Jakarta - Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) Fisipol UGM ikut menyampaikan usulan draf RUU Keistimewaan Yogyakarta. Hal itu dilakukann semata sebagai bentuk tanggung jawab akademis untuk ikut serta menyelesaikan kontroversi keistimewaan Yogyakarta. Bagaimanapun, keistimewaan ini harus dibahasakan dalam pemerintahan.
JIP berusaha mendengarkan dan mengakomodasi berbagai suara yang berbeda. Konsultasi dengan Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualam, juga dilakukan. Tidak semua usulan JIP diadopsi Kemendagri. Namun usulan untuk membentuk lembaga khusus di atas gubernur dan wakil gubernur, diambil istilahnya, tetapi tidak diambil keseluruhan konsepnya.
Itulah yang menjadi salah satu sebab, kenapa JIP dianggap sebagai hanya menjalankan pesanan Kemendagri dalam penyusunan draf RUU Keistimewaan Yogyakarta? Bagaimana yang sebenarnya terjadi?
Berikut wawancara detikcom dengan Dr Purwo Santoso, salah seorang pengajar di JIP UGM dan juga menjadi anggota Tim Penyusun Draf RUU Keistimewaan Yogyakarta vers JIP Fisip UGM, Sabtu (4/12/2010) lalu:
Bagaimana sebenarnya tentang duduk masalah Keistimewaan Yogyakarta ini?
Masalah keistimewaan ini seolah seperti jalan buntu, karena masing-masing pihak yang berdebat hanya melihat sisi yang menjadi kepeduliannya.
Tapi begini, status resmi Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa telah lama disepakati. Namun, tidak ada rumusan yang komprehensif dan operasional yang dibakukan. Tidak ada satupun yang keberatan, namun penjabarannya ke dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan belum pernah dirumuskan, baik oleh pemerintah daerah maupun oleh pemerintah nasional (pusat).
Perdebatan muncul ke permukaan, ketika gagasan keistimewaan DIY ini hendak dijabarkan ke dalam 'bahasa' pemerintahan. Bagaimana peran pemerintahan yang diwariskan oleh Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat dan Kadipaten Puro Pakualaman.
Bagaimana status pemilikan dan pengelolaan tanah yang dulu dikelola oleh Paniti Kismo (lembaga agraria) yang dimiliki Keraton. Bagaimana kearifan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam dalam perumusan kebijakan pembangunan, pemerintahan dan pengembangan budaya dan sebagainya.
Benarkah persoalan ini akibat perbedaan penafsiran konstitusi semata atau ada perbedaan kepentingan politik?
Ada dua ketentuan konstitusional yang memerlukan sinkronisasi. Di satu sisi, ada ketentuan yang tidak bisa ditawar bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, namun ada juga ketentuan yang menjamin keistimewaan dan hak asal-usul DIY.
Bagi kami, yang mempelajari ilmu pemerintahan, pokok persoalannya adalah penjabaran dari gagasan desentralisasi asimetris. Pemerintahan daerah tidak harus sama, namun perbedaan masing-masing harus dirumuskan secara tegas dan jelas. Apa sih hal yang sama untuk seluruh Indonesia, dan apa yang tidak sama, namun tetap konstitusional boleh ada.
Selain itu, pada dasarnya kekuatan istimewa yang harus dibingkai sebagai kekuatan Indonesia. Bagaimana keistimewaan yang telah menyejarah di Yogyakarta ini bisa menjadi kekuatan nasional? Dalam RUU yang kami usulkan ada tanggung jawab nasional yang diikuti dengan alokasi dana dari pemerintah nasional untuk merawat dan memperkuat kekuatan budaya yang telah ada.
Bagaimana dengan kesan adanya perseteruan antara Presiden SBY dan Sri Sultan HB X dalam masalah ini?
Itu bisa saja terjadi. Bisa jadi ada kendala komunikasi politik di antara beliau. Namun, perumusan tentang keistimewaan DIY terlalu mahal kalau dibiarkan sebagai muara konflik kepentingan para tokoh.
Dalam perumusan kebijakan yang bersifat mendasar seperti ini, benturan kepentingan adalah hal yang niscaya. Justru mengherankan kalau tidak ada perbedaan pendapat. Proses perdebatan yang selama ini terjadi, menurut saya justru peragaan bahwa demokrasi telah berjalan dalam praktek. Hanya saja, pembingkaian oleh teman-teman di media massa bisa menjadikan proses perdebatan seakan hanya sekedar benturan kepentingan para tokoh.
