Searching...

Ir.Soekarno ( Full )

 



Kelahiran Sukarno, Proklamator kita pada tanggal 6 Juni 1901, sejatinya telah diselimuti tanda-tanda alam. Diawali dengan jam kelahiran yang menunjuk pukul 05.30 pagi, saat sang surya merekah, saat sang fajar menyingsing. Orang Jawa memiliki kepercayaan, seseorang yang dilahirkan saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu.

Terlebih, Bung Karno yang dilahirkan tahun 1901 terbilang putra perintis abad. Ya, abad ke-19, sebuah peradaban gelap yang masih menyelimuti bangsa kita dan sebagian besar belahan bumi lainnya. Saat itu, imperialisme merajalela. Eksploitasi sebuah bangsa oleh bangsa lain menjadi dosa sejarah peradaban. Tidak hanya Indonesia yang ketika itu disebut Hindia Belanda, tetapi juga wilayah-wilayah lain di Asia, Afrika, dan lain-lain.
Kelahiran putra sang fajar, diyakini —setidaknya oleh Idayu, sang ibunda— bakal menjadi penerang bagi bangsanya. Letusan Gunung Kelud yang terjadi kala Sukarno lahir, makin menguatkan pratanda alam menyambut kehadirannya di atas jagat raya. Jabang bayi putra Raden Sukemi Sosrodihardjo ini, siapa nyana, kelak berjuluk Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertinggi, Presiden Republik Indonesia yang pertama. Dialah sang proklamator, yang membawa bangsa ini memasuki pintu gerbang kemerdekaan, setelah lebih 3,5 abad dijajah Belanda (dan Jepang).









Proklamasi 17 Agustus 1945




Puncak perjuangan bangsa Indonesia menggapai kemerdekaan, terwujud pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 Tahun Masehi, atau 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang, atau 17 Ramadan 1365 Tahun Hijriah. Teks proklamasi dibacakan Ir. Sukarno yang didampingi oleh Dr. Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Jakarta Pusat.

Apa makna proklamasi kemerdekaan pada era kini? Tergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan. Bagi sebagian kecil masyarakat Indonesia, yang masih segar ingatannya tentang kekejian penjajahan pemerintahan Hindia Belanda, maka proklamasi kemerdekaan dimaknai sangat dalam. Proklamasi kemerdekaan dimaknai sebagai lepasnya belenggu penjajahan dan penindasan oleh bangsa asing.

Bagi generasi yang lebih muda, angkatan 60-an, angkatan 80-an, apalagi angkatan 2000-an, proklamasi 17 Agustus 1945 boleh jadi tidak lagi dimaknai sedalam pemaknaan oleh para orang tua kita, yang lahir pada era 20-an sampai 40-an. Alhasil, mengenang hari kemerdekaan, makin hari makin bergeser, dari peringatan yang begitu khidmat, menjadi ingar-bingar seremonial.



Salahkah? Ini bukan soal benar dan salah. Ini soal bagaimana nilai-nilai sebagai bangsa merdeka, tertanam pada jiwa yang merdeka. Artinya, kemerdekaan menjadi tidak bermakna jika jiwa kita masih terjajah. Kemerdekaan sama sekali tak bernilai, manakala sejatinya bangsa ini masih terjajah oleh praktik-praktik ekonomi kapitalistik. Kemerdekaan terasa semu manakala bangsa ini masih tergantung kepada utang luar negeri. Kemerdekaan sama sekali tak berarti manakala kekayaan alam dikuasai asing untuk sebesar-besarnya kemakmuran oknum penguas








Tiga Srikandi Bung Karno



Dalam banyak kesempatan, Bung Karno begitu spontan menunjukkan kasih sayangnya kepada tiga srikandinya. Tiga srikandi yang tak lain adalah tiga orang putri yang tinggal bersamanya di Istana Merdeka, setelah Ibu Negara Fatmawati meninggalkan Istana. Mereka adalah Megawati, Rachmawati, dan Sukmawati. Foto di atas diambil saat Bung Karno menciumi ketiga putri tercinta, Mega (kiri), Rachma (tengah) dan Sukma (sedang dicium), sebelum Bung Karno berangkat melawat ke Jepang selama tiga minggu.

Di tengah kesibukannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Bung Karno senantiasa meluangkan waktu bagi putri-putrinya, mulai dari menemaninya belajar, hingga bercengkerama dan berjalan-jalan. Bahkan, dalam agenda-agenda rutin di Istana, seperti pemutaran film atau pertunjukan wayang kulit, harus ada kursi kosong yang diperuntukkan bagi putri-putrinya, di sebelah kursi Bung Karno.
Bahkan, posisi ini bisa mengalahkan posisi seorang Harjatie, gadis penari Istana yang sedang “ditaksir” Bung Karno. Kisah ini akan saya tuturkan bersamaan kisah-kisah menarik percintaan Bung Karno dan Harjatie.







“Nikah Telegram” ala Bung Karno – Fatmawati


Inilah sekelumit kisah asmara Sukarno – Fatmawati. Begitu unik. Begitu mambara. Begitu dalam. Berikut ini adalah sepenggal kalimat cinta Bung Karno kepada Fatmawati, melalui sepucuk surat cintanya tertanggal 11 September 1941… O, Fatma, jang menjinarkan tjahja. Terangilah selaloe djalan djiwakoe, soepaja sampai dibahagia raja. Dalam swarganya tjinta-kasihmoe….
Pertalian cinta terjadi saat Bung Karno diasingkan di Bengkulu. Ketika itu, tentu saja. Bung Karno sudah beristrikan Inggit Garnasih, dan tidak dikaruniai putra. Tetapi, bukan Bung Karno kalau tidak berjiwa ksatria. Meski harus mengorbankan hubungan yang begitu baik, tetapi niat menyunting Fatma, toh tetap diutarakan juga kepada Inggit.

Sepulang dari pengasingan, Bung Karno selalu murung. Ia benar-benar dilabrak demam cinta. Anak angkatnya, Ratna Juami dan suaminya, Asmara Hadi, mengetahui bahwa Bung Karno sedang demam cinta, demam rindu kepada Fatmawati nun di Bengkulu sana. Ratna dan Asmara Hadi pula yang memohon-mohon kepada Inggit, agar merelakan Bung Karno menikahi Fatmawati.

Inggit keukeuh menolak dimadu, dan menyepakati perceraian. Inggit sepakat kembali ke Bandung. Hari terakhir bersama Bung Karno, Inggit menyempatkan diri ke dokter gigi. Bung Karno masih setia menemani. Bahkan ketika bertolak ke Kota Kembang, Bung Karno pun turut serta. Turut membongkar barang-barang Inggit. Setelah mengecek dan memastikan tidak ada sesuatu yang tertinggal, Bung Karno pun mengucapkan selamat tinggal kepadanya…..
Nah, bulan Juni 1943, Bung Karno menikahi Fatmawati. Bung Karno di Jakarta, sedangkan Fatmawati ada di Bengkulu. Bagaimana mungkin? Bung Karno menikahi Fatmawati secara nikah wakil. Sebab, kalau harus mengurus perizinan ke Jakarta untuk Fatma dan seluruh keluarganya, pada saat itu, sangat musykil. Di sisi lain, karena tuntutan pergerakan dan perjuangan, Bung Karno pun tidak mungkin meninggalkan Jakarta ke Bengkulu untuk menikah. Di sisi lain, Bung Karno merasa, tidak mungkin bisa menahan lebih lama lagi untuk menikahi Fatmawati.

Menurut hukum Islam, perkawinan dapat dilangsungkan, asal ada pengantin perempuan dan sesuatu yang mewakili mempelai laki-laki. Maka, Bung Karno segera berkirim telegram kepada seorang kawan akrabnya di Bengkulu, dan memintanya menjadi wakil Bung Karno menikahi Fatmawati. Kawan Bung Karno ini pun bergegas ke rumah Fatmawati, dan menunjukkan telegram dari Bung Karno. Orangtua Fatmawati menyetujui gagasan itu. Alkisah, pengantin putri dan wakil Bung Karno pergi menghadap penghulu, dan sekalipun Famawati ada di Bengkulu dan Bung Karno di Jakarta, pernikahan itu pun dilangsungkan, dan keduanya sudah terikat tali perkawinan.














Gaya Makan Bung Karno


Tahukah Anda… Bung Karno punya style makan yang unik dan menarik…. Di kalangan para sahabatnya, Bung Karno dikenal sebagai ‘fast eater”…. “Beliau kalau makan cepat sekali selesai,” ujar Dr. R. Soeharto, dokter pribadi Bung Karno.
Pada dasarnya, Bung Karno menyukai banyak jenis makanan. Tapi yang paling dia gemari adalah sayur bening (bayam, jagung) ala Jawa yang terasa agak manis. Nasinya harus pulen. Lauknya, ayam bakar.
Usut punya usut, kebiasaan makan cepat ternyata dimulai sejak dia “langganan” masuk-keluar penjara. Jika dikalkulasi, sejak zaman pra kemerdekaan, Bung Karno mendekam di balik jeruji besi selama 12 tahun. Tentu saja tidak terus menerus. Seperti disebut di atas, ia masuk-keluar penjara. Tuduhan kepadanya umumnya subversi terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Nah, di dalam penjara, jatah waktu untuk makan (dan minum) tidak pernah lebih dari lima menit. Rata-rata jatah makan tiga menit, untuk minum 1 menit. Bahkan untuk penjaga yang ketat, tiga menit harus selesai. Karenanya, jika makannya harus dengan teor mengunyah 33 kali…. waktu habis baru dapat beberapa suap.
Kebiasaan makan cepat itulah yang kemudian terbawa oleh Bung Karno, meski ia sudah berstatus Presiden Republik Indonesia, Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Besar Angkatan Perang













Cara Bung Karno Memilih BH



Suatu hari di tahun 1956, untuk pertama kalinya Presiden Sukarno berkunjung ke Amerika Serikat. Pada kunjungan pertamanya, ia merasa mendapat sambutan yang begitu hangat dari rakyat Amerika. Di antara sela-sela kunjungannya, Bung Karno menyempatkan diri untuk berjalan-jalan, menikmati kota California.

Sesaat, ia teringat pesan istrinya yang minta dibelikan kutang, alias BH, atau bra. Ia pun segera menuju gerai pakaian dalam diantar Ny. Johnston, janda raja film Amerika. Di sudut pakaian dalam wanita, Bung Karno masih kebingungan bagaimana memilih kalimat yang pas untuk tujuannya mencarikan BH titipan istrinya. Sementara, para penjaga toko sudah gelisah menunggu “titah” Bung Karno. Segera Bung Karno nyeletuk, “Bolehkah saya lihat salah-satu songkok daging yang terbuat dari satin hitam itu?”
Gadis penjaga konter BH pun mengambilkan beberapa buah. Entah berpura-pura lupa, atau ada unsur iseng, yang pasti Bung Karno menunjukkan lagak kebingungan untuk menentukan ukuran. Hingga akhirnya ia berbisik kepada Ny. Jonston, “Apakah bisa dikumpulkan ke sini semua gadis penjual, supaya saya bisa menentukan ukurannya?
Maka… berpawailah gadis-gadis di hadapan Bung Karno. Tak dijelaskan, apakah dalam berparade mereka juga diharuskan membusungkan dadanya? Tapi dengan nada sopan, Bung Karno memandangi satu per satu dada para gadis penjual di toko itu. Komentarnya, “Tidak, engkau terlalu kecil… O, engkau kebesaran….” sampai akhirnya Bung Karno menunjuk seorang wanita dan berkata, “Yaa… engkau cocok sekali. Saya akan mengambil ukuranmu, please….”. Ternyata, Bung Karno tepat memilih ukuran BH untuk istrinya.








“Pating Greges,” kata Bung Karno di Pagi 17 Agustus 1945


Tidak seperti hari-hari sebelumnya, pagi hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945, langit di atas kota Jakarta biru cerah. Suasana di kediaman Bung Karno, Jl Pegangsaan Tmur 56, Menteng, Jakarta Pusat sudah ramai. Di halaman depan, di ruang pendapa, hingga di halaman belakang, dipadati para patriot dengan raut antusias, menyongsong detik-detik yang menentukan nasib bangsa ke depan.

