Searching...

Menapak Jejak Kebesaran Kerajaan Kediri dari Peninggalannya

Samsul Hadi - detikSurabaya

(detiksurabaya/Samsul Hadi)
Kediri - Kerajaan Kediri pernah mencapai kejayaan pada tahun 1135 - 1159 Masehi silam. Ribuan tahun berselang kebesaran tersebut masih dapat ditemukan dari sejumlah peninggalannya, setelah sebelumnya seluruh aset diyakini tenggelam akibat terkubur oleh material vulkanik yang dimuntahkan sejumlah gunung berapi di sekitarnya.

Lazimnya sejumlah peninggalan bersejarah, terutama dari zaman pra sejarah, tak sedikit diantaranya yang memiliki kandungan cerita mistis.

Dalam catatan sejarah Kerajaan Kediri adalah penyatuan dari 2 kerajaan berbeda yang
sebenarnya terikat dalam persaudaraan, yaitu Panjalu dan Jenggala. Penyatunya adalah
Raja Jayabaya, yang selanjutnya juga dicatat sebagai raja paling sukses dalam capaian kebesaran tersebut.

Informasi yang berhasil dihimpun detiksurabaya.com menyebutkan, nama Kediri sendiri
pertama kali diketahui berdasarkan Prasasti Harinjing B yang ditafsir ditulis pada tahun 842 S atau 921 Masehi. Isi prasasti yang menuliskan Kediri adalah sisi verso (sisi belakang) baris ke enam belas, yaitu I Sri Maharaja Mijil Angken Cetra Ka 3, I Sang Pamgat Asing Juru I Kadiri Ri Wilang.

"Itu bahasa Sansekerta yang kalau diartikan kurang lebihnya adalah Sri Maharaja setiap bulan Cetra tanggal 3, dan kepada sang pamgat (penjamu orang) asing di Kadiri Desa Wilang," ungkap dosen ilmu sejarah Universitas Nusantara PGRI Kota Kediri, Zainal Afandi, saat berbincang dengan detiksurabaya.com, Senin (24/1/2011).

Sementara sejumlah peninggalan yang menandakan kebesaran Kerajaan Kediri, dapat dijumpai diantaranya dari bangunan Pamuksan Sri Aji Jayabaya yang dibangun di Desa
Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Bangunan itu didirikan oleh Yayasan Hondodento, Yogyakarta, sebagai bentuk penghargaan atas kebesaran Jayabaya. Proses
pembangunannya sendiri berakhir pada tahun 1983 silam.

"Bisa juga itu dikatakan peninggalan, meski sebenarnya adalah bangunan baru. Konon
disana adalah pamuksan, atau tempat dimana Raja Jayabaya diyakini terakhir kali ditemui ada di dunia," sambung Zainal.

Bangunan Pemuksan Sri Aji Jayabaya sendiri banyak diyakini memiliki sisi mistis, dimana dipercaya sebagai tempat yang mujarab untuk pemanjatan permohonan. Secara fisik bangunannya berpusat pada Loka Muksa yang terdiri dari lingga dan yoni berbentuk menyatu dengan sebuah manik (batu bulat berlubang di bagian tengah yang menyerupai mata). Secara keseluruhan, bangunan ini dikelilingi pagar beton bertulang yang dilengkapi tiga buah pintu. Konon, tiga pintu ini merepresentasi tingkat kehidupan kita yang meliputi lahir, dewasa, dan mati.

Di kompleks yang sama juga didirikan bangunan Loka Busana dan Loka Tahta, yang dianggap menggambarkan tempat penyimpanan busana Sri Aji Jayabaya sebelum muksa, serta tempat penyemayaman tahta kekuasaan.

"Disini kalau Kamis malam Jumat Legi dan Selasa Kliwon, pasti ramai. Kalau mau
membuktikan monggo datang kesini," ujar juru kunci pamuksan, Mbah Suratin.

