Datang sebagai pembebas rakyat Kongo, Lumumba menjadi korban Perang Dingin.
OLEH: MF. MUKTHI
PERISTIWANYA
terjadi nun jauh di negeri orang: Kongo. Namun di Labuan Batu, Sumatra
Utara, buruh-buruh perkebunan marah. Mereka mengambil-alih
perkebunan-perkebunan milik pengusaha Belgia di daerah Mrangir, Aek
Paminke, Pernantian, Perlabian, Kanopan Ulu, Padang Halaban, Negeri
Lama, dan Sennah. Aksi buruh itu tanpa disertai tindak kekerasan. Tak
ada korban jiwa. Mereka juga melaporkan ke pihak berwajib setelah
selesai aksi.
Di Jawa Barat,
aksi serupa gagal. Pangdam Siliwangi Ibrahim Adjie keburu mengeluarkan
larangan. “Terhadap perbuatan-perbuatan yang demikian dapat diambil
tindakan sesuai dengan ketentuan undang-undang/peraturan-peraturan yang
ada dan berlaku bagi Penguasa Keadaan Bahaya,” tulis Pikiran Rakjat, 23 Maret 1961.
Aksi buruh di
sejumlah wilayah di Indonesia itu merupakan bentuk protes atas
terbunuhnya Perdana Menteri Patrice Lumumba asal Kongo. Lumumba dan
rakyatnya dianggap sebagai teman seperjuangan melawan kolonialisme,
penindasan, dan penghisapan.
Lumumba lahir 2
Juli 1925 di Onalua, wilayah Katakokombe, provinsi Kasai, Kongo. Saat
itu Kongo adalah wilayah jajahan Belgia sejak 1908. Sejak muda, Lumumba
gandrung akan kemerdekaan negerinya. Setelah sempat bekerja sebagai
sales bir dan klerek kantor pos, dia mulai manapak karier di dunia
politik lewat Partai Liberal Belgia. Pada 1958, dia ikut mendirikan
Gerakan Nasional Kongo (MNC) dan kemudian jadi presidennya. Pada tahun
yang sama, dia mewakli MNC dalam konferensi All-African Peoples di
Accra, Ghana, yang mempertebal keyakinannya akan Pan-Afrika.
Di penghujung
1959, Lumumba ditahan atas tuduhan menghasut kerusuhan antikolonial di
Stanleyville yang menewaskan 30 orang. Berbarengan dengan masa awal
penahanannya, Konferensi Brusel yang membicarakan masa depan Kongo
digelar. MNC menuntut pembebasan Lumumba dan berhasil. Lumumba bebas dan
hadir dalam konferensi. Konferensi pun memutuskan kemerdekaan Kongo
pada 30 Juni. Sebelum perayaan kemerdekaan, digelar pemilihan umum.
Lumumba dan MNC menang dan berhak membentuk pemerintahan. Lumumba jadi
perdana menteri, dengan wakil Antoine Gizenga. Sementara Joseph
Kasavubu, tokoh nasionalis terkemuka asal Partai Abako, terpilih sebagai
presiden.
Dalam perayaan
kemerdekaan, yang juga dihadiri Raja Belgia Baudouin, Lumumba
mengingatkan penderitaan rakyat Kongo di bawah kolonialisme. Dia juga
menyebut kemerdekaan Kongo tak diberikan dengan murah hati oleh Belgia.
Bukan hanya
Belgia, Amerika Serikat juga tak senang atas kondisi baru di Kongo.
Gerakan kemerdekaan total Lumumba mengganggu kepentingan Barat.
Terlebih, sebelumnya Amerika menguasai kekayaan alam negeri itu, sebagai
kompensasi dukungannya terhadap klaim Raja Belgia Leopold II atas
wilayah cekungan Kongo pada abad ke-19. Sebagai gambaran, uranium untuk
bahan pembuat bom atom yang digunakan di Hiroshima-Nagasaki diambil dari
pertambangan di Kongo. “Selama 126 tahun, AS dan Belgia telah memainkan
peran kunci dalam membentuk nasib orang Kongo,” tulis Georges
Nzongola-Ntalaja, profesor African and Afro-American studies di
University North Carolina, dalam “Patrice Lumumba: The Most Important
Assassination of the 20th Century”, dimuat www.guardian.co.uk.
