Searching...

Hukum Mencium dan Bercumbu Dengan Isteri (Sampai Keluar Madzi & Mani) Saat Puasa Ramadhan serta Hukum Berjimak di Bulan Puasa Karena Alasan Lupa


BERKAITAN DENGAN SESEORANG YANG MENGGAULI ISTERINYA KARENA ALASAN LUPA

Penulis Al Ustadz Abu Zakariya Rishky Al Atsary
Terdapat dua pendapat dikalangan ulama,
Pertama, bahwa hukumnya sama dengan makan dan minum, jika dilakukan karena alasan lupa. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Mereka berargumen dengan hadits-hadits diatas. Dan mengatakan bahwa, hubungan suami istri tidaklah menggugurkan puasa jika dilakukan karena lupa dianalogikan kepada makan dan minum.
Kedua, bahwa jima yang dilakukan karena lupa, menggugurkan puasa seseorang. Berbeda dengan makan dan minum.
Pendapat ini adalah mazhab imam Ahmad, dan juga merupakan pendapat Atha` dan ats-Tsauri.
Mereka berargumen dengan zhahir hadits Abu Hurairah diatas. Dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merincikan status sahabat yang mengadukan keadaannya telah melakukan jima’ pada siang hari Ramadhan, apakah dia melakukannya dengan sengaja atau karena lupa.
Yang tepat -insya Allah- adalah pendapat kedua, berdasarkan kaidah Ushuliyah yang menguatkan argumentasi zhahir hadits Abu Hurairah. Bahwa tidak terdapatnya perincian status kasus hukum disaat terdapat beberapa prediksi, menempatkan kasus pada keumumannya. Wallahu a’lam.
(Lihat al-Mughni 4/187-188, Nashbur-Rayah 2/467, al-Bada’i 2/237, Kasysyaf al-Qina’ 2/390-391 dan as-Sail al-Jarar 2/46-47)


APABILA SESEORANG MELAKUKAN HUBUNGAN DENGAN ISTERINYA NAMUN SELAIN JIMA’, SEMISAL MENCIUM DAN SELAINNYA, APAKAH MEMBATALKAN PUASANYA ATAU TIDAK ?

Yakni jikalau seseorang melakukan hubungan dengan istrinya, dan menikmati hubungan tersebut, mencium dan mencumbu istrinya, tanpa melakukan jima’ pada siang hari Ramadhan. Dan orang tersebut tidak dalam keadaan safar atau menderita sakit dan juga bukanlah seseorang yang mendapatkan udzur dari syara’ hingga dia dibolehkan untuk tidak menunaikan puasa Ramadhan pada waktunya. Apakah puasa orang tersebut batal ataukah tidak?

Dalam masalah ini, terdapat dua keadaan yang perlu ditinjau,
Pertama, jikalau hubungan tersebut tidak sampai menjadikannya keluar mani atau madzi.
Keadaan yang kedua, jika dia sampai mengeluarkan mani atau madzi akibat hubungan tersebut.


TIDAK SAMPAI MENJADIKANNYA KELUAR MANI ATAU MADZI

Adapun keadaan yang pertama (tidak sampai menjadikannya keluar mani atau madzi-red), ulama telah berbeda pendapat dalam hukum orang tersebut, dalam beberapa pendapat:

Pertama, Puasanya tidak menjadi batal. Dan dia diperbolehkan melakukan hubungan semisal mencium dan menggauli istrinya namun tidak sampai melakukan jima’.
Pendapat ini adalah pendapat Aisyah, Umar bin al-Khaththab, Abu Sa’id al-Khudri, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Hudzaifah, Ali bin Abi Thalib, Ummu Salamah, Atikah, Ikrimah, al-Hasan al-Bashri, Abu Salamah bin Abdurrahman bin ’Auf, Sa’id bin Jubair, asy-Sya’bi dan Masruq.