Sementara itu, Bung Karno sendiri masih lelap. Maklum, ia baru masuk kamar menjelang shubuh, setelah semalam padat aktivitas menjelang proklamasi kemerdekaan. Di antaranya, rapat intensif di kediaman Laksamana Maeda, tokoh militer Jepang yang disebut-sebut menjanjikan bantuan bagi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jam dinding menunjuk angka 8 ketika dr R. Soeharto, dokter pribadi Bung Karno, menyelinap masuk ke kamar Bung Karno. Ia memandang Putra Sang Fajar masih pulas. Didekatinya tempat tidur Bung Karno, dan diusapnya tangan Bung Karno… mata pun terbuka. Sorot kelelahan memancar dari kedua bola mata Bung Karno. Kalimat pertama di pagi hari tanggal 17 Agustus 1945 yang keluar dari mulut Bung Karno kepada dr. R. Soeharto adalah, “Pating greges”.

Ungkapan dalam bahasa Jawa yang bisa diartikan sebagai “kondisi badan yang pegal-linu karena gelaja demam.” Apalagi, ketika dr Soeharto meraba badan Bung Karno, panas. Sebagai dokter pribadinya, dia langsung melakukan pemeriksaan, dan atas persetujuan Bung Karno, dr Soeharto memberinya suntikan
chinine-urethan intramusculair, dan meminta Bung Karno meminum broom chinine.
Setelah disuntik dan minum obat, tak lama kemudian Bung Karno tertidur lagi. Dr Soeharto keluar kamar, dan berpapasan dengan Fatmawati. Kepada Bu Fat, dijelaskan ihwal sakitnya Bung Karno. Bu Fat sempat berujar, “Saya sendiri sebetulnya juga capek sekali setelah kembali dari Rengasdengklok dan menyelesaikan pembuatan bendera yang akan dikibarkan hari ini.”

Detik demi detik bergulir…. waktu menunjuk pukul 09.30 ketika dr Soeharto melihat Bung Karno terbangun dengan kondisi badan yang lebih sehat. Panasnya sudah reda. Ia segera beranjak dari tempat tidur demi mendengar kata-kata Soeharto, “sudah jam setengah sepuluh mas…”. Setelah itu, Bung Karno berkata, “Minta Hatta segera datang.”

Selagi dr Soeharto meneruskan perintah Bung Karno kepada Latief Hendraningrat, Bung Karno mempersiapkan diri demi momentum paling bersejarah bagi bangsa kita. Ia berpakaian rapi, mengenakan busana serba putih: celana lena putih dan kemeja putih dengan potongan yang populer disebut “kemeja pimpinan”. Lengannya panjang, bersaku empat, dengan band pinggang di belakang. Ia begitu gagah, penuh percaya diri.
Sebelum membacakan teks proklamasi, Bung Karno memberi kata pengantar dengan intonasi yang begitu gamblang, dan suara yang tenang:

"Saudara-saudara sekalian, Saya telah minta Saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan satu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan Tanah Air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita.

Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti-henti. Di dalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka, tetapi pada hakikatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri, tetap kita percaya kepada kekuatan sendir.
Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib Tanah Air di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia, dari seluruh Indonesia. Permusyawaratanitu seia sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami nyatakan kebupatan tekad itu. Dengarlah proklamasi kami"

Dan Bung Karno pun membacakan teks proklamasi dengah khidmat.

Begitulah sekelumit kisah, beberapa saat sebelum detik-detik bersejarah, berlangsungnya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.















Pengalaman Pertama Bung Karno Naik Kuda



Tahun 1946, setahun setelah proklamasi, masih banyak hal-hal aneh, unik, lucu, dan menggelikan terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Contoh, rakyat belum mengerti benar arti merdeka. Mereka ada yang mengartikan, merdeka adalah bebas naik kereta api. Jad, manakala kondektur memungut ongkos, mereka tersinggung, “Lho,” teriak rakyat, “kan kita sudah merdeka?”

Terhadap Bung Karno? Tak seorang pun memanggil Tuan Presiden, apalagi Paduka Yang Mulia sebagai sebutan formal. Mereka tetap saja menyebut “Presiden Bung Karno”, gabungan dari jabatan resmi dan panggilan akrab sehari-hari. Begitu Bung Karno menceritakan situasi awal-awal kemerdekaan kepada penulis biografinya, Cindy Adams.
Kejadian menarik juga menimpa Bung Karno ketika tanggal 5 Oktober 1946, Angkatan Perang kita (sekarang TNI) hendak merayakan ulang tahun yang pertama. Dalam salah satu tata cara upacara militer yang sudah direncanakan semegah-megahnya untuk ukuran negara berusia satu tahun, Presiden Republik Indonesia Sukarno, harus melakukan inspeksi pasukan… naik kuda!
Persoalannya adalah… Bung Karno tidak pernah naik kuda. Pergaulan Bung Karno dengan seekor kuda pada masa-masa sebelumnya, tak lebih dari sekadar menepuk-nepuk kuduknya. Demi mengetahui hal itu, Fatmawati, istrinya, ikut cemas. “Jadi, bagaimana caranya,” tanya Fatma. Bung Karno menjawab, “Pertama, aku hendak menghadapi kenyataan bahwa aku orang yang pelagak… Aku akan belajar naik kuda!”
Fatma belum hilang rasa cemasnya, “Kan pawainya besok?” Lalu Bung Karno menjawab, “Ya, aku akan belajar dalam satu hari.”
Akhirnya, seorang perwira kavaleri tekun memberikan pelajaran berkuda kepada presidennya. Dan di akhir sesi latihan, kepada si perwira kavaleri itu, Bung Karno menyampaikan pesan dengan suara pelan… “Untuk pawai besok, berilah saya kuda yang paling lunak, paling tua, paling jinak dan hampir mendekati kematiannya….”
Tak bisa dimungkiri, Bung Karno sebenarnya memendam rasa cemas dan khawatir. Apa jadinya kalau dalam pawai inspeksi pasukan besok si kuda menjadi beringas dan tak terkendali? Bagaimana kalau ia kemudian terpental dari punggung kuda? Apa kata dunia?
Dan… perwira kavaleri itu menjawab, “Tidak Pak. Tidak pantas untuk Bapak. Kuda yang disediakan harus yang muda dan garang. Dia harus memperlihatkan semangat tempur yang menyala-nyala, dan kuda yang terbaik dari seluruh kelompok.”

Bung Karno yang pelagak, tak berkutik dengan jawaban perwira kavaleri. Rasa cemas ia pendam dalam hati…. hingga, tibalah saat-saat yang dinanti. Terompet telah berbunyi, genderang berderam-deram, pasukan berdiri tegap, dan… Presiden menaiki kudanya. Binatang itu berjalan mengikuti irama musik… dan… menjadi liar. Bung Karno sedikit ciut, tapi ketika ia melihat pasukan yang berbaris rapi yang sedang ia inspeksi… muncullah sifat pelagaknya… Sorak-sorai dan teriakan gembira dari rakyat yang berjejal-jejal di lapangan pawai menghidupkan semangat.

Suasana itu membuat Bung Karno tenang dan sadar… hilang rasa cemas, dan muncul teori-teori berkuda yang telah diajarkan si perwira kavaleri kemarin. Maka, dengan sigap Bung Karno segera memainkan pegelangan, menguasai tunggangannya dengan baik. Bung Karno mengendalikan langkah kuda dengan begitu gagah, sehingga kuda berjalan dengan langkah tenang dan teratur seperti yang dikehendaki. Dan… kuda yang bagus itu tidak pernah menyadari bahwa tuannya lebih gentar menghadapi peristiwa itu daripada binatang itu sendiri.














Cara Pandang Bung Karno tentang Pakaian


Ini soal cara Bung Karno berpakaian. Bahwa sejak proklamasi 17 Agustus 1945 hingga maut menjemput, belum pernah sekali pun Bung Karno mengenakan pakaian daerah. Sekali lagi, ini statemen spekulatif. Karenanya, saya harus berani mempertaruhkan kredibilitas. Satu-satunya rujukan yang pernah saya baca hanyalah keterangan Bambang Widjanarko, ajudan Bung Karno. Katanya, selama delapan tahun menjadi ajudan Bung Karno, belum pernah sekalipun ia melihat Bung Karno mengenakan pakaian adat. Hal ini tentu saja mendatangkan pertanyaan banyak pihak, termasuk Bambang. Karenanya, pada saat santai di tahun 1964, Bambang melihat satu kesempatan yang baik untuk menanyakan hal itu. Dan,.. Bung Karno pun memberi penjelasan….
“Sejak dulu sampai sekarang dan untuk seterusnya, yang amat aku dambakan adalah kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Karena aku ditakdirkan menjadi pemimpin, dan sekarang menjadi Presiden Indonesia, aku harus mengorbankan kesukuan Jawa-ku, untuk membuktikan kesungguhan keindonesiaanku itu. Baik resmi atau tidak resmi, siang maupun malam, aku ini tetap Presiden Indonesia, bukan presidennya orang Jawa saja. Selama aku jadi Presiden, seluruh mata bangsa Indonesia akan melihat dan memperhatikanku, termasuk pakaian yang aku pakai. Itu sebabnya aku selalu berpakaian rapi dan memakai peci hitam, yang aku harapkan menjadi ciri atau identitas bangsa Indonesia.”

Terhadap pakaian daerah, begini penuturan Bung Karno, “Aku sama sekali tidak anti pakaian adat daerah, bahkan sebaliknya aku pengagum atau penganjur dilestarikannya pakaian adat itu. Hanya bagi pejabat tinggi negara, sebaiknya ada batas-batasnya. Contoh, Gubernur Aceh berpakaian adat Aceh atau Gubernur Bali berpakaian adat Bali, itu baik sekali; mereka itu memang kepala dari daerah yang dipimpinnya. Sedangkan untuk presiden atau menteri, seyogianya tidak berpakaian daerah, karena mereka adalah pemimpin seluruh Indonesia. Nanti bila ia tidak menjabat lagi, barulah bebas dan boleh berpakaian apa saja yang ia senangi.”

Itulah pendapat Bung Karno tentang pakaian adat. Tidak heran, kalau Bung Karno begitu dicintai seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Cinta rakyat yang tulus… sebagai balasan atas ketulusan Sukarno yang rela melepas segala atribut kedaerahan, kepartaian, dan kepentingan pribadinya untuk bangsa dan negara yang begitu dicintainya: INDONESIA.













Gallantery/Sifat Sopan Bung Karno terhadap Wanita


Masyarakat hanya tahu, Bung Karno menyukai wanita-wanita… dan… wanita-wanita juga menggilai Bung Karno. Berbicara mengenai Bung Karno and his women, orang-orang dekatnya menjulukinya “jagoan”. Tentu wajar kalau kita bertanya, “Mengapa Bung Karno menjadi idola para wanita?” Adalah Bambang Widjanarko, ajudan yang selama delapan tahun setia mendampinginya, tahu banyak tentang Bung Karno dan wanita-wanita di sekelilingnya. Ihwal mengapa Bung Karno begitu mudah dicintai wanita, itu karena terhadap setiap wanita yang sedang dihadapinya, ia selalu dapat mencurahkan perhatiannya kepada wanita itu. Tentu saja, wanita itu akan merasa dia sajalah wanita yang paling dihargai dan paling dicintai oleh Bung Karno.
Hal lain yang secara alami melekat pada pesona Bung Karno adalah taraf intelektualitasnya yang tinggi, serta sikap gallant setiap menghadapi wanita, tak peduli tua atau muda. Gallantery
Bung Karno inilah yang pertama-tama akan membuat wanita senang, merasa dihargai oleh BK. Seperti ditunjukkan dalam banyak peristiwa, tidak segan-segan Bung Karno mengambilkan sendiri minuman bagi seorang tamu wanita, atau membantu memegang tangan wanita itu sewaktu turun dari mobil.
Tidak habis sampai di situ, pesona Bung Karno di mata wanita. Hal lain yang secara alamiah melekat pada dirinya adalah perhatian yang spontan terhadap hal-hal kecil yang barangkali luput dari perhatian pria lain, atau bahkan perhatian suaminya sendiri. Misal, terhadap istri-istri para menteri atau orang dekatnya, Bung Karno spontan akan mengomentari apa saja yang ia rasa kurang pas. Atau spontan meluncurkan pujian jika ia melihat adanya keserasian dan keindahan dalam diri wanita itu.
Beberapa komen Bung Karno misalnya, “Lipstick-mu tidak cocok dengan kebaya yang kau kenakan.” Atau, “Nyonya kelihatan jauh lebih muda dengan tatanan rambut yang baru.” Itu hanya beberapa komentar spontan Bung Karno terhadap wanita-wanita yang dijumpainya. Termasuk para istri duta besar yang dikenal baik.
Tak heran, jika sedang melawat ke luar negeri, di mana para wanitanya jauh lebih bebas dan terbuka mengemukakan pendapat, sangat sering terdengar komentar mereka yang mengatakan, “Your President is a real gentleman,” setelah bertemu Bung Karno.















