Wajahnya tampan dan ceria, fasih bicaranya dan santun tutur katanya. Tidak terlalu tinggi badannya, tidak pula terlalu pendek sehingga enak dipandang mata. Di samping itu, beliau suka berpenampilan rapi, wajahnya ceria dan gemar memakai wewangian. Ketika muncul di tengah-tengah manusia, mereka bisa menebak kedatangannya dari bau wanginya sebelum melihat orangnya.
Itu lah dia
Nu’man bin Tsabit Al-Marzuban yang dikenal dengan Abu Hanifah, orang
pertama yang meletakkan dasar-dasar fikih dan mengajarkan hikmah-hikmah
yang baik.
Abu Hanifah
masih merasakan hidup sesaat sebelum berakhirnya khilafah bani Umayah
dan awal kekuasaan bani Abasiyah. Beliau hidup pada suatu masa di mana
para khalifah dan para gubernur memanjakan para ilmuwan dan ulama hingga
rejeki datang kepada mereka dari segala arah tanpa mereka sadari.
Meski demikian,
Abu Hanifah senantiasa menjaga martabat jiwa dan ilmunya dari semua
itu. Sesampainya di istana beliau disambut ramah dengan penuh hormat,
dipersilakan duduk di samping khalifah Al-Manshur kemudian khalifah
bertanya tentang banyak persoalan yang menyangkut agama maupun dunia.
Ketika beliau
bermaksud untuk pulang, Amirul Mukminin mengulurkan sebuah wadah yang di
dalamnya terdapat tiga puluh ribu dirham, padahal Al-Manshur dikenal
kikir dibanding yang lain. Lalu Abu Hanifah berkata, “Wahai Amirul
Mukminin, saya adalah orang asing di Baghdad ini dan tidak memiliki
tempat untuk menyimpannya. Maka aku titipkan di baitul maal, kelak jika
aku memerlukannya, saya akan meminta kepada Anda.” Maka Al-Manshur
mengabulkan permohonannya. Hanya saja, masa hidup Abu Hanifah tak begitu
lama setelah peristiwa itu. Ketika beliau wafat, ternyata didapatkan di
rumahnya harta titipan orang-orang yang jauh lebih besar daripada
pemberian Amirul Mukminin.
Tatkala
Al-Manshur mendengar berita tersebut, dia berkata, “Semoga Allah
merahmati Abu Hanifah. Dia telah mengelabuhi kita, dia tidak ingin
mengambil sesuatu pun dari kita, dia menolak pemberianku dengan cara
halus.”
Ini tidaklah
aneh, karena Abu Hanifah memiliki prinsip bahwa tidak ada yang lebih
bersih dan lebih mulia daripada orang yang makan dari hasil tangannya
sendiri. Oleh sebab itu, beliau menyediakan waktu khusus untuk
berdagang. Beliau berdagang kain dan pakaian, kadang-kadang pulang pergi
antar kota-kota di Irak. Di samping itu beliau juga memiliki toko
pakaian yang terkenal dan banyak dikunjungi orang. Mereka mendapatkan
kejujuran dalam bermuamalah dan amanah dalam memberi dan mengambil.
Tidak diragukan lagi bahwa mereka merasakan kesenangan tersendiri dari
cara muamalah Abu Hanifah, perniagaan beliau maju berkat karunia Allah
hingga banyak keuntungan yang beliau dapat.
Beliau
mendapatkan harta dengan cara yang halal lalu membelanjakan di tempat
yang semestinya. Telah menjadi kebiasaan beliau, setiap sampai haul
(satu tahun), beliau menghitung laba yang beliau dapat. Lalu menyisihkan
sekedarnya untuk mencukupi kebutuhannya, sisanya dibelikan barang untuk
diberikan kepada para penghafal Al-Qur’an, ahli hadits, ahli fikih dan
murid-muridnya baik berupa makanan ataupun pakaian. Beliau memberikan
hal itu sembari berkata, “Ini adalah laba dari hasil perniagaanku dengan
kalian, Allah melancarkannya di tanganku. Demi Allah, aku tidak memberi
kalian dengan hartaku sendiri, melainkan karunia Allah untuk kalian
yang diberikan-Nya melalui aku. Pada tiap-tiap rezeki tidak ada suatu
kekuatan dari seseorang kecuali dari Allah.”