Dalil sandaran pendapat ini adalah beberapa dalil dari sunnah, diantaranya,
Hadist Aisyah -radhiallahu ’anha-, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium dan berhubungan dengan istri beliau, disaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menjalankan puasa. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang paling sanggup mengendalikan dirinya.”
(HR. al-Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 777)
Dan juga hadits dari Aisyah -radhiallahu ‘anha-, beliau mengatakan, “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian dari istri beliau disaat beliau sedang berpuasa.”
(HR. al-Bukhari no. 1928)
Dan hadits Hafshah -radhiallahu ’anha-, beliau berkata, ”Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium -istrinya- disaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berpuasa.”
(HR. Muslim no. 1107, an-Nasa`i 2/502 dan Ibnu Majah no. 1685)
Dan Masruq meriwayatkan bahwa dia bertanya kepada Aisyah -radhiallahu ’anha-, ”Apakah yang diperbolehkan bagi seorang laki-laki terhadap istrinya disaat dia sedang berpuasa?”
Aisyah menjawab, “Segala sesuatu -dibolehkan- selain jima’.”
(HR. Abdurrazzaq 4/ no. 8439 dan Ibnu Abi Syaibah 3/63)
Dan dari Atha` bin Yasar dari seseorang dari kaum Anshar, bahwa dia mengabarkan kepadanya, “Bahwa dia telah mencium istrinya di zaman Nabi r sementara dia tengah berpuasa. Lalu dia menyuruh istrinya agar bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Rasulullah melakukan hal itu.”
Istri orang tersebut lalu mengabarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Maka suaminya berkata, ”Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diberi keringanan pada beberapa hal. Kembalilah dan tanyakan hal itu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Istrinya lalu kembali menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan perkataan suaminya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saya adalah yang paling bertakwa diantara kalian dan yang paling mengetahui akan hukum-hukum Allah.”
(HR. Abdurrazzaq 4/184)
Zhahir hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan hal tersebut, yakni mencium dan menggauli istrinya selain jima’.
Dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan pembolehan, sedangkan klaim pengkhususan hanya pada diri Nabi r juga terbantahkan dengan hadits yang diriwayatkan dari Atha` bin Yasar dari seseorang sahabat Anshar.

Kedua, bahwa hubungan tersebut menggugurkan puasanya.
Pendapat ini adalah mazhab ulama Malikiyah dan Hanafiyah. Serta diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, Ibnu Umar, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Abu Qilabah, Ibnu al-Hanafiyah, Abu Rafi’, Masruq dan Ibnu Syabramah.
Mereka berdalilkan dengan beberapa dalil, diantaranya; Firman Allah ta’ala,
“Dan sekarang gaulilah mereka dan carilah segala yang Allah telah haruskan bagi kalian. Dan makan dan minumlah kalian hingga menjadi jelas bagi kalian benarng putih dari benang hitam dari fajar. Setelah itu sempurnakanlah puasa hingga waktu malam.” (al-Baqarah: 187)

Dan hadits Jabir bin Abdullah, dimana disebutkan bahwa Umar bin al-Khaththab berkata, “Saya telah terbawa luapan gembira hingga mencium istriku sedangkan saya sedang berpuasa. Maka saya bertanya, ”Wahai Rasulullah, saya telah melakukan sebuah dosa besar pada hari ini, saya telah mencium istriku, sedangkan saya sedang berpuasa.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Bagaimanakah pendapat anda jika anda berkumur-kumur dengan air disaat anda sedang berpuasa?”
Saya menjawab, “Tidak mengapa.” Beliau bersabda, “Lalu ada gerangan apa -dengan mencium istri- !?”
(HR. Abu Dawud no. 2385, Ahmad 1/21, 215, ad-Darimi no. 1724 dan Ibnu Khuzaimah no. 1999)
Dan juga dengan atsar Umar bin al-Khaththab, beliau berkata, “Saya melihat berjumpa dengan Rasulullah di saat saya mimpi di malam hari dan beliau sama sekali tidak menoleh kepadaku. Lantas saya berkata, “Wahai Rasulullah, ada apakah denganku?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Bukankah engkau telah mencium istrimu disaat engkau sedang berpuasa?”
Maka saya berkata, ”Demi yang mengutus Anda dengan kebenaran, saya tidak akan mencium istriku lagi setelah itu disaat saya berpuasa.”
(Disebutkan oleh Ibnu Hazm didalam al-Muhalla 4/342)

Ketiga, bahwa hubungan tersebut suatu yang makruh, secara mutlak.
Pendapat ini merupakan pendapat Imam Malik, dan juga diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyab, an-Nakha’i, Abdullah bin al-Mughaffal, Sa’id bin Jubair, Urwah dan dari Ibnu Abbas.
Argumen yang dijadikan sandaran oleh ulama yang mengemukakan pendapat ketiga ini adalah hadits-hadits pada bab permasalahan ini. Dan mereka menempuh metode penyelarasan antara hadits-hadits itu, bahwa kesemuanya menunjukkan hukum makruh. Wallahu a’lam.

Keempat, bahwa hubungan tersebut diperbolehkan bagi seorang yang telah berusia lanjut dan makruh bagi yang masih remaja.
Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Makhul, asy-Sya’bi, Atha` bin Rabah dan az-Zuhri.