Cokroaminoto, Guru Segala Guru bagi Bung Karno


Adalah jalan sejarah jika Sukarno kecil dititipkan di keluarga Oemar Said (H.O.S.) Cokroaminoto di Gang Peneleh, Surabaya. Adalah suratan takdir jika kemudian Sukarno menjadi salah satu murid kesayangan Cokroaminoto. Adalah sebuah keniscayaan jika kemudian Sukarno menjadi tokoh nasionalisme penting negeri ini.
Dalam banyak literatur, Bung Karno selalu menyebut nama Cokroaminoto sebagai guru sekaligus pujaannya di kala muda. Bung Karno tidak pernah menafikan peran Cokroaminoto yang menggembleng Sukarno muda dengan sekeras-kerasnya. Bung Karno sering membuntuti Cokro yang ketika itu berusia 30-an tahun, berkeliling dari satu daerah ke daerah lain, menjadi guru ngaji, tetapi juga menyelipkan pesan-pesan perjuangan, tebaran-tebaran semangat untuk merdeka, lepas dari penindasan bangsa Belanda.

Sukarno muda, dalam pergolakan jiwa remaja dengan nuansa cinta monyet, dalam iklim “gaul” ABG pada zamannya… sama sekali tidak mendapatkan itu secara sebebas-bebasnya. Di rumah, Cokro mendidiknya dengan keras. Hampir setiap hari, sepanjang malam, dan di kala senggang, Bung Karno duduk di dekat kaki Cokro, dan dialirkannya buku-buku ke pangkuan Sukarno. Ya… Cokro bukan figur pengganti ayah yang siap menerima keluh-kesah. Bukan figur ayah yang siap menerima pengaduan anaknya. Bukan pula figur ayah yang menghiburnya di kala sedih. Tapi itu pula yang menjadikan Sukarno akrab dengan literatur… dan banyak literatur lainnya di kemudian hari.

Begitulah, akhirnya Bung Karno tenggelam dalam lautan bacaan. Sejak usia 15-an tahun, manakala teman-teman sebaya asyik bermain di taman lapang, Sukarno justru sedang belajar. Sementara teman-temannya asyik bersantai, Sukarno justru sedang melalap buku demi buku. Mulailah Sukarno menemukan “teman-teman” lain dari buku-buku yang dibacanya. “Teman-teman” itu bukan sembarang teman, melainkan tokoh-tokoh besar dunia.
Melalui adi pustaka itu pula, jadilah Sukarno merasa berbicara dengan Thomas Jefferson. Ia seperti mendapat penuturan langsung dari Jefferson mengenai Declaration of Independence yang ditulisnya tahun 1776. Dengan Jefferson pula ia memperbincangkan George Washington. Tak terkecuali, Sukarno pun “bersahabat” dengan Paul Revere. Kemudian Bung Karno mencari-cari kesalahan Abraham Lincoln untuk kemudian dicarikan tanggapannya dari Jefferson. Begitulah Bung Karno tanpa sadar berlayar mengarungi lautan pustaka, membuat kajian-kajian… membuat perbandingan-perbandingan…. Esensi di dalam buku-buku tadi, kemudian meresap begitu dalam menjadi sebuah penghayatan dan pengetahuan seorang Sukarno.
Maka, sangat aneh kalau ada tudingan yang mengatakan Bung Karno tidak suka Amerika. Dalam penuturannya kepada Cindy Adams di biografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, jelas sekali bahwa semasa muda, Sukarno memuja pahlawan-pahlawan Amerika. Bahkan, Sukarno mencintai rakyat Amerika. Sukarno juga membaca majalah-majalah populer Amerika hingga menjelang akhir hayatnya.
Ada yang kurang dipahami sebagian orang yang menuding Sukarno anti Amerika. Adalah kenyataan bahwa Sukarno juga belajar dan mengkaji secara mendalam Gladstone dari Inggris, juga Sidney dan Beatrice Webb yang mendirikan Gerakan Buruh Inggris. Bukan hanya itu, Sukarno juga mempelajari Mazzini, Cavour, dan Garibaldi dari Italia. Tidak berhenti sampai di situ, Sukarno juga melahap habis kajian tentang Karl Marx, Friedrich Engels dan Lenin dari Rusia.
Sebatas itukah pengetahuan Sukarno tentang tokoh-tokoh dunia? Tidak! Sukarno juga”ngobrol” dengan Jean Jacques Rousseau, Aristide Briand dan Jean Jaures ahli pidato terbesar dalam sejarah Perancis. Kesemua perjalanan tokoh besar tadi, menginspirasi Sukarno pada masa-masa selanjutnya. Di samping, pelajaran-pelajaran yang ia timba semasa sekolah. Karenanya, ia juga paham sejarah Yunani kuno. Ia menyerap sedalam-dalamnya protes atas segala bentuk penindasan. “Persetan dengan penindasan!!!” pekiknya setiap berpidato tanpa pendengar di kamarnya yang gelap. “Hidup Kemerdekaan!!!” teriak Bung Karno keras-keras di dalam kesendiriannya, di kamar tanpa jendela, di kediaman Cokroaminoto.
Baiklah…. berikut ini adalah secuil kisah tentang Cokroaminoto, salah satu tokoh besar Indonesia.
Omar Said Cokroaminoto lahir di Ponorogo 6 Agustus 1882, dan meninggal dunia pada 17 Desember 1934, dan dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta. Dia dikenal sebagai Ketua Partai Politik Sarekat Islam. Cokro lahir di Ponorogo, Jawa Timur, anak kedua dari 12 orang bersaudara. Ayahnya, R. M. Cokroamiseno, seorang pegawai pemerintahan, pamannya, R. M. Cokronegoro, pernah menjabat Bupati Ponorogo.
Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional, Cokroaminoto mempunyai tiga orang pengikut yang kemudian mewarnai politik Indonesia. Mereka adalah Sukarno (ahli nasionalisme), Semaoen (ahli sosialisme), dan Kartosuwiryo (ahli agama). Di kemudian hari, ketiganya saling berseberangan. Semaoen dengan Alimin dan Muso terlibat pemberontakan PKI di Madiun 1947. Sedangkan Kartosuwiryo dikenal sebagai dedengkot Darul Islam (DI)/TII dan memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1948.













Pidato Pertama Sukarno



Sukarno muda, sangat gemar mengikuti Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam dalam berbagai aktivitas. Cara dan gaya orasi Tjokro pula yang mengilhaminya menjadi orator ulung. Di kemudian hari kita tahu, Sukarno menjelma menjadi orator ulung. Manakala ia berpidato, lautan manusia tersirep, redam, hening, khidmat.

Kepiawaian Sukarno berpidato, bukan “ujung-ujug”, bukan sesuatu yang tiba-tiba. Ia melatihnya di kegelapan kamar tanpa aliran listrik. Di pengapnya ruang kamar tanpa jendela. Di tengah malam buta, ia biasa berpidato dengan suara lantang, berirama, menghendak, menghanyutkan. Ia bisa menjadi seorang tokoh Yunani yang berunjuk rasa. Ia bisa menjadi siapa saja, dan menyuarakan apa saja.
Itu dilakukan di kamar pondokan Tjokroaminoto di Gang Peneleh 7, Surabaya. Teman-teman penghuni kamar-kamar yang lain, tahu betul situasi itu. Mulanya mereka menghardik, menyuruh diam karena mengganggu ketengan malam. Akan tetapi, lama kelamaan, mereka hanya saling pandang dan berkata datar, “Biasa…. si No mau menyelamatkan dunia….” Adalah biasa, nama Karno dipanggil pendek, “No”.
Tahukan Anda, kapan untuk pertama kali Sukarno berpidato? Mungkin tidak penting, tapi sungguh patut dicatat untuk seorang tokoh bangsa, proklamator negeri ini.
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno menyebut pidato di Studieclub HBS-lah sebagai pidato pertamanya. Ketika itu, ia berusaia 16 tahun. Studieclub adalah pengajaran tambahan di HBS, yang bertujuan untuk membahas buah-buah pikiran dan cita-cita. Pembicara pertama, tentulah Ketua Studieclub. Ia membuka statemennya dengan mengatakan, “Adalah menjadi suatu keharusan bagi generasi kitauntuk menguasai betul bahasa Belanda….”
Setiap orang setuju. Setiap orang… kecuali Sukarno! Ia –entah dirasuki apa– tiba-tiba meloncat ke atas meja dan berkata keras, “Tidak. Saya tidak setuju!” Tentulah semua peserta Studieclub terbelalak, terbengong-bengong, terheran-heran. Selanjutnya… bergulir pidato Sukarno. Pidato yang pertama yang dilakukannya di muka banyak orang, tidak hanya di sendiri di dalam kamar, di hadapan “tidak seorang pun” kecuali tembok dan kegelapan malam.
“Tanah kebanggaan kita ini dulu pernah bernama Nusantara. Nusa berarti pulau. Antara berarti di antara. Nusantara berarti ribuan pulau-pulau, dan banyak di antara pulau-pulau ini yang lebih besar daripada seluruh negeri Belanda. Jumlah penduduk negeri Belanda hanya segelintir jika dibandingkan dengan penduduk kita. Bahasa Belanda hanya dipergunakan oleh enam juta manusia,” Bung Karno berorasi.
Lanjutnya, “Mengapa suatu negeri kecil yang terletak di sebelah sana dari dunia ini menguasi suatu bangsa yang dulu pernah begitu perkas, sehingga dapat mengalahkan Kublai Khan yang kuat itu?” Sukarno terus dan terus berkata-kata, dan mengakhirinya dengan, “Saya berpendapat, bahwa yang pertama-tama harus kita kuasi adalah bahasa kita sendiri. Marilah kita bersatu sekarang untuk mengembangkan bahasa Melayu. Kemudian baru menguasai bahasa asing. Dan sebaiknya kita mengambil bahasa Inggris, oleh karena bahasa itu sekarang menjadi bahasa diplomatik.”
Tidak berhenti sampai di situ, ia menyeru, “Belanda berkulit putih. Kita **********. Rambut mereka pirang dan keriting. Kita punya lurus dan hitam. Mereka tinggal ribuan kilometer dari sini. Mengapa kita harus berbicara bahasa Belanda?!”
Suasana Studieclub heboh, gaduh karena belum pernah mendengar orasi seperti itu sebelumnya. Di sebuah pojok ruang, Direktur HBS, Tuan Bot, berdiri tak berbuat apa pun, melainkan memandang ke arah Sukarno dengan tatapan tajam… seolah menyuarakan kata, “Oooh… Sukarno mau bikin susah!”














“Pe de ka te” Bung Karno kepada Fatmawati



Bung Karno bolehlah kita tasbihkan sebagai perayu ulung. Dalam postingan terdahulu, kita ketahui bagaimana Sukarno muda “memburu” noni-noni Belanda menjadi kekasihnya. Dalam sejarah hidup cintanya, gadis pertama yang ia cium adalah gadis belanda. Tercatat pula sedikitnya empat noni Belanda pernah singgah mengisi dunia cinta Sukarno.