Berita tentang
kedermawanan dan kebijaksanaan Abu Hanifah masyhur di belahan bumi timur
maupun barat. Terutama di kalangan para sahabat dan orang-orang yang
biasa bertemu dengan beliau.
Sebagai
contohnya, pernah seorang pelanggannya datang ke toko beliau seraya
berkata, “Saya membutuhkan baju “khaz”, wahai Abu Hanifah.” Beliau
menjawab, “Apa warna yang Anda kehendaki?” dia menjawab, “Yang berwarna
ini dan ini.” Beliau berkata, “Bersabarlah sampai saya menemukannya dan
akan aku berikan kepada Anda.”
Pada kasus yang
lain, ada seorang wanita tua yang mencari baju “khaz”, kemudian beliau
menunjukkanbarang yang dimaksud. Lalu wanita itu berkata, “Saya adalah
seorang wanita yang lemah, tidak pula tahu menahu soal harga, sedangkan
ini hanyalah titipan. Maka juallah baju itu dengan harga yang sama
ketika Anda membelinya, lalu ambillah sedikit untung darinya, karena
saya adalah wanita lemah.”
Abu Hanifah
berkata, “Saya membeli baju ini dua potong dalam satu harga. Saya sudah
menjual yang sepotong hingga kurang empat dirham saja dari modal saya.
Belialah baju ini seharga empat dirham karena saya tidak ingin
mendapatkan laba dari Anda.”
Suatu hari
beliau mendapatkan pakaian usang dan lusuh yang dikenakan seorang yang
menghadiri majlisnya. Ketika orang-orang telah bubar dan tak ada seorang
pun selain beliau dan laki-laki itu, beliau berkata, “Angkatlah alas
shalat itu lalu ambillah sesuatu di bawahnya.” Orang itu mengangkat alas
yang dimaksud, ternyata ada uang seribu dirham. Abu Hanifah berakta,
“Ambillah dan perbaikilah penampilan Anda.” Orang itu menjawab, “Saya
adalah orang yang mampu. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melimpahkan
nikmat-Nya untuk saya. Saya tidak membutuhkannya.” Abu Hanifah berkata,
“Jika Allah telah memberikan nikmatnya kepada Anda, lantas manakan bekas
nikmat yang engkau tampakkan? Belum sampaikah sabda Nabi saw, “Allah
suka melihat bekas-bekas nikmat-Nya atas para hambanya,” sudah
sepantasnya Anda memperbagus penampilan Anda agar tidak menyusahkan
teman Anda.”
Kedermawanan
Abu Hanifah dan perlakuan baiknya kepada orang lain mencapai klimaksnya,
hingga setiap kalia beliau memberikan belanja kepada keluarganya,
beliau juga menginfakkan jumlah yang sama kepada orang-orang yang
membutuhkan. Setiap kali beliau memakai baju baru, beliau juga
membelikan baju-baju untuk orang miskin sebesar harga bajunya. Jika
diletakkan makanan di hadapannya, beliau sisihkan separuhnya untuk
diberikan kepada orang-orang fakir.
Diriwayatkan
pula bahwa beliau bertekad setiap kali bersumpah kepada Allah di tengah
pembicaraannya, beliau akan bersedekah dengan satu dirham perak.
Berikutnya ditingkatkan lagi, beliau berjanji untuk bersedekah satu
dinar emas setiap kali bersumpah di tengah pembicaraanya. Namun jika
sumpahnya menjadi kenyataan, dia sedekah lagi sebanyak satu dinar.
Salah satu
rekan bisnis Abu Hanifah adalah Hafs bin Abdurrahman. Abu Hanifah biasa
menitipkan kain-kain kepadanya untuk dijual ke sebagian kota-kota di
Irak. Suatu kali Abu Hanfiah memberikan dagangan yang banyak kepada
Hafsh sambil memberitahukan bahwa pada barang ini dan itu ada cacatnya.