Adapun argumentasi ulama pada pendapat yang keempat ini, adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah -radhiallahu ’anhu, beliau berkata, “Bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menggauli istri bagi seorang yang sedang berpuasa, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan baginya. Kemudian datang seorang lainnya yang menanyakan hal yang sama, namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.
Dan ternyata yang mendapatkan keringanan adalah seorang yang telah berusia lanjut, sedangkan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang adalah seorang pemuda.”
(HR. Abu Dawud no. 2387)
Dan atsar Ibnu Abbas -radhiallahu ‘anhuma- bahwa beliau ditanya tentang hukum mencium istri bagi seorang yang sedang berpuasa?Lalu beliau memberi keringanan bagi yang telah berusia lanju dan membencinya bagi seorang pemuda.
(HR. Malik didalam al-Muwaththa` 1/93)

Kelima, bahwa hubungan tersebut adalah kekhususan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalil yang dijadikan sandaran pada pendapat ini adalah hadits ‘Amru bin Abi Salamah bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah seseorang mencium istrinya ketika sedang berpuasa?

Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallamr bersabda kepadanya, “Tanyakanlah kepadanya -yaitu kepada Ummu Salamah-.” Maka Ummu Salamah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu.
‘Amru bin Abi Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, dosa-dosa anda yang terdahulu dan yang akan datang telah terampuni.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamr bersabda kepadanya, ”Adapun hal tersebut, demi Allah, sesungguhnya saya adalah yang paling bertakwa kepada Allah diantara kalian dan yang paling takut kepada Allah diantara kalian.” (Telah disebutkan sebelumnya)
Dan juga dengan hadits Atha` bin Yasar terdahulu.
Keenam, bahwa bagi seseorang yang dapat menahan diri dan syahwatnya maka berciuman dan berhubungan dengan istri selain jima’ diperbolehkan baginya. Sedangkan bagi yang tidak dapat menguasai dirinya, hal semacam itu tidak diperbolehkan.

Pendapat ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Imam asy-Syafi’i.
Mereka berargumen dengan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- yang telah disebutkan sebelumnya, tentang seseorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum menggauli istri bagi seorang yang sedang berpuasa, yang kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringana kepadanya. Dan seorang lainnya menanyakan hal yang sama, namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Dan ternyata yang diberi keringanan adalah seorang yang telah berusia lanjut, sedangkan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang adalah seorang pemuda.
Mereka mengatakan, dikarenakan seorang yang berusia lanjut, syahwatnya telah berkurang, dan dapat mengendalikan dirinya untuk tidak tergelincir pada hal yang terlarang, berbeda halnya dengan seorang pemuda.

Pendapat yang rajih/lebih tepat -insya Allah- adalah pendapat yang pertama. Bahwa mencium disaat seseorang sedang mengerjakan puasa tidaklah sampai membatalkan ibadah puasa dan tidak ada kaffarah baginya dan juga tidak diharuskan mengqadha`. Baik yang melakukannya adalah seorang yang telah berusia lanjut maupun masih seorang pemuda, baik dia dapat mengontrol dirinya ataupun tidak, selama dia tidak melakukan jima’
(hubungan intim) pada kemaluan istrinya. Pendapat ini yang didukung oleh dalil-dalil syara’.
Adapun ulama yang berpendapat bahwa hal tersebut makruh, hadits-hadits yang ada pada bab ini adalah sanggahan terhadap pendapat tersebut.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya, dan tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan suatu perbuatan yang terbenci (makruh).
Sedangkan ayat yang dijadikan sandaran oleh ulama yang menghukumi batalnya puasa karena mencium dan menggauli istri selain jima’, ayat tersebut bukanlah dalil bagi pendapat ini. Dan jikalau, inferensi ayat tersebut diandaikan sesuai pendapat ini, hal itupun hanya sebatas menunjukkan larangan menggauli istri. Dan kandungannya sangatlah umum. Mencakup menggauli istri hingga jima’ dan tidak sampai melakukan jima’. Dan hadits-hadits yang shahih diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan maksud ayat, bahwa menggauli istri selain jima’ tidaklah sampai membatalkan puasa.