Suratin lantas mengungkapkan, tingkat kemujaraban Pamuksan Sri Aji Jayabaya sebagai
tempat pemanjatan permohonan tak hanya dipercaya masyarakat awam, melainkan sejumlah pejabat di Indonesia. Sejumlah nama besar diakuinya rutin datang ke lokasi tersebut, diantaranya Wakil Ketua KPK Bibid Samad Rianto, mantan Panglima ABRI Wiranto, mantan Pangkostrad yang saat ini menjabat Ketua HKTI Prabowo, mantan Ketua MPR RI Harmoko, mantan Ketua DPR RI Akbar Tanjung dan nama-nama lainnya.

"Disini tidak hanya pejabat, artis juga ada. Saya sendiri kalau diminta menyebut satu persatu sudah nggak hafal lagi, karena kalau artis biasanya juga yang datang orang utusan," lanjut Mbah Suratin.

Terkait proses pendirian Pamuksa Sri Aji Jaya, Mbah Suratin menjelaskan, diawali dari lelaku rogoh sukmo oleh Bopo Pleret, seorang ahli nujum dari Yayasan Hondodento yang akhirnya meyakini di Desa Menang adalah lokasi dimana  Raja Jayabaya terakhir kali berada di dunia.

"Mungkin kalau dinalar tidak bisa. Tapi disinilah saya juga yakin memang disini tempat dimana Sri Aji Jayabaya muksa," pungkasnya.


Ket Foto: Pamuksan Sri Aji Jayabaya di Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, dipercaya sebagai lokasi dimaa sang raja Kerajaan Kediri tersebut terakhir kali ada di dunia sebelum muksa (hilang tanpa jejak).
Menapak Jejak Kerajaan Kediri (2)
Sendang Kamandanu, Airnya Diyakini Penyembuh Segala Penyakit
Samsul Hadi - detikSurabaya

(detiksurabaya/Samsul Hadi)
Kediri - Lazimnya bangunan kerajaan, Kediri juga dilengkapi dengan patirtan yang dalam masanya juga difungsikan sebagai kaputren atau tempat bermain putri-putri raja. Salah satu peninggalan Kerajaan Kediri ini diyakini airnya bisa menyembuhkan segala macam penyakit.

Salah satu peninggalan berupa patirtan dari Kerajaan Kediri dapat  dijumpai di Sendang Kamandanu, yang juga berlokasi di Desa Menang, Kecamatan Pagu, tepatnya sekitar 200 meter sebelah utara Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Tidak diketahui secara persis tahun penemuannya, namun saat ini sudah dibangun sebagai salah satu objek wisata, dimana prosesnya juga selesai pada tahun 1983 silam.

Supoyo, juru kunci Sendang Kamandanu mengatakan, lokasi yang dijaganya konon adalah patirtan yang menjadi lokasi bermain putri Sri Aji Jayabaya. Untuk saat ini airnya
banyak digunakan sebagai sarana bersuci, bagi siapa saja yang akan berziarah ke
Pamuksan Sri Aji Jayabaya.

"Ini satu paket. Biasanya yang akan ke Pamuksan ya kesini dulu, baik mandi atau sekedar cuci kaki dan tangan," ungkap Supoyo kepada, detiksurabaya.com, Kamis (27/1/2011).

Karena dianggap satu paket dengan Pamuksan Sri Aji Jayabaya, Sendang Kamandanu juga tercatat pernah dikunjungi orang-orang penting di negeri ini. Bahkan kedatangan tersebut terkadang tak hanya mandi, tetapi juga untuk mengambil air di dalamnya untuk dibawa pulang dengan tujuan tertentu.

"Kalau airnya sama saja dengan air biasa. Tapi yang namanya mempercayai kan boleh saja, dan memang kalau meyakini biasanya akan mujarab," sambung Supoyo.

Diluar faktor mistis di Sendang Kamandanu yang menjadikan airnya diyakini mengandung manfaat, Supoyo mengungkapkan, di sekeliling bangunan tersebut berdiri sejumlah tanaman yang bisa menjadi sumber pengobatan. Diantaranya pohon akar pule, adhem ati dan mengkudu.

"Nah dari sini kan airnya memang bisa dikatakan berkhasiat sebagai obat. Disini akar-akarnya pohon itu secara langsung bersentuhan dengan sumber air," tambahnya jelas.