Beliau berkata, “Jika Anda bermaksud menjualnya, maka beritahukanlah
cacat barang kepada orang yang hendak membelinya.”
Akhirnya Hafsh
berhasil menjual seluruh barang, namun dia lupa memberitahukan cacat
barang-barang tertentu tersebut. Dia berusah mengingat-ingat orang yang
telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, namun hasilnya nihil.
Tatkala Abu Hanifah mengetahui duduk perkaranya, juga tidak mungkin
diketahui siapa yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut,
beliau merasa tidak tenang hingga kahirnya beliau sedekahkan seluruh
hasil penjualan yang dibawa Hafsh.
Di samping itu,
Abu Hanifah juga pandai bergaul. Majelisnya dipenuhi orang dan dia
bersusah hati bila ada yang tidak hadir meski dia orang yang
memusuhinya. Salah seorang sahabatnya mengisahkan, “Aku mendengar
Abdullah bin Mubarak berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu
Abdillah alangkah jauhnya Abu Hanifah dari ghibah. Akut ak pernah
medengarnya menyebutkan satu keburukan pun tentang musuhnya.” Sufyan
Ats-Tsauri menjawab, “Abu Hanifah cukup berakal sehingga tidak akan
membiarkan kebaikannya lenyap karena ghibahnya.”
Di antara
kegemaran Abu Hanifah adalah mencukupi kebutuhan orang yang menarik
simpatinya. Sering ada orang lewat kemudian ikut duduk di majelisnya
tanpa sengaja. Ketikadia hendak beranjak pergi, beliau segera
menghampirinya dan bertanya tentang kebutuhannya. Bila dia punya
kebutuhan, maka Abu Hanifah akan memberinya, kalau sakit maka akan
beliau antarkan dan jika memiliki hutang maka beliau akan membayarkan
sehingga terjalinlah hubungan yang baik antara keduanya.
Dengan segala
keutamaan yang disandang Abu Hanifah tersebut, beliau juga termasuk
orang yang rajin shaum di siang hari dan shalat tahajud di malam
harinya. Akrab dengan Al-Qur’an dan istighfar di waktu ashar.
Ketekunannya dalam beribadah di latar belakangi oleh peristiwa di mana
beliau mendatangi suatu kaum lalu mendengar mereka berkomentar tentang
Abu Hanifah. “Orang yang kalian lihat itu tidak pernah tidur malam.”
Demi mendengar kata-kata itu, Abu Hanifah berkata, “Dugaan orang
terhadapku ternyata berbeda dengan apa yang aku kerjakan di sisi Allah.
Demi Allah jangan pernah orang-orang mengatakan sesuatu yang tidak aku
lakukan. Aku tak akan tidur di atas bantal sejak hari ini hingga bertemu
dengan Allah.”
Mulai hari itu
Abu Hanifah membiasakan seluruh malamnya untuk shalat. Setiap kali malam
datang dan kegelapan menyelimuti alam, ketika semua lambung merebahkan
diri. Beliau bangkit mengenakan pakaian yang indah, merapikan jenggot
dan memakai wewangian. Kemudian beridiri di mihrabnya, mengisi malamnya
untuk ketaatan kepada Allah, atau membaca beberapa juz dari Al-Qur’an.
Setelah itu mengangkat kedua tangan dengan sepenuh harap disertai
kerendahan hati. Terkadang beliau mengkhatamkan Al-Qur’an penuh dalam
satu rekaat, terkadang pula beliau menghabiskan shalat semalam dengan
satu ayat saja.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa tatkala shalat malam secara berulang-ulang Abu Hanifah membaca membaca firman Allah Ta’ala:
“Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pasti,” (Al-Qamar: 46).
Beliau menangis karena takut kepada Allah dengan tangisan yang menyayat hati.
Telah diketahui
banyak orang selama lebih dari empat puluh tahun beliau melakukan
shalat fajar dengan wudhu shalat isya’. Hingga akhir wafat beliau pernah
mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 7000 kali.