Atsar Umar bin al-Khaththab, bahwa beliau bermimpi bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, … dan seterusnya. Al-’Allamah Ibnu Hazm -rahimahullah- telah mencela bentuk argumen semisal ini. Beliau mengatakan, ”Syariat-syariat Islam tidaklah disadur dari mimpi. Terlebih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berfatwa kepada Umar disaat beliau sadar dan Rasulullah r masih hidup, akan pembolehan mencium istri bagi seseorang yang berpuasa. Maka termasuk kebatilan, jika hukum itu terhapuskan hanya dengan mimpi belaka. Na’udzu billahi dari hal ini.”
Dan beliau -rahimahullah- juga mengatakan, bahwa pada sanad atsar tersebut terdapat perawi bernama Umar bin Hamzah bahwa dia perawi yang tidak dianggap sama sekali.
Hadist Jabir bin Abdillah, dapat dijawab sebagaimana perkataan anNawawi, ” … sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Bagaimana pendapat anda jika anda berkumur-kumur?”
Makna hadits, bahwa berkumur-kumur adalah awal mula minum. Dan anda telah mengetahui bahwa berkumur-kumur tidaklah membatalkan puasa, maka demikian halnya dengan mencium yang merupakan awal mula jima’ juga tidak membatalkan puasa.”
Sedangkan ulama yang membedakan antara seorang yang telah berusia lanjut dan seorang pemuda, yang berargumen dengan hadits Abu Hurairah, dapatlah dijawab bahwa hadits yang menjadi sandaran hukum mereka adalah hadits yang dha’if, pada sanadnya terdapat Abu al-’Anbas dia perawi yang majhul.

Imam Ibnu Hazm -rahimahullah- mengatakan, “Dan yang turut mendustakan pendapat yang mengklaim adanya perbedaan, bahwa hal tersebut makruh bagi pemuda dan dibolehkan bagi seorang yang telah berusia lanjut, adalah ‘Amru bin Abi Salamah seorang yang masih remaja dan dalam gejolak usia remaja beliau. Dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan ‘Amru bin Abi Salamah adalah anak Ummu Salamah ummul-Mukminin. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkannya denan putri Hamzah radhiallahu ‘anhu.
Dan juga telah dikemukakan sebelumnya bahwa Aisyah -radhiallahu ‘anhatelah menyuruh keponakannya untuk mencium istrinya Aisyah binti Thalhah. Dimana keponakannya saat itu masihlah remaja.”

Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa hal tersebut berlaku khusus hanya bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dapat dijawab dengan hadits-hadits lainnya, semisal hadits Aisyah -radhiallahu ’anha- dan selainnya yang menunjukkan pembolehan hal tersebut bagi selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka klaim pengkhususan tersebut telah gugur dengan sendirinya.
(Lihat didalam al-Umm 2/84, al-Minhaj 3/214, al-Majmu’ 6/323, al-Muhalla 4/334-338 no. 753, al-Mughni 4/182-183, Zaad al-Ma’ad 2/57, al-Mawahib 3/331, Kasysyaf al-Qina’ 2/388-389, Subul as-Salam 2/877-879 dan Nail al-Authar 4/236-237)


SAMPAI MENJADIKANNYA KELUAR MANI ATAU MADZI (Tanpa Jima’)

Adapun keadaan yang kedua, jikalau hubungan intim tersebut, yakni mencium atau menggauli istri namun tidak sampai terjadi jima’ menyebabkan seseorang yang berpuasa tersebut mengeluarkan mani atau madzi, apakah membatalkan puasanya atau tidak?

Terdapat dua pendapat dikalangan ulama.
Pendapat sebagian besar ulama, yang juga merupakan mazhab Imam yang Empat, bahwa mencium dan menggauli istri selain jima’ hingga keluarnya mani atau madzi dapat membatalkan puasa, walau mereka berbeda pendapat hukum yang melakukan hal tersebut karena sengaja dan karena lupa.

Mereka mengatakan, karena hal tersebut serupa dengan jima’. Sementara telah shahih diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman, “Dia -seorang yang berpuasa- meninggalkan makan dan minumnya serta syahwatnya karena mengharapkan pahala dariku.” Dan amalan ini melazimkan adanya gejolak syahwat.