Supoyo, lelaki bertumbuh tambun dengan jenggot yang dibiarkan memanjang tersebut juga mengatakan, kompleks Pamuksan Sri Aji Jaya dan Sendang Kamandanu yang berlokasi di Desa Menang diyakini memiliki daya magis yang kuat karena singkatan namanya. Jayabaya konon dapat diartikan, Yen Pengen Joyo Ing Pamenang, Yen Pengen Ngilangi Beboyo Ing Pamenang. (Jika ingin jaya ya dimulai di Pamenang, dan jika ingin menghilangkan mara bahaya juga dapat mendatangi Pamenang).

"Makanya orang-orang penting itu datang kesini, karena memang disinilai punjer (pusatnya). Pak Bibit (Samad Rianto) saja kalau pulang ke Kediri, hampir pasti datang kesini," tegas Supoyo.


Ket Foto: Sendang Kamandanu yang berlokasi sekitar 200 meter sebelah utara Pamuksan Sri Aji Joyoboyo.
(bdh/bdh) 


Menapak Jejak Kerajaan Kediri (3)
Jongko Joyoboyo, Peninggalan Tak Berwujud yang Terasa Nyata
Samsul Hadi - detikSurabaya

Kediri - Berbicara Kerajaan Kediri memang tak bisa dipisahkan dari sosok Sri Aji Jayabaya. Dari nama tersebut yang juga tak bisa dilupakan adalah Jongko Joyoboyo, ramalan sang raja untuk masa mendatang. Banyak pihak meyakini isi ramalan tersebut benar terjadi, meski saat ini naskah aslinya tidak dapat dijumpai lagi.

Supoyo, juru kunci Sendang Kamandanu membenarkan jika Jongko Joyoboyo adalah peninggalan dari Kerajaan Kediri yang saat ini sudah tak berwujud. Naskah aslinya yang diperkirakan ditulis di atas daun lontar diduga ikut lenyap bersamaan dengan hancurnya fisik kerajaan, sementara salinannya dalam lempengan besi diduga tersimpan di sebuah museum di Belanda.

"Kabarnya begitu. Itu dibawa oleh Belanda saat akan meninggalkan Indonesia, saat
mereka kalah dari Jepang dulu," kata Supoyo saat berbincang dengan detiksurabaya.com, Kamis (27/1/2011).

Supoyo menjelaskan, Jongko Joyoboyo adalah sekumpulan sabda dari Sri Aji Jayabaya yang ditulis oleh 2 orang pujangga kepercayaannya. Belakangan sabda tersebut lebih dikenal sebagai ramalan, karena banyak yang saat ini terbukti dan juga masa mendatang. Gambaran kejadian yang akan datang dalam Jongko Joyoboyo dipecah menjadi 3 masa, yaitu Kalisworo, Kaliyogo dan Kalisangsoro.

Meski sudah 'tak berwujud' Jongko Joyoboyo bukan berarti tidak dapat diketahui, karena petikan-petikannya sekarang banyak digandakan dan diperjual belikan secara bebas.

"Kalau yang petikan biasanya sudah diubah jadi syair-syair Jawa, seperti tembang. Ada yang kinanthi, dandang gendhis dan lain sebagainya," jelas Supoyo.

Untuk contoh tembang kinanthi yang termuat di petikan Jongko Joyoboyo, masih kata Supoyo, diantaranya adalah Riwayat kanthi daharu, lelakone jaman wuri, kang badhe
jumeneng Nota amengku Bawono Jawi, kusumo trahing Narendro kang sinung panggalih suci. Tembang tersebut banyak disebut merupakan ramalan untuk pemimpin bangsa Indonesia mendatang, yang bisa menjadikan negara ini makmur sejahtera.

"Tembang itu kalau diartikan kurang lebihnya adalah riwayat jaman dulu yang sudah terjadi. Yang akan memimpin tanah Jawa adalah orang yang benar-benar keturunan ratu
(pemimpin) yang memiliki pemikiran bersih," jelas Supoyo.

Yang menarik Jongko Joyoboyo juga dipercaya sudah meramalkan sejumlah bencana alam besar di Indonesia jauh sebelum bencana itu sendiri datang. Diantaranya adalah munculnya lumpur Lapindo di Sidoarjo, serta dampak yang akan diakibatkannya di masa
mendatang.