Romansa cinta Sukarno – Fatmawati, sangat kesohor, karena memang telah ia umbar dalam banyak buku. Anda tahu? Bung Karno naksir Fatmawati ketika Fatma masih berusia 15 tahun. Ia adalah teman Ratna Djuami, anak angkat Sukarno – Inggit Ganarsih sewaktu proklamator kita menjalani hidup pengasingan di Bengkulu.
Suatu sore di tahun 1943, Bung Karno berkesempatan jalan-jalan berdua Fatma. Bertanyalah Fatma kepada Bung Karno, “Jenis perempuan mana yang Bapak sukai?” Bung Karno memandang gadis desa putra tokoh Muhammadiyah yang berbaju kurung merah, berkerudung kuning itu seraya menjawab, “Saya menyukai perempuan dengan keasliannya. Bukan wanita modern pakai rok pendek, baju ketat dan gincu bibir yang menyilaukan. Saya suka wanita kolot yang setia menjaga suaminya dan senantiasa mengambilkan alas kakinya. Saya tidak menyukai wanita Amerika dari generasi baru, yang saya dengar menyuruh suaminya mencuci piring.”
“Saya setuju,” bisik Fatma. Bung Karno menimpali, “Saya menyukai perempuan yang merasa berbahagia dengan anak banyak. Saya sangat mencintai anak-anak.” Lagi-lagi Fatma menyahut, “Saya juga.”
Minggu berganti bulan dan bulan pun berganti tahun. Rasa cinta mulai bersemi di hati keduanya. Meski begitu, Bung Karno berusaha memendam perasaan itu dalam-dalam karena penghargaannya yang tinggi terhadap Inggit, yang sudah separuh usianya mendampingi dengan setia.

Tentang Perpisahan Bung Karno dan Fatmawati



Kisah cinta Bung Karno – Fatmawati begitu dramatis. Usai menjalani pengasingan di Bengkulu, Bung Karno kembali ke Jakarta. Akan tetapi, sejatinya, hati Sukarno tertinggal di sana. Hati Sukarno tertambat pada seorang gadis belia bernama Fatmawati. Setelah melalui lika-liku pertengkaran dahsyat yang berakhir dengan kesepakatan perceraian Bung Karno – Inggit Ganarsih, akhirnya berhasil pula Sukarno menikahi Fatmawati, melalui pernikahan “kawat” yang unik
(lihat postingan terdahulu). Perjalanan sepasang merpati penuh cinta ini, akhirnya dikaruniai lima orang putra-putri: Guntur, Mega, Rachma, Sukma, dan Guruh. Belum genap mereka mengarungi bahtera rumah tangga, Sukarno tak kuasa menahan gejolak cintanya kepada wanita lain bernama Hartini. Inilah pangkal sebab terjadinya perpisahan yang dramatis antara Sukarno dan Fatmawati.
Bagaimana Bung Karno menjelaskan ihwal perpisahan itu? Adalah sebuah misteri, sampai ketika salah seorang ajudan dekatnya, Bambang Widjanarko, pada suatu sore di tahun 1962, memberanikan diri mempertanyakan hal itu. Bambang adalah salah satu ajudan yang diketahui sangat dekat hubungannya dengan putra-putri Presiden. Demi melihat hubungan anak-anak dengan ayahnya, tanpa seorang ibu di antara mereka, Bambang sering merasa nelangsa.
“Ada apa Mbang,” Bung Karno bertanya.
“Mohon Bapak jangan marah, saya ingin membicarakan adik-adik tercinta, putra-putri Bapak.”
“Ya, Mbang, ada apa dengan anak-anak?”
“Begini Pak, sudah dua tahun saya menjadi ajudan Bapak. Setiap hari saya melihat dan bergaul dengan putra-putri Bapak, saya juga amat menyayangi dan mencintai mereka. Mungkin segala keperluan lahiriah sudah cukup mereka peroleh, tapi menurut saya ada sesuatu yang amat mereka butuhkan, mereka dambakan siang-malam, yakni adanya seorang ibu yang mendampingi dan mengasihi mereka siang-malam. Karena itu, bila Bapak berkenan demi kebahagiaan anak-anak, apakah tidak lebih baik bila Bapak meminta Ibu Fat kembali ke Istana?
Wajah Bung Karno seketika berubah menjadi kelam, dan matanya tajam menatap Bambang, ajudannya. Tentu saja, hal itu membuat Bambang kecut, campur aduk antara takut dan menyesal telah lancang mencampuri urusan rumah tangga Bung Karno. Rumah tangga Presiden, Panglima Tertinggi, Pemimpin Besar Revolusi.
Yang terjadi selanjutnya adalah, Bung Karno diam barang semenit-dua. Setelah itu, senyum tipis tersungging di bibir Bung Karno seraya berkata, “Bambang, jangan takut, aku tidak marah kepadamu. Mari duduk, akan aku ceritakan kepadamu.”

Dengan kaki lemas dan menahan malu, Bambang akhirnya duduk mendengar uraian Bung Karno….. “Mbang, pertama percayalah bahwa aku tidak marah kepadamu. Aku mengerti betul maksudmu didasari kehendak baik demi anak-anakku sendiri yang juga kau sayangi. Engkau seorang muda yang penuh idealisme dan selalu berusaha mencapai itu menurut norma-norma yang kau pelajari dan kau ketahui. Itu baik, tetap mungkin masih banyak juga yang belum kau mengerti.”

“Bambang… menurut hukum agama Islam, seorang istri mempunyai kewajiban antara lain harus mengikuti suami dan berada di rumah suami. Istana Merdeka ini adalah rumahku, aku tidak mempunyai rumah lain, dan aku tidak pernah mengusir Ibu Fat dari Istana ini. Ibu Fat sendiri yang pergi meninggalkan rumahku, rumah suaminya. Aku juga tidak pernah melarang Ibu Fat untuk datang atau kembali ke sini, atau melarang menengok serta berada dengan anak-anak. Ibu Fat bebas untuk datang dan berada di Istana ini…. Mbang…, adalah kurang tepat bila aku meminta Ibu Fat untuk kembali, aku tidak pernah mengusirnya.”
Selanjutnya, Bung Karno juga menceritakan saat-saat indah mereka di Bengkulu, zaman penjajahan Jepang. Juga saat-saat kebersamaan di Yogyakarta, dan sebagainya. Banyak hal yang telah terjadi di antara keduanya, dan itu menyadarkan siapa pun tentang betapa kompleksnya kehidupan manusia. Dan itu semua makin membuat Bambang tertunduk makin dalam. Ia merasa malu telah berani memberi nasihat Bung Karno tanpa berpikir panjang.
Akhirnya, BK menutp uraiannya dengan berkata, “Bambang, biarlah orang-orang, termasuk anak-anakku, menyalahkan diriku; aku toh seorang laki-laki. Tetapi anak-anakku wajib mencintai dan terus menghormati serta menghargai ibunya. Semua kesalahan biar ada padaku. Dan, Bambang, terima kasih atas perhatianmu pada anak-anakku. Merskipun bukan merupakan tugas pokok, tolong… turutlah juga mengawasi anak-anakku itu.”
Mendengar uraian penutup Bung Karno, tak terasa air mata mengalir pelan di pipi Bambang Widjanarko. Seketika, Bambang berdiri, memberi hormat dan meninggalkan Bung Karno sendiri dalam kamarnya. Sejak itu, hati kecilnya bersumpah, ia tidak akan pernah lagi mencampuri urusan rumah tangga Bung Karno.











Kisah Nama Kusno menjadi Karno



Bung Karno terlahir dengan nama Kusno. Sejak kecil hingga usia belasan tahun, Kusno selalu sakit-sakitan. Yang terparah adalah saat ia berumur sebelas tahun. Sakit thypus menyerangnya dengan hebat. Bahkan kerabat dan handai taulan menyangka, Kusno berada di ambang pintu kematian.


Dalam kondisi seperti itu, ayahandanya, Sukemi Sosrodihardjo mendorong semangat Kusno untuk bertahan. Selama dua setengah bulan Kusno tak bangun dari tempat tidurnya. Dan…. selama itu pula, ayahnya setiap malam tidur di bawah tempat tidur Kusno. Ia berbaring di atas lantai semen yang lembab di alas tikar pandan yang tipis dan lusuh, tepat berada di bawah bilah-bilah bambu tempat tidur Kusno.


Memang, riwayat penyakit Kusno kecil berderat panjang. Ia tercatat pernah mengidap malaria, disentri… pokoknya semua penyakit dan setiap penyakit. Hingga akhirnya, Sukemi menyimpulkan, nama Kusno tidak cocok, karenanya harus diganti agar tidak sakit-sakitan. Dalam tradisi Jawa, mengganti nama seorang anak (terutama bila dianggap tidak cocok karena “terlalu berat” dan mengakibatkan si anak sakit-sakitan) adalah hal biasa.


Raden Sukemi, ayahanda Kusno adalah penggandrung Mahabharata, sebuah epik Hindu zaman dulu. Tak heran bila suatu hari Sukemi berkata kepada Kusno, “Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata.”


Kusno menyambut kegirangan, “Kalau begitu, tentu Karna seorang yang sangat kuat dan sangat besar…”


“Oh, ya nak,” jawab Sukemi setuju, “juga setia pada kawan-kawan dan keyakinannya, dengan tidak memperdulikan akibatnya. Tersohor karena keberanian dan kesaktiannya. Karna adalah pejuang bagi negaranya dan seorang patriot yang saleh.”


Dan… sambil memegang bahu, serta memandang jauh ke dalam mata Kusno, berkatalah sang ayah, “Aku selalu berdoa, agar engkau pun menjadi seorang patriot dan pahlawan besar dari rakyatnya. Semoga engkau menjadi Karna yang kedua.”


Nama Karna dan Karno sama saja. Dalam bahasa Jawa, huruf “A” menjadi “O”. Sedangkan awalan “Su” pada kebanyakan nama orang Jawa, berarti baik, paling baik. Jadi, Sukarno berarti pahlawan yang paling baik. Begitulah nama Kusno telah berganti menjadi Karno… Sukarno.


Namanya satu kata saja: SUKARNO. Maka, ketika ada wartawan asing menuliskan nama Ahmad di depan kata Sukarno, Bung Karno menyebut wartawan itu sebagai goblok.


Ia juga menjelaskan ihwal ejaan “OE”. Waktu ia sekolah di zaman Belanda, untuk kata “U” memang ditulis “OE”. Tak urung, tanda tangan Bung Karno pun menggunakan “OE”. Akan tetapi, setelah Indonesia merdeka, Bung Karno-lah sebagai Presiden yang menginstruksikan supaya segala ejaan “OE” kembali ke “U”. Ejaan nama Soekarno pun menjadi Sukarno. “Tetapi, tidak mudah untuk mengubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun, jadi kalau aku sendiri menulis tanda tanganku, aku masih menulis S-O-E,” ujar Bung Karno, menjelaskan ihwal ejaan namanya yang benar adalah SUKARNO dengan tanda tangannya yang masih menggunakan ejaan SOEKARNO karena kebiasaan.










Kelahiran Bung Karno, Disambut Letusan Gunung Kelud




Bayi Sukarno lahir menjelang matahari merekah. Karenanya, dia disebut pula sebagai Putra Sang Fajar. Orang Jawa memiliki kepercayaan, seseorang yang dilahirkan saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Terlebih, Bung Karno yang dilahirkan tahun 1901 (tanggal 6 Juni) terbilang putra perintis abad. Ya, abad ke-19, sebuah peradaban gelap yang masih menyelimuti bangsa kita dan sebagian besar belahan bumi lainnya oleh aksi imperialisme yang merajalela.


bung karno sungkem ibudndaKelahiran putra sang fajar, diyakini —setidaknya oleh Idayu, sang ibunda— bakal menjadi penerang bagi bangsanya. Letusan Gunung Kelud yang terjadi kala Sukarno lahir, makin menguatkan pratanda alam menyambut kehadirannya di atas jagat raya. Benar, gunung berapi yang puncaknya di atas ketinggian 1.731 di atas permukaan air laut itu, tiba-tiba saja bergolak setelah sekian lama tidak menunjukkan aktivitas vulkanik yang berarti.


Begitulah alam memberi tanda bagi lahirnya sang jabang bayi putra pasangan Raden Sukemi Sosrodihardjo dan Idayu ini. Siapa nyana, bayi merah yang dilahirkan bukan oleh dukun beranak, melainkan oleh seorang kakek yang masih kerabat ayahandanya itu, kelak akan berjuluk Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertinggi, Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia yang pertama.


Dialah sang proklamator, yang membawa bangsa ini memasuki pintu gerbang kemerdekaan, setelah lebih 3,5 abad dijajah Belanda, dan 3,5 tahun dinista Jepang dengan bengisnya. Bung Karno sendiri menyimpan sebuah “restu” Ibunda, saat usia balita.