Amerika pun
mendorong Belgia untuk mengambil-alih Kongo kembali. Mereka menginginkan
status quo. Di tengah Perang Dingin, mereka juga khawatir Kongo jatuh
ke Blok Timur.
Di dalam negeri,
Lumumba menghadapi pemberontakan tentara yang tak puas atas kebijakannya
yang hanya menaikkan gaji pegawai sipil. Kerusuhan juga meluas. Tak
lama kemudian Provinsi Katanga di bawah Moise Tshombe, dengan dukungan
Belgia dan perusahaan pertambangan seperti Union Miniere, memerdekakan
diri. Provinsi kaya sumberdaya alam lainnya, Kasai Selatan, menyusul.
Lumumba minta pasukan penjaga perdamaian PBB memadamkan pemberontakan tapi tak berhasil. Dia berpaling ke Uni Soviet.
Presiden
Kasavubu, yang tak suka cara yang ditempuh Lumumba, memecat Lumumba.
Lumumba protes. Kongo dikendalikan dua kubu yang saling klaim kekuasaan,
Kasavubu di Leopoldsville (kini Kinshaha) dan Lumumba di Stanleyville
(kini Kisangani). Ketidakamanan itu membuat Kolonel Joseph Mobutu
melakukan kudeta pada 14 September. Lumumba dikenai tahanan rumah dengan
penjagaan pasukan keamanan PBB. Dia sempat meloloskan diri dan
membentuk pemerintahan di pelarian, namun akhirnya kembali ditangkap.
Soviet, yang
menuding sekjen PBB dan Barat sebagai pihak yang bertanggungjawab atas
penangkapan itu, menuntut pembebasan Lumumba. Dewan Keamanan PBB lalu
menggelar sidang darurat. Perdebatan sengit dan saling veto antara Blok
Timur dan Blok Barat terjadi. Soviet kalah suara. Negara-negara yang
setuju pendapat Soviet menarik diri dari kontingen pasukan perdamaian.
Indonesia salah satunya.
Setelah dipindah
ke sana kemari, Lumumba dibawa ke Provinsi Katanga. Dia lalu disekap di
Brouwez House. Di situ Tshombe dan “utusan-utusan” Barat merapatkan
pembunuhan Lumumba.
Suatu malam awal
1961, Lumumba dibawa ke sebuah tempat rahasia dan wafat di tangan tiga
regu tembak. Jasadnya dimutilasi dan dibuang. “Ini jelas solusi elegan
yang terbaik bagi Katanga: kematian pasti untuk Lumumba, dan tangan
orang-orang Tshombe bersih dari lumuran darah,” tulis Ludo De Witte
dalam The Assassination of Lumumba. De Witte menyebutnya sebagai “pembunuhan terpenting abad ke-20”.
Selama puluhan
tahun, kematian Lumumba menyisakan kabut: siapa aktor dan dalang di
balik pembunuhannya. Belgia menuding Tshombe. Namun pembunuhan itu kini
tersingkap tirainya. “Kejahatan keji ini merupakan puncak komplotan
pembunuhan buatan pemerintah Amerika dan Belgia, yang menggunakan tangan
Kongo dan regu tembak Belgia untuk melaksanakannya,” tulis Georges
Nzongola-Ntalaja.
Kematian Lumumba
mengejutkan banyak orang di belahan dunia. Di Indonesia, Presiden
Sukarno, yang juga berkali-kali jadi sasaran pembunuhan dari
tangan-tangan kekuatan asing, menyebut tindakan pengecut itu sebagai
banditisme dan menyimpulkannya sebagai tindakan ofensif baru kaum
imperialis yang terpaksa dilakukan karena di mana-mana mereka dipukul
mundur. Untuk mengenangnya, Sukarno mengabadikan namanya menjadi Jalan
Patrice Lumumba (kini Jalan Angkasa, Jakarta) di kawasan Gunung Sahari.
Sementara D.N.
Aidit, ketua CC PKI, menyerukan: hukum pembunuh Lumumba dan dukung
pemerintah Gizenga! Aidit juga menorehkan kepedihannya dalam sebuah
puisi “Yang Mati Hidup Kembali”. Sejawatnya, Njoto, menulis “Merah
Kesumba”: Darah Lumumba Merah Kesumba / Kongo!
Sumber: http://historia.co.id