Ramalan untuk bencana lumpur Lapindo dipercaya tertuang dalam tembang Dene wonten daharu saksampune hardi Merapi, gung kobar saking dahono, segar tengahiro kadi, lepen mili toyo lahar, ngalor ngetan njong pesisir. (Apabila ada bencana setelah letusan Merapi, dari kobaran api tanah terbelah, di sungai mengalir lahar (lumpur), ke arah utara dan timur sampai ke pesisir).

"Tembang itu tepat kan. Lumpur Lapindo terjadi setelah letusan Gunung Merapi tahun
2006, dan alirannya ke timur dan utara sampai nanti ke pesisir," pungkas Supoyo.


Ket Foto: Arca Totok Kerot di Desa Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kabupaten
Kediri.


(bdh/bdh)

Menapak Jejak Kerajaan Kediri (4)
Arca Totok Kerot, Sebuah Cerita Rakyat Bukti Kesaktian Sri Aji Jayabaya
Samsul Hadi - detikSurabaya

Arca Totok Kerot
Kediri - Sosok Sri Aji Jayabaya memang menjadi sentral dalam perjalanan Kerajaan Kediri, karena selain menjadi raja paling sukses juga dikenal memiliki kesaktian tak tertandingi. Salah satu buktinya saat ini dapat dijumpai di Arca Totok Kerot, dimana berdasarkan cerita rakyat patung tersebut tercipta sebagai akibat dari sabda yang dikeluarkan sang raja.

Arca Totok Kerot berada di Desa Bulupasar, Kecamapatan Pagu, Kabupaten Kediri, atau
sekitar 10 kilometer sebelah selatan Pamuksan Sri Aji Jayabaya di Desa Menang.
Perwujudannya berupa seorang buto atau raksasa perempuan dengan rambut terurai, duduk jongkok satu kaki tegak, mata melotot, mengenakan mahkota dan kalung berbandul terkorak dan satu lengan sebelah kiri putus.

"Arca ini ditemukan sejak jaman penjajahan Jepang dulu. Kalau lengannya yang putus
itu karena dipaksa diangkat pada jamannya Belanda dulu," kata Slamet, pemilik warung
di sekitar lokasi Arca Totok Kerot, saat berbicang dengan detiksurabaya.com, Kamis
(27/1/2011).

Slamet menambahkan, meski berupa arca Totok Kerot diyakini masih 'hidup' dan itu bisa diketahui oleh sejumlah orang yang memiliki keahlian khusus. Dia sendiri mengaku pernah menjumpainya dalam mimpi sebanyak 2 kali, dimana Totok Kerot adalah jelmaan seorang putri berparas cantik dengan pakaian khas kerajaan. "Itulah kenapa tangannya putus saat diangkat. Dia tidak mau dipindahkan dipaksa, jadinya ya begitu," sambungnya.

Mengenai siapa sebenarnya Totok Kerot, dalam sebuah cerita rakyat yang terkenal di
Kabupaten Kediri arca tersebut adalah penjelmaan puteri cantik dari seorang demang
di Lodoyo, Blitar. Dia berkeras ingin diperistri oleh Sri Aji Jayabaya, meski keinginannya tersebut ditentang oleh sang ayah.

Karena tak mendapatkan restu orang tua, sang puteri nekat datang ke Kediri dan terlibat peperangan dengan pasukan dari kerajaan, dimana dikisahkan kemenangan akhirnya berpihak kepadanya. Sebagai tuntutan atas kemenangannya, sang puteri berkeras ingin ditemui oleh Sri Aji Jayabaya, dimana apabila keinginan tersebut tak dikabulkan dia akan membuat onar.

Tuntutan sang puteri terkabulkan, dimana saat berhasil bertemu dengan Sri Aji Jayabaya dia kembali menyampaikan keinginannya untuk diperistri. Namun Sri Aji Jayabaya bersikukuh menolak keinginan sang puteri dan terjadi perang tanding diantara keduanya. Setelah sang puteri terdesak, Sri Aji Jayabaya mengeluarkan sabda dengan menyebut sang puteri memiliki kelakuan seperti buto, hingga akhirnya terwujudlah sebuah arca raksasa.