Dikisahkan, suatu subuh, menjelang matahari menyingsing, ibunda Sukarno bangun dan duduk di beranda rumahnya yang kecil, menghadap ke arah Timur. Udara pagi masih menggigit, embun pagi menyelimuti dedaunan. Sukarno yang terbangun, menyaksikan ibundanya duduk terpekur, diam tak bergerak menyongsong matahari pagi. Demi melihat ibuda di beranda seorang diri, Sukarno kecil mengayun langkah menghampirinya.


bersama ayahandaSang Idayu, demi melihat anaknya mendekat, diulurkannya kedua tangan dan direngkuhnya Sukarno kecil ke dalam pelukannya. Nah, di saat itulah ibunda Idayu melepas kata dengan nada lembut, “Engkau sedang memandangi fajar nak. Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar menyingsing. Orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan nak, bahwa engkau ini putra dari sang fajar.”


Tutur lembut sang ibu, dimaknai Bung Karno sebagai sebuah restu yang mengalir bersama darah Sukarno sepanjang hayat dikandung badan.


Bagaimana dengan makna angka yang serba enam yang mengiringi kelahirannya? Ya, Sukarno dalam satu kesempatan menuturkan ihwal kelahirannya pada tanggal enam bulan enam, berbintang gemini. Lambang kembar yang mengalirkan dua watak berlainan. Demikianlah Sukarno. Ia bisa lunak, dan bisa sangat cerewet. Bisa keras laksana baja, bisa lembut berirama. Ia meringkus musuh negara dan menjebloskannya ke balik jerajak besi, tetapi tak tega melihat seekor burung terkurung dalam sangkar. Ia memerintahkan prajurit membunuh musuh, tetapi tak tega menepuk nyamuk yang menggigit lengannya.


Dialah Sukarno, lahir dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana, Idayu, keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir, adalah paman ibundanya. Sedangkan ayah yang mengukir jiwa raganya, berasal dari Jawa bernama Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dia berasal dari keturunan Sultan Kediri.


keludSekelumit kisah ini, kupersembahkan pada hari ini, 6 Juni 2009, sebagai wujud hormat saya kepadanya. Sebelum mem-publish, saya pejamkan mata, mengirim Al-Fatihah buat Sukarno bin Sukemi Sosrodihardjo. Sekali lagi, ini semata wujud hormat dan cinta saya kepada Bung Karno.


“Maaf Bung… di hari kelahiranmu ini, sejumput doa hanya sempat kulantunkan dari beranda rumah. Insya Allah, libur Lebaran nanti, aku akan berdoa di pusaramu…”.














Tari Pendet, Malaysia, dan Bung Karno



Tari pendet yang begitu
edi-peni, melantun di pura-pura Hindu Pulau Dewata, meliuk indah menyambut tetamu, dan melenggang energik menggugah gairah. Lama sekali ia terpendam menjadi khasanah budaya milik leluhur. Entah sejak berapa abad yang lalu. Ia telah menjadi tradisi, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat Hindu di Bali. Tari pendet, bukan saja tari yang disucikan di Bali. Tari pendet juga menjadi inspirasi utama para koreografer Pulau Seribu Pura dalam mencipta tari-tarian baru.
Singkat tutur, pendek ucap, tari pendet begitu lekat pada tradisi masyarakat Hindu Bali, melekat menjadi warisan budaya negeri adiluhung. Barangkali sama berartinya dengan tari bedoyo di lingkungan keraton Solo maupun Yogya, atau barangkali tak ubahnya seni tari lain yang mengalir dalam denyut nadi suku-suku bangsa di Tanah Air dari Sabang hingga Merauke sebagai sesuatu yang sakral. Sebagai sesuatu yang metaksu.
Akan halnya Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia, ternyata pernah pula bersinggungan dengan tari pendet. Kejadiannya tahun 1962, menjelang Indonesia menjadi tuan rumah pesta olah raga Asia, Asian Games IV. Guna memeriahkan ajang olahraga akbar tadi, I Wayan Beratha menancapkan tonggak sejarah dalam penciptaan tari pendet masal. Wayan Beratha berencana menampilkan tari pendet dengan 800 orang penari.
Bung Karno yang intens meneliti setiap persiapan Asian Games, mulai dari persiapan kelengkapan sarana stadion, hotel, hingga materi penyambutan, sangat senang dengan gagasan Beratha. Presiden Sukarno pula yang kemudian mendorong proses penciptaan tari pendet secara masal ini. Bahkan tidak berlebihan jika sejak momentum itu pula, tari pendet begitu dikenal di Indonesia, bahkan dunia, serta identik dengan tari selamat datang yang memukau karena keindahan gerak serta kecantikan para penarinya.
Bahkan jauh hari sebelum momentum 1962, Bung Karno sangat menyenangi tari Bali. Bukan saja karena ia berdarah Bali, tetapi Sukarno begitu membanggakan tari Bali kepada tamu-tamu manca negara. Tak heran jika tari Bali nyaris tak pernah absen ditampilkan dalam acara-acara kenegaraan, di samping tentu saja tari dan budaya Nusantara lain.


Kini, tari pendet diklaim Malaysia. Sebelumnya, negeri jiran itu juga mengklaim lagu “Rasa Sayang” serta kesenian Reog sebagai khasanah budaya mereka. Bahkan batik. Bahkan seni angklung. Entah yang mana lagi. Dalih tinggal dalih. Akan tetapi langkah klaim seperti itu, sejatinya sangat mengusik rasa nasionalisme kita sebagai bangsa. Lebih dari itu, klaim mereka tak lebih dari sebuah upaya (sengaja atau tidak disengaja) mengusik ketenangan hidup bertetangga.

Pantas saja kalau kita bertanya, mengapa mereka tidak bergabung saja dengan Indonesia? Sehingga tidak hanya lagu “rasa sayang”, reog, angklung, batik, dan pendet yang bisa mereka klaim. Masih ada jutaan ragam budaya yang begitu membanggakan di bumi khatulistiwa kita. Kecuali kalau yang mereka inginkan memang sebuah upaya melanggengkan perseteruan antarnegara serumpun. Sayangnya, presiden kita bukan Bung Karno.











Bung Karno sebagai “Tukang Insinyur”



Kuliah teknik sipil di THS Bandung (sekarang ITB) adalah sisi kehidupan lain seorang Sukarno muda. Tokoh pergerakan, adalah peran lain yang dimainkannya. Nah, dalam mendayung sampan perjuangan di sungai berbatu cadas, terkadang ia meliuk ke kiri, meliuk ke kanan… terkadang ia menabrak pula bebatuan keras yang membuatnya limbung.


Di lingkungan kampus, Sukarno pun sempat aktif di organisasi kemahasiswaan, semacam studie club. Akan tetapi, manakala klub mahasiswa yang sebagian besar berisi mahasiswa bule itu lebih banyak menjalankan program pesiar dan plesiran, Bung Karno pun menyempal dan mendirikan kelompok studi lain. Langkah dia, segera diikuti mahasiswa-mahasiswa pribumi, pengikut setianya.


Bertahun-tahun setelah ia mendayung kedua peran sebagai mahasiswa dan tokoh pergerakan, tentu saja Sukarno mengalami banyak kejadian. Ia ditangkap polisi Belanda untuk pertama kali tahun 1922, pun dalam status sebagai seorang mahasiswa. Ia pernah digrebek di rumahnya bersama sejumlah akivis lain, juga masih dalam status sebagai mahasiswa.


Bahkan, ketika hantaman datang bertubi-tubi, mulai dari peristiwa penangkapan, disusul ditangkapnya guru sekaligus mertua, H.O.S. Cokroaminoto, dan banyak kejadian lain, sempat memunculkan awan pekat di ujung sungai sana. Ia nyaris berhenti mendayung. Ya… nyaris berhenti kuliah. Berhenti meneruskan cita-cita pergerakan menuju Indonesia merdeka.


Akan tetapi, ingatkah Anda? Seorang anak yang lahir di saat sang fajar menyingsing, takdirnya telah ditentukan. Ingatkah pula Anda? Sang ibunda, yang mengandung dan melahirkannya, Ida Ayu Nyoman Rai, mendekap tubuh kecil Sukarno di beranda depan, saat matahari mengintip di ufuk sana, seraya menujum masa depan putranya yang gilang-gemilang. Menerawang masa depan putra tersayang yang bakal menyandang takdirnya menjadi pembebas belenggu penjajah yang melilit bangsanya.


Awan pekat pun tersibak. Cokroaminoto bebas, Sukarno kembali ke bangku kuliah. Dan… aktivitas pergerakan kembali menjadi rutinitas hidupnya. Ia melanjutkan kuliah dengan gelora semangat baru. Mungkin saja karena ia baru saja melewati satu tanggung jawab besar sebagai kepala rumah tangga, atau mungkin juga karena ia kembali ke kota Bandung, ke rumah kos dengan Inggit Garnasih di dalamnya.


Kuliah berhasil diselesaikan. Nilai kelulusan? Ah… mana terjadi mahasiswa pribumi melampaui nilai-nilai mahasiswa bule. Pribumi harus di bawah bangsa bule. Sepintar apa pun dia. Sukarno tahu betul hal itu. Ia sudah terbiasa dengan hal-hal semacam itu sejak masa sekolah ELS di Mojokerto, HBS di Surabaya.


Bung Karno sendiri tidak terlalu memedulikan masalah itu. Ia lebih peduli politik. Ia lebih peduli menyusun kekuatan pergerakan melawan penjajah. Ia lebih peduli mewujudkan Indonesia yang merdeka. Indonesia yang tidak lagi membungkuk-bungkuk di hadapan bule. Indonesia yang tidak bisa begitu saja diludahi bangsa penindas.


Hanya orang dengan kepedulian seperti itu saja, yang rela hidup miskin, sekalipun tawaran menjadi pejabat dan pegawai di pemerintahan Hindia Belanda terbuka lebar, apalagi bagi seorang sarjana teknik, “tukang insinyur” cerdas seperti Sukarno. Ia lebih suka menerbitkan koran, memungut uang langganan, uang iklan, dan mendapatkan sedikit uang untuk dana perjuangan. Dengan media ia bisa berpropaganda. Dengan uang yang dihasilkan, ia bisa mendanai hidup dan perjuangannya.


Memang, Bung Karno sempat pula mencari nafkah dengan menjual keahliannya sebagai seorang insinyur. Ia mendirikan biro teknik, biro arsitek, tetapi tidak berhasil. Ada banyak faktor, tetapi yang pasti, ia gagal. Kemudian selepas dari penjara Sukamiskin, sekira tahun 1932, ia bergabung dengan Ir. Rooseno dan kembali mendirikan biro arsitek.


Biro arsitek yang didirikannya, lagi-lagi tidak sukses. Orang-orang lebih menyukai arsitek ala Tionghoa atau Belanda. Alhasil, tidak jarang untuk bayar sewa kantor yang 20 rupiah, telepon yang 7,5 rupiah, biro ini harus menombok. Bung Karno menomboki usaha yang merugi? Bukan. Rooseno-lah yang nombok. Sebab, Rooseno berpenghasilan lebih besar lagi sebagai pengajar. Kantong Rooseno jauh lebih tebal dibanding seluruh kantong Sukarno.


Sukarno? Ah… dia pura-pura tidak tahu hal itu. Yang pasti, tiap bulan ia datang ke kantor, menemui Rooseno, dan langsung bertanya, “Berapa kau berutang kepadaku?”


Rooseno hapal betul nada itu. Sebuah sikap “memahami” yang sangat dalam. Rooseno tahu, bahwa Sukarno tahu usahanya tidak jalan, atau katakan saja jalan merayap. Di sisi lain, Rooseno tahu juga, Sukarno sangat memerlukan uang untuk menafkahi keluarga dan ongkos perjuangan. Pemahaman seperti itulah yang membuat Rooseno menjawab pertanyaan Bung Karno dengan jawaban, “Bagian Bung 15 rupiah….”


Bayangkan! “Bagian” dari mana? Sedangkan untuk menutup sewa kantor dan bayar telepon saja tidak cukup. Jadi, laiknya dua sahabat dalam tingkat kesepahaman yang tinggi, maka Sukarno pun menjawab, “Baik. Terima kasih.” Tak ada pertanyaan lagi setelah itu.


Sejatinya, dalam hal perpaduan ilmu, Rooseno dan Sukarno memang klop. Dalam menjalankan roda usaha biro arsitek tadi, Rooseno yang banyak berperan sebagai insinyur-kalkulator. Mengerjakan soal-soal detail, membuat perhitungan dan kalkulasi, serta mengerjakan ilmu pasti yang sangat sukar itu.