Sebagian ulama lainnya berpendapat, bahwa hal tersebut tidaklah membatalkan puasa, baik dia melakukannya dengan niat untuk mengeluarkan mani atau madzi ataukah tidak. Pendapat ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh al-Faqih Ibnu Hazm, ash-Shan’ani dan asy-Syaukani -rahimahumullah-. Karena hukum-hukum syara’ (puasa) dalam hal ini dikaitkan dengan jima’ semata. Dan tidak terdapat satupun dalil dari al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ dan pendapat shahabat yang mendukung pendapat yang menyatakan batalnya puasa karena hal tersebut.
(Lihat al-Muhalla 4/masalah no. 753, al-Majmu’ 6/322-323, al-Mughni 4/182-183, Subul as-Salam 2/877-879 dan Nail al-Authar 4/236-237)

2 Atsar Ali bin Abi Thalib, diriwayatkan dari jalan Urjufah dari Ali, beliau mengatakan, “Bagi siapa yang berbuka dengan sengaja pada siang hari Ramadhan maka dia selamanya tidak mengqadha`nya, sepanjang tahun, tidak sebagaimana yang mereka katakan apabila seseorang berhubungan intim dengan istrinya pada siang hari Ramadhan.”
(HR. Ibnu Abi Syaibah didalam al-Mushannaf 2/no. 9785)

3 Atsar Abdullah bin Mas’ud, diriwayatkan dari jalan Abdullah al-Yasykuri, dia
mengatakan, Abdullah berkata, ”Barang siapa yang berbuka pada siang hari Ramadhan dengan sengaja, tanpa -udzur- safar/bepergian jauh atau sakit, tidaklah dia selamanya mengqadha`nya, walau dia berpuasa setahun penuh.”
(HR. Ibnu Abi Syaibah 2/no. 9800 dan al-Baihaqi didalam as-Sunan al-Kubra 4/228)
Sumber : Edisi e-book dari “Risalah Ahkam Ramadhan” yang kami transkrip / salin dari artikel-artikel yang terdapat di web darelsalam yang merupakan tulisan dari Al Ustadz Abu Zakariya Rishky Al Atsary hafizhahullah
* * *

MENCUMBUI ISTERI

Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i
Soal 25:
Apa hukumnya orang yang memeluk istrinya dan menciumnya tanpa berjima’?
Jawab:
Aisyah berkata, “Bahwasanya Nabi memeluknya di bulan Ramadhan.” Kemudian Aisyah mengatakan, “Siapa di antara kalian yang paling dapat menahan kebutuhannya?”
Dan Ummu Salamah mengatakan bahwasanya Nabi menciumnya, demikian pula Aisyah mengatakan bahwasanya Nabi menciumnya. Dan Aisyah mengatakan bahwasanya Nabi adalah orang yang paling dapat menahan kebutuhannya. Apakah Ummul Mu’minin ini termasuk seseorang yang paling dapat menahan kebutuhannya ataukah tidak. Maka yang jelas bahwasanya hal itu tidak mengapa. Akan tetapi apabila ditakutkan menyebabkan jima’ maka wajib baginya untuk meninggalkan hal itu.

Keluar mani setelah bercumbu
Soal ke-40 :
Seorang laki-laki mencumbui istrinya di siang hari di bulan Ramadhan kemudian ia keluar maninya sedangkan ia tidak mengetahui apakah hal itu haram ataukah tidak haram. Maka apakah diwajibkan atasnya sesuatu ?
Jawab
Apabila ia mencumbui istrinya dengan tujuan untukmemenuhi syahwatnya dengan mengeluarkan maninya di luar daripada farji (kemaluan) istrinya maka ia dianggap ber-dosa. Karena sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda dari apa-apa yang meriwayatkan-nya dari Rabb-nya,
“meninggalkan makanannya, minumannya dan syahwatnya karena Aku.”
Dan apabila ia mencumbui istrinya dalam keadaan tidak mengetahui atau bodoh akan hukumnya maka hendaknya ia bertaubat kepada Allah dan apabila ia mengetahui maka hendaknya ia bertaubat kepada Allah jika ia mengetahui hal itu. Dan apabila ia mencumbui istrinya sedangkan ia dalam keadaan mengetahui bahwa mencumbui ini adalah hal yang diperbolehkan baginya kemudian ia memeluknya dan ia beranggapan bahwa hal ini tidak haram atasnya kecuali jima’ kemudian setelah itu ia mengeluarkan mani dan ia tidak bermaksud untuk mengeluarkan mani, maka tidak apa-apa baginya. Dan walau bagaimanapun maka tidak diwajibkan atasnya untuk memberikan kafarah jima’ pada setiap keadaan, dan ini adalah ucapan (pendapat) Abu Muhammad bin Hazm dan ini adalah shahih.

Sumber :
Buku Risalah Ramadhan, Kumpulan 44 Fatwa Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, Judul Asli : Bulugh Al Maram min Fatawa Ash-Shiyam As-ilah Ajaba ‘alaiha Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Penerbit Pustaka Ats-TsiQaat Press – Bandung, penerjemah Ibnu Abi Yusuf, Editor Ustadz Abu Hamzah.