"Soal nama Totok Kerot asalnya dari mana saya tidak tahu, cuman inilah bukti bagaimana Jayabaya memang sakti. Sekali ucap saja bisa jadi apa yang diinginkannya," tambah Slamet tegas.

Slamet juga mengatakan, entah karena memang kesaktian sang puteri dari Lodoyo, Blitar, atau berkah dari kehebatan Sri Aji Jayabaya, arca Totok Kerot saat ini diyakini memiliki daya magis yang luar biasa besar. Setiap harinya pengunjung hampir pasti ada, dimana mereka selalu memanjatkan keinginan sesuai dengan apa yang diyakininya.

"Dari Blitar, Jombang, Surabaya sampai Jawa Tengah ada yang datang kesini. Biasanya
mereka obong-obong (ritual) di sekitar arca dan memanjatkan keinginan," pungkas
Slamet.
Menapak Jejak Kerajaan Kediri (Habis)
Sejumlah Peninggalan Tercecer di Kota Kediri, Namun Tak Terurus
Santi Rahayu,Samsul Hadi - detikSurabaya

Kediri - Masa Kerajaan Kediri memang belum membedakan wilayah kota dan kabupaten, seperti yang saat ini terjadi. Dan saat pemisahan itu, sejumlah peninggalan Kerajaan Kediri ada yang tercecer di wilayah kota, dimana kondisinya saat ini tampak tak terurus dengan baik.

Pantauan detiksurabaya.com menunjukkan, peninggalan Kerajaan Kediri di wilayah Kota
Kediri saat ini dikumpulan di Museum Airlangga yang berlokasi di sekitar Gunung
Klotok, Kelurahan Pojok, Kecamatan Mojoroto. Lebih dari 100 peninggalan berupa arca,
prasasti batu tulis, jambangan dan ornamen purbakala lain ada di lokasi tersebut.

"Ini disini barang titipan. Yang punya ya BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Trowulan," kata Tutik, salah satu petugas jaga di Museum Airlangga saat
berbincang dengan detiksurabaya.com, Kamis (27/1/2011).

Sayang banyaknya koleksi tak sebanding dengan luas ruangan museum, sehingga sejumlah peninggalan harus dibiarkan berada di luar ruangan. Kondisi ini mengakibatkan tumbuhnya lumut di permukaan, sehingga menjadikannya tak menarik untuk diamati.
Benda-benda purbakala di Museum Airlangga yang dibiarkan di luar ruangan diantaranya
umpak, lingga dan sejumlah arca.

"Ini kan gabungan yang ditemukan di (kolam pemandian) Tirtoyoso dan di sekitar Gunung Klotok, jadi jumlahnya memang sangat banyak," sambung Tutik.

Kepala Sub Bagian Pemberitaan Humas Pemkot Kediri Afif Permana, terkait terjadinya
penelantaran peninggalan benda purbakala di Museum Airlangga, menyanggahnya sebagai sebuah bagian dari lay out. Sejumlah arca sengaja diletakkan di luar ruangan dengan harapan menjadikan pengunjung tak bosan saat mengunjunginya.

"Kalau nglutek di satu ruangan kan kesannya sempit, pengunjung nantinya juga pasti
akan cepat bosan," kilah Afif.

Afif juga membantah munculnya lumut pada permukaan benda purbakala akan mengimbulkan kesan tak menarik, karena arca sudah selayaknya diletakkan di luar ruangan. "Di Candi Borobudur di luar nggak pakai penutup juga tidak masalah," tambahnya ketus.

Namun keputusan penelantaran peninggalan benda purbakala di Museum Airlangga sangat disayangkan oleh kalangan sejarawan. Salah satunya dosen ilmu sejarah Universitas Nusantara PGRI Kota Kediri Zainal Afandi, yang menganggapnya sebagai bentuk ketidak pedulian pemerintah terhadap peningalan benda purbakala. Pemerintah sejauh ini dinilai belum menganggap penting benda bersejarah tersebut.

"Mereka selalu beralasan kurang anggaran. Dan kalau saya boleh menilai, penilaian mereka intinya mengurusi yang hidup saja susah, kenapa repot mengurusi benda mati yang tidak jelas peruntukannya," tandas Zainal. (bdh/bdh)  

Sumber : detik