Sukarno sendiri, sebagai seorang arsitek seniman, bertindak sebagai pengatur bentuk-bentuk yang unik dari rancang bangun sebuah gedung atau rumah. Akan tetapi… tentu saja tidak banyak yang diatur, karena biro arsitek mereka memang sepi order. Tetapi dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno cukup membanggakan karyanya sebagai “tukang insinyur”. “Ada beberapa buah rumah yang kurencanakan sendiri, dan sekarang masih berdiri di Bandung. Rencanaku boleh jugalah. (Meski) tidak begitu ekonomis, tetapi indah….”











Rahasia Pidato yang Memukau



Terkadang kita mendengar seseorang, beberapa orang, banyak orang, bercerita hal-hal magis tentang Bung Karno. Bahkan ada kalanya, bagi seseorang, beberapa orang, banyak orang, cerita-cerita tadi terasa dibesar-besarkan. Entah yang melempar topik tongkat komandonya, pecinya, kacamatanya, sampai segala sesuatu yang pernah disentuhnya.

Tulisan ini tentu saja tidak bermaksud mengonfirmasi hal-hal itu. Tidak membantah, tidak pula mengiyakan. Segala cerita magis, mistis, ghaib, supranatural di sekeliling kehidupan Bung Karno, ada kalanya merupakan ekspresi kekaguman seseorang, beberapa orang, banyak orang tentang Putra Sang Fajar. Mengapa harus mengomentari orang berekspresi?
Nah, ini pun tentang ekspresi. Cermin diri, suara hati. Bung Karno adalah manusia ekspresif. Ia sangat pandai menyuarakan kata hati, jerit hati, seruan hati. Tidaklah mengherankan jika semua pidato yang menggelegar, semua orasi yang memukau, semua kata sambutan yang membahana, berasal dari hati. Ekspresi jiwa yang dibungkus kekayaan kata, menjadikan Bung Karno seorang pembicara yang jaya.
Salah seorang yang dekat dengannya, yakni Dr. Soeharto, dokter pribadinya, termasuk yang sangat menikmati setiap Bung Karno berbicara. Yang ia rasakan, khasanah hati dan pikirannya menjadi lebih kaya. Usai mendengar pidato Bung Karno, selalu saja tumbuh tunas semangat baru dalam hidupnya.
Kebetulan, sebagai seorang dokter yang terbiasa mengobservasi detail keluhan pasien, ia pun senantiasa mencermati kata demi kata, serta struktur kalimat dan alunan birama saat berbicara. Bung Karno, dengan penguasaan sedikitnya tujuh bahasa asing dengan baik itu, sesungguhnya adalah manusia dengan amunisi kata-kata tak terhingga.
“I am speaking to you in a language, which is not mine nor yours, but I am speaking with the language of my heart,”
begitu kalimat yang cukup sering dipakai Bung Karno dalam pidato-pidato di manca negara. “I am speaking with language of my heart”… bahasa hati.
Kalimat yang juga termasuk sering diselipkan dalam pidato-pidato Bung Karno, adalah semangat persamaan derajat antarmanusia. Dan itu sungguh mengena, di saat dunia masih ada yang memberlakukan sistem apartheid, kasta, kelas, golongan, dan ras. “Men all over the world, under the skin, is one,” kata Bung Karno. Tak ada perbedaan antara satu manusia dengan manusia yang lain, kecuali sekadar kulit. Jadi sesungguhnya, di balik kulit putih, kuning, sawo matang, atau hitam, hanya ada satu nama: MANUSIA.
Mungkin karena itu pula, Bung Karno begitu cepat lebur di mana pun ia berada. Sebutir debu kuku, Bung Karno tak berasa rendah di hadapan bangsa bule yang lebih putih, lebih tinggi, lebih besar fisiknya. Demikian pula, tak sebutir debu di udara, Bung Karno merasa lebih dibanding bangsa berkulit hitam pekat, sawo matang, atau kuning.
Terhadap semua bangsa, Bung Karno menaruh respek yang sama. Terhadap semua bangsa, Bung Karno mengulur persahabatan yang sama. Bahkan sebelum mengakhiri pidato di depan bangsa-bangsa lain di dunia, ada kutipan Perancis yang nyaris tak pernah lupa ia ungkapkan… “Au revoir. Partir est une peu mourir dans mon coeur…” Sampai jumpa lagi. Perpisahan menyebabkan sedikit kematian dalam hati saya.


 Presiden dengan 26 Gelar Doktor HC



Ada saja alasan mengapa Sukarno harus gemar membaca. Ada saja alasan mengapa Sukarno harus rajin belajar. Dan… ada saja cara Sukarno untuk belajar cepat mengenai segala sesuatu hal.


Didorong ego yang meluap-luap untuk bisa bersaing dengan siswa-siswa bule, Bung Karno sangat tekun membaca, dan sangat serius belajar. Di HBS Surabaya misalnya, dari 300 murid yang ada, hanya 20 murid saja yang pribumi. Satu di antaranya adalah Sukarno. Sekalipun sulit menarik simpati teman-teman sekelas yang keturunan penjajah, setidaknya ada satu dua guru,yang menaruh rasa sayang kepadanya.


Dari simpati gurunya, tak jarang, ia mendapat fasilitas lebih untuk bisa ‘mengacak-acak’ perpustakaan dan membaca segala buku, baik yang ia gemari maupun yang tidak ia sukai. Lantas, manakala problem berbahasa Belanda menghambat rasa haus ilmunya, ia pun sudah punya jalan pintas: Merayu noni Belanda sebagai pacarnya. Berpacaran dengan noni Belanda, adalah cara praktis lekas mahir berbahasa Belanda. Mien Hessels, adalah salah satu pacar Bung Karno yang berkebangsaan Belanda.


Usia belum genap 16 tahun, Bung Karno sudah membaca karya besar orang-orang besar dunia. Di antaranya, ia mengagumi Thomas Jefferson dengan Declaration of Independence yang ditulis tahun 1776. Sukarno muda, juga mengkaji gagasan-gagasan George Washington, Paul Revere, hingga Abraham Lincoln.


Tokoh pemikir bangsa lain, seperti Gladstone, Sidney dan Beatrice Webb juga dipelajarinya. Ia mempelajari Gerakan Buruh Inggris dari tokoh-tokoh tadi. Tokoh Italia? Ia sudah bersentuhan dengan karya Mazzini, Cavour, dan Garibaldi. Tidak berhenti di situ, Sukarno bahkan sudah menelan habis ajaran Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin. Semua tokoh besar tadi, menginspirasi Sukarno muda.


Penelusuran Bung Karno terhadap karya besar orang besar, tidak pernah berhenti. Alhasil, pernah dalam suatu ketika, saya mendapat copy dokumen barang-barang milik Bung Karno di Istana Negara, yang diinventarisasi oleh aparat negara, sesaat setelah ia digulingkan. Dari ribuan item yang saya cermati, hampir 70 persennya buku. Sisanya: pakaian, lukisan, mata uang receh, satu potong bra dan satu helai sapu tangan wanita…. Ya, harta Bung Karno terbesar memang buku.


Episode kehidupannya yang lain, mengisahkan betapa dalam setiap pengasingan dirinya, baik dari Jakarta ke Ende, dari Ende ke Bengkulu, maupun dari Bengkulu kembali ke Jakarta, bagian terbesar dari barang-barang bawaannya adalah buku. Semua itu, belum termasuk yang dirampas dan dimusnahkan penguasa penjajah.


Apa muara dari kisah ini? Sejatinya hanya untuk memperteguh judul di atas: Presiden dengan 26 Gelar Doktor Honoris Causa. Ya, itulah Sukarno, Presiden Republik Indonesia yang pertama. Itulah jumlah gelar doktor yang ia terima dari seluruh penjuru dunia, 26 gelar doktor HC, rinciannya, 19 dari luar negeri, 7 dari dalam negeri.


Yang pertama kali memberi gelar doktor kepada Bung Karno bukan perguruan tinggi Indonesia, melainkan Filipina: Far Eastern University, Manila. Sedangkan perguruan tinggi Indonesia pertama yang memberinya gelar doktor HC adalah Universias Gadjah Mada Yogyakarta pada 19 September 1951.


Adapun yang tercatat pertama kali memberinya gelar doktor HC di bidang Ilmu Pengetahuan Teknik adalah Universitas Berlin, pada 23 Juni 1956. Dalam bidang yang sama, disusul Universitas Budapest pada 17 April 1960, selanjutnya barulah almamaternya, ITB pada 13 September 1962.


Catatan menyebutkan pula, Universitas Islam pertama yang menganugerahkan gelar doktor HC buat Bung Karno adalah Universitas Al Azhar, Kairo pada 24 April 1960 dalam ilmu Filsafat. Kemudian, IAIN Jakarta dalam Ushuludin Jurusan Dakwah pada 2 Deember 1963, disusul Universitas Muhammadiyah Jakarta untuk Falsafah Ilmu Tauhid pada 1 Agustus 1965.


Negara-negara asal perguruan tinggi yang menganugerahkan gelar Doktor HC berturut-turut adalah Filipina, Amerika Serikat, Kanada, Jerman Barat, Uni Soviet, Yugoslavia, Cekoslovakia, Turki, Polandia, Brazil, Bulgaria, Rumania, Hongaria, RPA, Bolivia, Kamboja, dan Korea Utara.


Adapun perguruan tinggi nasional yang memberikan gelar Doktor HC buat Bung Karno adalah: 1). Universitas Gadjah Mada (19 September 1951) dalam Ilmu Hukum; 2). ITB (13 September 1962) dalam Ilmu Teknik; 3). Universitas Indonesia (2 Februari 1963) dalam Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan; 4). Universitas Hasanuddin (25 April 1963) dalam Imu Hukum; 5). IAIN Jakarta (2 Desember 1963) dalam Ushuludin jurusan Dakwah; 6). Universitas Padjadjaran (23 Desember 1964) dalam Ilmu Sejarah; 7). Universitas Muhammadiyah (1 Agustus 1965) dalam Falsafah Ilmu Tauhid.


Sependek pengetahuan saya, Sukarno-lah presiden yang menerima gelar Doktor Honoris Causa terbanyak. Bukan hanya terbanyak, melainkan dari ragam ilmu yang beragam, mulai dari ilmu teknik, sosial kemasyarakatan, hukum, filsafat, agama, dll. Itu adalah satu sisi kehidupan Bung Karno, dari ribuan sisi yang dimilikinya.










Sukarno, **** Akbar



Bung Karno adalah seorang **** Akbar. Nalarnya, saat ia berangkat **** tahun 1955, ritual inti **** terjadi pada hari Jumat, sebuah hari suci bagi umat Islam. Karena itulah ia bergelar **** Akbar. Tentu saja peristiwa itu tergolong langka. Sebuah versi menyebutkan, dari ibadah **** yang dilakukannya itulah ia mendapat tambahan nama “Ahmad”.


Akan tetapi, Bung Karno tetap Bung Karno. Ia tidak menyandangkan nama Ahmad maupun gelar **** di depan namanya. Karenanya, ia pernah berang manakala seorang wartawan Amerika Serikat menuliskan namanya sebagai Ahmad Sukarno.


Menunaikan ibadah **** tahun 1955, tentulah berbeda dengan era sekarang. Sebab, fasilitas penunjang kelancaran beribadah, belum sesempurna saat ini. Sebagai contoh, ritual sa’i, yakni berjalan kaki dengan tergesa-gesa antara dua bukit, bukit Shafa dan Marwah tidak semudah sekarang.


Sa’i, adalah sebuah ritual yang mengilas balik ketika Ismail, putra Nabi Ibrahim dari Siti Hajar, masih menyusu. Suatu hari perbekalan mereka habis, Ismail kelaparan dan kehausan. Siti Hajar mencoba mencari sumber air dengan berlari-lari antara dua bukit: Shafa ke Marwah demi seorang anak amanah Allah. Hajar pun terus mencari sumber air bolak-balik tujuh kali. Sampai suatu ketika, Allah menolong mereka dengan memberikan sumber air yang jernih, yang sekarang kita namakan air zam-zam. Sumber air yang keluar dari hentakan dan jejakan kaki Ismail.


Kisah Siti Hajar ini diabadikan dan dikenang oleh seluruh umat Islam di dunia, sebagai rangkaian ibadah ****, yakni sa’i -berlari-lari kecil atau berjalan tergesa-gesa dari Sahfa ke Marwah bolak-balik tujuh kali.