Terkait RUU Keistimewaan Yogyakarta, seperti apa usulan dari FISIPOl UGM dalam menempatkan Sultan Yogyakarta dalam pemerintahan ke depan?
Dalam naskah akademik yang kami susun, Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam memiliki kedudukan sangat penting. Dari waktu ke waktu, beliau telah menunjukkan peran dwi tunggal dalam memimpin DIY. Kami mengusulkan adanya lembaga baru untuk mengukuhkan dwi tunggal ini. Namanya terserah. Hanya saja, beliau tidak kita biarkan berkutat dalam politik praktis. Beliau adalah pemimpinnya orang dari semua partai, pemimpinnya rakyat dari berbagai strata sosial.
Dengan begitu kearifan beliau tetap terjaga, kedekatannya dengan rakyat tidak tersekat oleh intrik politik kepartaian, dan kekhilafannya secara teknis administratif sekiranya suatu saat terjadi, tidak memungkinkan beliau diadili. Poinnya, tanggung jawab administrasi pemerintahan justru kita pindahkan kepada pejabat lain dalam penyelenggaraan pememrintah.
Pejabat yang menjadi penjaga keluhuran dan kebijaksanaan dwi tunggal yang memimpin DIY ini adalah Kepala Daerah. Karena itulah kepala daerah, dalam usulan kami, setara dengan kepala daerah di propinsi lain. Pengisian jabatan kepala daerah bisa melalui pemilihan. Hanya saja ada sejumlah ketentuan tambahan mengigat kepala daerah menjalankan pemerintahan dalam bingkai arahan dan kearifan sang Dwi Tunggal tadi.
Terus sebenarnya seperti apa keinginan rakyat atau masyarakat di Yogyakarta sendiri? Apakah ini juga menjadi masukan dalam pembuatan draf RUU itu?
Sejak dari dulu ada kontroversi. Kedua kubu kami hadirkan, bahkan kami konfrontir dalam serangkaian diskusi untuk merumuskan naskah akademik dan rumusan pasal per pasal. Yang kami lakukan dalam perumusan adalah mempertemukan kepentingan bersama yang tentu saja tidak akan memuaskan penganut garis keras dari kedua kubu.
Apakah sudah ada komunikasi dengan kalangan Kasultanan atau Pakualaman soal ini? Kalau memang sudah ada, apa sebenarnya yang mereka inginkan?
Dalam tahapan-tahapan perumusan naskah akademik yang kemudian menjadi basis untuk menyusun legal draft, kami melakukan konsultasi. Sebutan Parardhya untuk dwi tunggal yang saya sebutkan tadi, berasal dari respon Sri Sultan Hamengku Buwono X setelah kami memaparkan rumusan setengah jadi. Kami juga memaparkan hasil kajian dan rumusan kami ke Sri Paduka Paku Alam IX. Beliau tidak pernah melakukan penolakan terhadap usulan kami, meskipun juga tidak pernah memberikan dukungan terbuka.
Apakah tidak akan membuat kegoncangan di Keraton dan Puro nantinya, kalau hak Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualaman menjadi gubernur dan wakil gubernur dicabut?
Problematika dalam mengimplementasi sejauh mungkin kami antisipasi. Oleh karena, itu kami mengusulkan ada masa transisi yang cukup. Setidaknya satu periode masa jabatan gubernur atau lima tahun. Ada banyak sekali hal yang sudah kami antisipasi untuk dilakukan sekiranya usulan yang kami siapkan bisa dipakai.
Bagaimana pandangan para tokoh masyarakat, agama dan lainnya juga soal ini?
Dari rangkaian diskusi dan komunikasi dengan berbagai fihak, ada pandangan yang beragam. Sebagian sangat lantang untuk tidak melupakan sejarah, sebagian lainnya mengajak menatap masa depan, tidak ingin terbelenggu oleh sejarah. Bagi mereka DIY bukanlah museum. Ada juga tokoh yang membikin penilaian menarik.
Prof Ichlasul Amal, dalam suatu diskusi mengajak untuk menjernihkan pandangan, mendudukkan Hamengku Buwono tidak sekedar sebagai Raja dari Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat tetapi juga sebagai politisi. Yang mengejutkan adalah pernyataan professor senior ini, yang istimewa bukan hanya pemimpinnya melainkan, dan terlebih lagi, adalah rakyatnya.
(zal/diks)
Sumber : Detik