah orang-orang Zionis. Akibatnya, ia menjadi bulan-bulanan intimidasi dan tekanan. Kaum Zionis juga berusaha mati-matian untuk membantah apa yang diungkap Irving. Penulis Inggris ini dalam dua bukunya ‘Der unbekannte Dr. Goebbels’ dan ‘Hitler’s War and the War Path’ membawakan data-data yang menyoal kebenaran kisah Holocaust. Irving akhirnya diseret ke pengadilan akibat sikapnya yang mempersoalkan kisah Holocaust.
Tokoh kedua adalah Roger Garaudy. Tokoh cendekiawan Perancis ini didudukkan di kursi pesakitan gara-gara kerja kerasnya dalam mengungkap kebenaran sejarah. Garaudy membongkar beberapa hal yang lekat dengan Rezim Zionis Israel seperti rasisme, pembuatan mitos serta distorsi dan penyimpangan sejarah, ketidakpedulian kepada nilai-nilai kemanusiaan dan aturan dunia, serta ketidakpatuhan pada hukum internasional.
Dalam agenda distorsi sejarah ini, orang-orang zionis menaruh perhatian besar pada pendidikan di bangku sekolah dan perguruan tinggi. Mereka menyelipkan materi-materi yang sejalan dengan kemauan dan kepentingan mereka ke dalam buku-buku yang dipelajari di sekolah dan kampus. Salah satu contohnya adalah buku berjudul “Bagaimana Bangsa Yahudi Maju?” Buku ini memuat berbagai klaim sejarah yang mereka jadikan sebagai alasan yang membenarkan pendudukan Palestina oleh orang-orang Zionis.
Kondisi yang sama juga bisa dijumpai di dalam Palestina Pendudukan. Belum lama ini, Departemen Pendidikan Israel mengeluarkan instruksi kepada sebuah sekolah menengah atas di Sderot yang melarang pengajaran sebuah buku sejarah tertentu. Padahal buku itu masuk dalam kurikulum pelajaran sejarah yang membahas soal perang Arab-Israel dan berbagai hal lainnya. Buku ini membawakan dua pandangan berbeda yang disampaikan sejarawan Israel dan sejarawan Palestina. Penyebab pelarangan itu adalah karena orang-orang Zionis tidak bisa menahan diri dari sekelumit fakta sejarah yang diungkap lewat kacamata Palestina. Namun sampai kapankah kebohongan dan distorsi akan mampu bertahan mencegah terkuaknya kebenaran? (IRIB)