Nah, di tahun 1955, jalan antara dua bukit tadi masih sempit dan tidak rata, ditambah kepikukan pertokoan dan warung-warung makan di kiri kanan jalan tadi. Sedangkan saat ini, jalan antara Shafa dan Marwah lebar dan mulus berkat hamparan marmer, beratap pula. Jika dulu, jalur tadi sempit dan digunakan untuk dua jalur, maka saat ini sudah jauh lebih lebar, dan terdapat pemisah antara satu jalur dan jalur lainnya.


Sejarah Saudi Arabia mencatat, perbaikan jalur antara bukit Shafa dan Marwah adalah berkat saran Bung Karno kepada Raja setempat. Pada tahun 1955, pengaruh Bung Karno memang begitu besar. Tidak saja di negara-negara Asia dan Afrika, tetapi hingga ke bentang Eropa, Amerika, bahkan Timur Tengah, termasuk Saudi Arabia.


Dr. Soeharto, dokter pribadi yang ikut serta dalam rombongan **** Bung Karno, menuturkan betapa ia merasa beruntung. Sebab, tidak seperti kebanyakan jemaah **** yang lain, maka Bung Karno dan rombongan diperkenankan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW di areal Masjid Nabawi, Madinah. Raja Arab begitu menghormati Bung Karno.


Dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci, kepada Dr. Soeharto dan didengar anggota rombongan yang lain, Bung Karno sempat menyampaikan pesan spiritualnya. Katanya, “To… kamu hendaknya jangan mempergunakan predikat ****, sebelum kamu betul-betul dapat mendirikan –tidak sekadar menjalankan– shalat secara tertib sebagaimana yang diperintahkan.”












Foto Fatmawati yang Langka dan Sarat Makna



Usianya baru 19 tahun ketika disunting Bung Karno. Bung Karno sendiri 41 tahun. Fatmawati, putri Hasan Din yang asli Bengkulu, menjadi first lady yang menorehkan sejarah. Dia menjahit dengan tangannya, Sang Saka Merah Putih yang dikibarkan pada pagi 17 Agustus 1945.


Fatmawati, dinikahi Bung Karno pada era pendudukan Jepang. Ia mengikuti pasang dan surut perjuangan mencapai kemerdekaan. Dalam masa awal kemerdekaan, tak jarang Fatmawati yang memiliki penguasaan bagus dalam hal nilai-nilai keagamaan, tak jarang didaulat bericara di atas podium. Foto di atas, adalah koleksi majalah Life. Salah satu foto langka yang sarat makna.









Ratna Sari Dewi, Sang Pujaan Hati



Bung Karno pernah ditulis wartawan suratkabar Amerika, sebagai pria yang gemar melirikkan mata kepada wanita-wanita cantik. Atas tulisan tersebut, Bung Karno menyangkal keras. “Yang benar adalah, Bung Karno menatap setiap perempuan cantik dengan kedua bulatan matanya….” Ia mengagumi setiap bentuk keindahan. Ia menarik nafas dalam-dalam setiap menatap hamparan pemandangan negerinya yang molek. Ia mengagungkan asma Allah setiap melihat wanita cantik ciptaanNya.


Terhadap wanita-wanita yang mengisi hatinya, semua mendapat tempat yang begitu mulia di hati Sukarno. Inggit Garnasih sebagai perempuan gigih, penyayang, dan mendukungnya sejak era pergerakan hingga menjelang Indonesia merdeka. Fatmawati? Ia gadis 19 tahun yang ceria, saat dinikahi. Fatma pun ditaburi cinta Sukarno, karena dia adalah penopang semangat Sukarno di awal-awal republik berdiri.


Hartini? Ah… dialah pembuat sayur lodeh paling enak di lidah Bung Karno. Kesadarannya sebagai “madu”, memposisikan Hartini menjadi seorang istri yang begitu berbakti. Karenanya, Bung Karno membalasnya dengan luapan asmara tiada tara. Tak heran jika dalam wasiatnya, Bung Karno ingin dimakamkan berdampingan dengan Hartini.


Bagaimana pula dengan Naoko Nemoto? Dialah geisha yang begitu sempurna di mata Sukarno. Kecantikannya begitu mempesona, sehingga tak kuasa Sukarno meredam hasrat cintanya yang berkobar-kobar. Gadis Jepang ini lahir tahun 1940, sebagai anak perempuan ketiga seorang pekerja bangunan di Tokyo. Ia lahir dari keluarga sederhana, sehingga Naoko harus bekerja sebagai pramuniaga di perusahaan asuransi jiwa Chiyoda, sampai ia lulus sekolah lanjutan pertama pada tahun 1955.


Setahun kemudian, ia mengundurkan diri, dan menekuni profesio geisha Akasaka’s Copacabana yang megah, salah satu kelab malam favorit yang sering dikunjungi para tamu asing. Ke kelab inilah Sukarno datang pada 16 Juni 1959. Bertemu Naoko, dan jatuhlah hatinya. Setelah itu, Bung Karno masih bertemu Naoko dua kali di hotel Imperial, tempat Bung Karno menginap. Akan tetapi, versi lain menyebutkan, pertemuan keduanya terjadi setahun sebelumnya, di tempat yang sama.


Usai lawatan dua pekan, Bung Karno kembali ke Jakarta. Tapi sungguh, hatinya tertinggal di Tokyo… hatinya melekat pada gadis cantik pemilik sorot mata lembut menusuk, sungging senyum yang lekat membekas. Seperti biasa, Bung Karno mengekspresikan hatinya melalui surat-surat cinta. Cinta tak bertepuk sebelah tangan. Isyarat itu ia tangkap melalui surat balasan Naoko.


Tak lama, Bung Karno segera melayangkan undangan kepada Naoko untuk berkunjung ke Indonesia. Sukarno bahkan menemaninya dalam salah satu perjalanan wisata ke Pulau Dewata. Benih-benih cinta makin subur bersemi di hati keduanya. Terlebih ketika Naoko menerima pinangan Bung Karno, dan mengganti namanya dengan nama pemberian Sukarno. Jadilah Naoko Nemoto menjadi Ratna Sari Dewi. Orang-orang kemudian menyebutnya Dewi Soekarno.


Tanggal pernikahan keduanya, ada dua versi. Satu sumber menyebut, keduanya menikah diam-diam pada tanggal 3 Maret 1962, bersamaan dengan peresmian penggunaan nama baru: Ratna Sari Dewi berikut hak kewarganegaraan Indonesia. Sumber lain menyebut mereka menikah secara resmi bulan Mei 1964. Agaknya, sumber pertamalah yang benar.


Lepas dari kapan Bung Karno menikahi Ratna Sari Dewi, akan tetapi, cinta Bung Karno kepadanya begitu meluap-luap. Jika ia bertestamen agar dimakamkan di sisi makam Hartini, maka terhadap Ratna Sari Dewi, Bung Karno bertestamen agar dimakamkan dalam satu liang.


Faktanya, Hartini dan Ratna Sari Dewi yang begitu terlibat secara emosional pada hari terakhir kehidupan Bung Karno. Hartini yang setia mendampingi di saat ajal menjemput. Hartini pun tahu, dalam keadaan setengah sadar di akhir-akhir hidupnya, Bung Karno membisikkan nama Ratna Sari Dewi. Hal itu diketahui pula oleh Rachmawati.


Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang paling intens mendampingi bapaknya di akhir hayat, luluh hatinya. Tak ada lagi rasa “tak suka” kepada Hartini maupun Ratna Sari Dewi. Rachma sadar, ayahnya begitu mencintai Hartini dan Dewi, sama seperti besarnya cinta Bung Karno kepada Fatmawati, ibunya.


Buah asmara Bung Karno – Ratna Sari Dewi adalah seorang gadis cantik yang diberinya nama Kartika Sari Dewi atau akrab disapa Karina. Bung Karno sempat menimang bayi Kartika, meski jalan hidupnya tak memungkinkan untuk mendampinginya tumbuh menjadi gadis cantik, cerdas dengan jiwa sosial yang begitu tinggi.















Membaca Tanda Tangan “Soekarno”



Sekitar Tahun 1980an,Ragil Suwarna Pragolapati Sastrawan kelahiran Pati, Jawa Tengah, adalah seorang ahli membaca tanda tangan, atau biasa disebut grafolog.


Menurutnya tiga inti dari tanda tangan Sukarno.


Pertama, huruf “S” pada “Soekarno” ditulis dengan beberapa kali pengulangn tarikan, sehingga mengesankan ribet atau rumit. Ragil memaknai sebagai perjalanan Sukarno yang dimulai dari kondisi yang sangat rumit. Sejarah telah mencatat, bagaimana Sukarno hidup susah di waktu kecil dan remaja, dan hidup penuh tantangan pula di masa muda sebagai penggerak roda revolusi bangsa. Ia masuk-keluar penjara, ia dibuang dan diasingkan, dan kisah-kisah buruk yang melilit Sukarno pada fase awal.


Kedua, huruf-huruf selanjutnya pada tanda tangan Sukarno, terbaca gamblang, sehingga secara keseluruhan kita bisa baca sebagai nama dia. Ini adalah simbol Sukarno orang yang terbuka, jelas dan tegas langkahnya, lurus kepribadiannya, teguh pada prinsip dan sikap-sikap transparan lain. Dari beberapa literatur bisa kita ketahui, Sukarno lantang menentang penjajahan. Sekeluar dari penjara Sukamiskin, ia masih juga menyuarakan kemerdekaan. Tidak seorang pun bisa membuatnya diam.


Sekalipun, seorang awak kapal menawarinya kabur dari pembuangan dan berjuang di bawah tanah, sekali lagi, Bung Karno menolak. Ia berdalih, cara Sukarno bukan berjuang di bawah tanah. Ia muncul sebagai simbol yang mudah terbaca oleh seluruh rakyat Indonesia. Mudah terbaca, seperti tanda tangannya.


Ketiga,Ragil menunjuk tambahan pada tanda tangan berupa “titik” dan “garis sambung”. Ragil memaknai karier dan hidup Bung Karno akan berakhir tragis. Tiba-tiba. Mendadak. Habis. “Titik”. Akan tetapi, garis sambung di belakang titik adalah suatu makna, bahwa pada akhirnya, namanya akan kembali muncul, berkibar selama-lamanya di bumi Indonesia.


Point ketiga tadi terbukti pada kampanye 1999, belasan tahun kemudian sejak Ragil membacanya di Sanggar Teater Alam. Nama Bung Karno menjadi ikon pemersatu massa marhaen, poster dan gambar Bung Karno kembali berkibar menggelorakan memori bangsa, dan mengantarkan PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri memenangi Pemilu, bahkan kemudian mengantar Megawati ke kursi kepresidenan. Meski akhirnya rakyat tahu, Megawati BUKAN Sukarno!
















Bung Karno Relakan Nyawa, Bebaskan Tawanan



Kisah-kisah yang terukir dalam sejarah Sukarno, menunjukkan posisinya yang piawai sebagai negarawan tulen. Ia terus berteriak dan berteriak menyuarakan kemerdekaan, meski berbalas kerangkeng penjara dan sepinya pembuangan. Ia melancarkan aksi diplomasi yang rapi, sehingga Jepang tak berbuat satu tindakan pun saat Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945.


Pasca kemerdekaan, kita mengenal istilah Agresi Belanda kedua. Setelah Sekutu berhasil merontokkan dominasi Jepang di Asia dan Asia Tenggara, Belanda segera melancarkan aksi sipil menduduki kembali negara jajahan yang ia namakan Hindia Belanda. Sementara bagi kita, Hindia Belanda sudah terkubur, seketika bersamaan tertancapnya sang saka merah putih, panji Republik Indonesia.


Fase ini disebut sebagai fase perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Masyarakat baru mengakui manfaat Bung Karno menyetujui pembentukan PETA. Dengan begitu, sejatinya kita sudah memiliki pemuda-pemuda tangguh dengan kemampuan tempur. Laskar-laskar yang gagah berani, siap menghadang tentara Sekutu yang hendak merampas kemerdekaan yang sudah digaungkan. Slogan yang membakar dada setiap anak bangsa: “SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA!”, “MERDEKA ATAU MATI”.


Menyongsong mendaratnya kembali Sekutu di bumi Indonesia, Bung Karno sekali lagi, menunjukkan karakter yang kuat sebagai lokomotif perjuangan bangsa. Ia mengatur strategi perlawanan, mulai dari perlawanan diplomasi sampai ke perlawanan bersenjata.


