Ajaran Ahmadiyah banyak mendapat penentangan dari para ulama di India, termasuk juga di Indonesia. Di antara ulama India yang terdepan menentangnya adalah Asy-Syaikh Tsana`ullah Al-Amru Tasri. Karena geram, Ghulam Ahmad akhirnya mengeluarkan pernyataan pada tanggal 15 April 1907 yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Tsana`ullah. Namun anehnya tantangan mubahalah ini justru dialami oleh Ghulam ahmad sendiri.
Di antara bunyinya:
“…Engkau selalu menyebutku di
majalahmu (‘Ahlu Hadits’) ini sebagai orang terlaknat, pendusta,
pembohong, perusak… Maka aku banyak tersakiti olehmu… Maka aku berdoa,
jika aku memang pendusta dan pembohong sebagaimana engkau sebutkan
tentang aku di majalahmu, maka aku akan binasa
di masa hidupmu. Karena aku tahu bahwa umur pendusta dan perusak itu tidak akan panjang… Tapi bila aku bukan pendusta dan pembohong bahkan aku mendapat kemuliaan dalam bentuk bercakap dengan Allah, serta aku adalah Al-Masih yang dijanjikan maka aku berdoa agar kamu tidak selamat dari akibat orang-orang pendusta sesuai dengan sunnatullah.
di masa hidupmu. Karena aku tahu bahwa umur pendusta dan perusak itu tidak akan panjang… Tapi bila aku bukan pendusta dan pembohong bahkan aku mendapat kemuliaan dalam bentuk bercakap dengan Allah, serta aku adalah Al-Masih yang dijanjikan maka aku berdoa agar kamu tidak selamat dari akibat orang-orang pendusta sesuai dengan sunnatullah.
Aku umumkan bahwa jika engkau tidak mati semasa aku hidup dengan hukuman Allah yang tidak terjadi kecuali benar-benar dari Allah seperti mati dengan sakit tha’un, atau kolera berarti AKU BUKAN RASUL DARI ALLAH…
Aku berdoa kepada Allah, wahai penolongku Yang Maha Melihat, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Berilmu, Yang mengetahui
rahasia qalbu, bila aku ini adalah pendusta dan perusak dalam
pandangan-Mu dan aku berdusta atas diri-Mu malam dan siang hari, ya
Allah, maka matikan aku di masa hidup Ustadz Tsana`ullah. Bahagiakan
jamaahnya dengan kematianku –Amin–.
Wahai Allah, jika aku benar dan
Tsana`ullah di atas kesalahan serta berdusta dalam tuduhannya
terhadapku, maka matikan dia di masa hidupku dengan penyakit-penyakit yang membinasakan
seperti tha’un dan kolera atau penyakit-penyakit selainnya…. Akhirnya,
aku berharap dari Ustadz Tsana`ullah untuk menyebarkan pernyataan ini di
majalahnya. Kemudian berilah catatan kaki sekehendaknya. Keputusannya
sekarang di tangan Allah.”
Penulis, hamba Allah Ash-Shamad, Ghulam
Ahmad, Al-Masih Al-Mau’ud. Semoga Allah memberinya afiat dan bantuan.
(Tabligh Risalat juz 10 hal. 120)
Apa yang terjadi? Setelah berlalu 13 bulan 10 hari dari waktu itu, justru Ghulam Ahmad yang diserang ajal. Doanya menimpa dirinya sendiri.
Putranya Basyir Ahmad menceritakan:
“Ibuku mengabarkan kepadaku bahwa
Hadrat (Ghulam Ahmad) butuh ke WC langsung setelah makan, lalu tidur
sejenak. Setelah itu butuh ke WC lagi. Maka dia pergi ke sana 2 atau 3
kali tanpa memberitahu aku. Kemudian dia bangunkan aku, maka aku
melihatnya lemah sekali dan tidak mampu untuk pergi ke ranjangnya. Oleh
karenanya, dia duduk di tempat tidurku. Mulailah aku mengusapnya dan
memijatnya. Tak lama kemudian, ia butuh ke WC lagi. Tetapi sekarang ia
tidak dapat pergi ke WC, karena itu dia buang hajat di sisi tempat tidur
dan ia berbaring sejenak setelah buang hajat. Kelemahan sudah mencapai
puncaknya, tapi masih saja hendak buang air besar. Diapun buang
hajatnya, lalu dia muntah. Setelah muntah, dia terlentang di atas
punggungnya, dan kepalanya menimpa kayu dipan, maka berubahlah
keadaannya.” (Siratul Mahdi hal. 109 karya Basyir Ahmad)
Mertuanya juga menerangkan:
“Malam ketika sakitnya Hadhrat (Ghulam Ahmad), aku tidur di kamarku.
Ketika sakitnya semakin parah, mereka membangunkan aku dan aku melihat
rasa sakit yang dia derita. Dia katakan kepadaku, ‘Aku terkena kolera.’ Kemudian tidak bicara lagi setelah itu dengan kata yang jelas, sampai mati pada hari berikutnya setelah jam 10 pagi.”
(Hayat Nashir Rahim Ghulam Al-Qadiyani hal. 14)
Pada akhirnya dia mati tanggal 26 Mei 1908.
Sementara Asy-Syaikh Tsana`ullah
tetap hidup setelah kematiannya selama hampir 40 tahun. Demikianlah
Allah Subhanahu wa Ta’ala singkap tabir kepalsuannya dengan akhir
kehidupan yang menghinakan, sebagaimana dia sendiri memohonkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kini siapa yang sadar dan bertobat setelah tersingkap kedustaannya?
Wallahu a’lam bish-shawab.