Bung Karno bahkan muncul secara spontan pada moment-moment tertentu, menunjukkan heroisme yang berkobar-kobar. Berikut adalah salah satu peristiwa yang terjadi di Magelang, yang dikutip oleh Bagin dalam bukunya “Pemahaman Saya tentang Ajaran Bung Karno.”


Tersebutlah suatu waktu menjelang tahun 1946 di Magelang, Jawa Tengah. Bung Karno mendengar seorang anak menjadi tawanan di markas tentara Sekutu. Ia menuju ke Magelang. Setiba di depan markas serdadu Inggris tempat seorang anak Indonesia ditawan, Bung Karno berhenti. Ia berjalan tegap dan mantap menuju pintu gerbang benteng serdadu Inggris dengan satu tekad: Membebaskan seorang anak yang ditahan musuh.


Langkahnya makin mendekati jarak sasaran tembak, ketika terdengar teriakan, “Jangan tembak!” Siapa pun serdadu yang berteriak melarang pasukannya menembak “seseorang” yang datang menyetor nyawa, betapa pun telah melemahkan nafsu menembak setiap prajurit yang sudah membidik. Faktanya, memang tak satu peluru pun dimuntahkan oleh prajurit-prajurit Sekutu.


Sebaliknya, Bung Karno masuk dan sebentar kemudian sudah keluar membawa seorang anak belasan tahun yang menjadi tawanan serdadu Inggris.


Peristiwa itu meneguhkan sosok Sukarno yang cinta sesama. Peristiwa itu mengukuhkan pribadi Sukarno yang sukarela menawarkan nyawanya untuk ditukar dengan seorang tawanan anak. Kisah itu, tidak hanya merasuk menyemangati setiap prajurit bersenjata bambu runcing, tetapi juga terdengar hingga ke telinga para jenderal Sekutu.


Hanya Sukarno. Ya, Sukarno saja yang membukukan kisah itu dalam lembar sejarah perjuangan bangsa.

















Saatnya Shalat di Amerika Serikat

Masih dalam rangka kunjungan Presiden Sukarno ke Amerika Serikat tahun 1956. Ketika tiba saatnya shalat, Bung Karno dan rombongan menuju salah satu masjid di sana untuk bersujud. Foto-foto berikut terasa sejuk kalau kita resapi dalam hati. Karenanya saya merasa tidak perlu berpanjang kata mengomentari ataupun memuji. Kita nikmati saja deretan foto di bawah ini, sambil membenamkan imaji sedalam-dalamnya….


Bung Karno, dengan tongkat komandonya berjalan kaki melintasi koridor masjid.

Para pengawal menjaga Presidennya, lantas mengiringkannya masuk ke dalam masjid.
Usai shalat berjamaah, Bung Karno berdoa sejenak. Sejurus kemudian, ia bangkit berdiri lagi untuk kembali melaksanakan shalat sunah dua raka’at…. Anggota rombongan lain, ada yang mengikuti Bung Karno shalat sunah, ada yang tekun berdzikir, ada pula yang beringsut mundur, dan menunggu di luar masjid.

Usai shalat, tak pernah lupa Bung Karno khusuk berdoa. Tampak di sebelah kiri Bung Karno adalah Roeslan Abdulgani. Diplomat muda, pahlawan pada pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya. Ia kemudian diangkat menjadi Menteri Luar Negeri, dan termasuk tokoh di balik Konferensi Asia Afrika Bandung yang bersejarah itu. Roeslan Abdulgani wafat 29 Juni 2005 dalam usia 91 tahun.


Seperti umumnya jemaah masjid, begitu pula Bung Karno. Di dalam masjid, tidak ada presiden, tidak ada menlu, tidak ada pejabat. Yang ada hanya imam dan makmum. Begitu pula usai shalat, Bung Karno dengan santai duduk di tangga masjid untuk mengenakan sepatu, seperti halnya jemaah yang lain.

Usai shalat, ia kembali melanjutkan protokol kunjungan kenegaraannya. Antara lain menggelar pembicaraan bilateral dengan Presiden Dwight Eisenhower yang dikisahkan “kurang mesra”.































ini konser perdana bung karno...





















Pesan Bung Karno kepada Guntur



Tak pelak, Guntur-lah putra Bung Karno yang harus memikul tanggung jawab besar, manakala bapaknya meninggal. Ia tidak saja harus menjadi “pengganti” peran ayah bagi adik-adiknya, tetapi juga siap menjalankan peran sebagai anak Bung Karno tertua, pasca meninggalnya Sang Proklamator. Dalam buku yang ia tulis, Guntur menulis kisah-kisah menarik hubungannya dengan sanga ayah, yang ia sebut sebagai ayah, sahabat, sekaligus guru. Ekspresi sikap Guntur pasca meninggalnya Bung Karno, baginya adalah sikap terbaik. Termasuk jika akhirnya ia memilih untuk tidak terjun ke gelanggang politik.

Akan tetapi, dengan sikapnya itulah kemudian ia dan adik-adiknya, relatif bisa bertahan hidup di rezim Soeharto, sebuah rezim yang telah menggulingkan bapaknya, tidak hanya dilengser dari jabatan, tetapi juga dikungkung di Wisma Yaso, tanpa bacaaan, tanpa teman, tanpa keluarga.
Cerita sejarah Indonesia tentu akan berbeda, seandanya Guntur mengambil jalan politik, dan melakukan perlawanan balik terhadap rezim Soeharto. Jalannya sejarah bisa menjadi, Guntur kembali mengibarkan bendera Bung Karno dengan pendukung yang sangat besar. Atau, sejarah bisa pula menjadi, Guntur dan adik-adiknya tersingkir, bahkan dalam arti harfiah.
Satu hal yang pasti, ia masih terus mengingat pesan bapaknya yang terakhir. Dikatakan terakhir, karena selama ia menjadi putra Bung Karno, tentu banyak pesan yang telah dibenamkan Bung Karno di otak dan hati Guntur. Dikatakan terakhir, karena tidak ada pesan lagi setelah pesan terakhir, hingga ayahnya meninggal dunia, 21 Juni 1970. Berikut pesan terakhir Bung Karno kepada Guntur:

“Tok, engkau adalah anak sulung Putra Sang Fajar. Sebab, bapakmu dilahirkan pada waktu fajar menyingsing. Fajar 6 Juni yang sedang merekah di ujung timur. Dan engkau yang lahir di tahun keberanian, juga menjelang fajar tanggal 3 November pada saat mana hegemoni kekuasaan Jepang semakin suram sinarnya. Nah seperti halnya bapakmu, engkaupun pantas menyambut terbitnya matahari. Jadilah manusia yang pantas menyambut terbitnya matahari. Ingat, yang pantas meyambut terbitnya matahari itu hanya manusia-manusia abdi Tuhan, manusia-manusia yang manfaat. Karena itu jangan cengeng! Buktikan kepada setiap orang yang menatapmu bahwa engkau memang pantas menjadi anak sulung Sukarno.”




“Tuan Punya Bom Atom, tapi Saya Punya Seni”


Adalah kebiasaan Presiden AS, John F. Kennedy menerima tamu-tamu negara di lantai atas Gedung Putih. Tapi protokol itu tidak berlaku bagi Sukarno, Presiden Republik Indonesia. Dan itu dinyatakan langsung kepada protokol Gedung Putih, “Kennedy mesti turun. Sambut saya di bawah. Kalau tidak, saya tidak akan datang.” Entah bagaimana si petugas protokol itu menyampaikannya ke Kennedy. Tetapi yang jelas, ketika Bung Karno datang ke Gedung Putih, Kennedy turun ke ke lantai bawah, dan menyambutnya dengan ramah. Setelah ritual pertemuan dua kepala negara sekadarnya, barulah keduanya bersama-sama menaiki tangga ke atas, diiringi para staf kedua petinggi negara tadi.
Bukan hanya itu. Bung Karno bahkan diberi kesempatan berpidato di Gabungan Kongres dan Senat Amerika Serikat. Ini sangat jarang terjadi, Kepala Negara disambut di Amerika Serikat dengan Sidang Gabungan Kongres dan Senat.


mundur sedikit ke belakang, ke saat di mana Bung Karno tiba di Gedung Putih, disambut Kennedy di bawah. Ketika itu, Kennedy sempat memperkenalkan para staf yang mendampinginya. Salah satunya adalah Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Charles Wilson, nama lengkapnya Charless Nesbitt Wilson. Politisi kelahiran Texas tahun 1 Juni 1933, alias satu zodiak dengan Bung Karno.

Ketika diperkenalkan, Wilson yang berperawakan gagah dan berwajah macho, maju hendak menyalami Presiden Sukarno. Saat itulah muncul spontanitas humor diplomasi yang sungguh luar biasa dari seorang Sukarno, presiden negara berkembang yang belum lama lepas dari penjajahan Belanda.
Kepada Wilson, Bung Karno tidak sekadar mengulurkan tangan untuk bersalaman. Lebih dari itu, Bung Karno dalam bahasa Inggris yang fasih berkata, “Kombinasi baju dan dasi Tuan tidak bagus,” berkata begitu sambil Bung Karno membetulkan ikatan dasi yang kelihatan miring. Selesai merapikan dasi Menhan Amerika Serikat, Bung Karno melanjutkan ucapannya, “Tuan boleh punya bom atom, tapi kami punya seni yang tinggi.”
Bayangkan, mental siapa yang tidak koyak. Apalagi Bung Karno melakukan semua gerakan dan ucapan tadi dengan sangat penuh percaya diri, disaksikan begitu banyak orang. Dari hal-hal kecil seperti itulah, dignity, harga diri kita sebagai bangsa dibangun oleh Bung Karno, sehingga Indonesia tidak dipandang sebelah mata.


Kisah Bung Karno Menaklukkan Empat Noni Belanda

“Bung Karno sang penakluk”. Itulah judul alternatif tulisan ini. Atau… sempat pula kutulis judul yang agak provokatif: “Bule-bule Pacar Bung Karno”. Tapi akhirnya, kuputuskan judul yang sekarang, “Kisah Bung Karno Menaklukkan Empat Noni Belanda”. Sekalipun ini urusan cinta, tapi kata “menaklukkan” terkesan lebih heroik. Kesan yang melekat secara otomatis ketika kita menyebut namanya.

Ini adalah sepenggal pengalaman hidup proklamator kita saat ia duduk di bangku HBS (Hogere Burger School), sebuah sekolah lanjutan tingkat menengah pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. HBS setara dengan MULO + AMS atau SMP + SMA, namun hanya 5 tahun. Di HBS Surabaya, ketika itu, dari lebih 100 murid, hanya 20 orang saja yang pribumi. Pada waktu itu HBS hanya ada di kota Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, dan Medan, sedangkan AMS ada di kota Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, dan Surabaya. Begitu sekelumit tentang HBS.

Nah… sebagai pemuda, Bung Karno dalam penuturannya kepada Cindy Adams, penulis biografinya, menuturkan ihwal semangatnya yang membara untuk bisa menaklukkan noni-noni Belanda, agar bisa menjadi pacarnya. Bukan saja karena rasa penasarannya sebagai laki-laki menaklukkan gadis bangsa penjajah… lebih dari itu, ia punya tujuan lain, yakni agar cepat mahir berbahasa Belanda.
Sebagai pemuda yang mengaku tampan selagi muda, Bung Karno penuh percaya diri “mengejar” gadis-gadis kulit putih. Dengan kepandaian otaknya, dengan penampilannya yang percaya diri, serta dengan tampangnya yang tampan, singkat kata Sukarno muda mulai mendapatkan gadis-gadis putih idamannya. Ia mencatat, gadis bule HBS pertama yang jadi kekasihnya bernama Pauline Gobee, anak salah seorang gurunya di HBS. Pauline dikisahkan sebagai seorang gadis yang cantik, dan Sukarno tergila-gila kepadanya.
Kemudian, cinta Sukarno beralih ke gadis putih lain bernama Laura. Ooo… betapa Sukarno juga memuja Laura. Tapi tak berlangsung lama. Perburuan cinta Sukarno, berhasil menangkap seorang kekasih bule yang nomor tiga. Mungkin Sukarno tidak benar-benar mencintai. Buktinya, ia sendiri lupa akan namanya. Yang ia ingat, gadis itu dari keluarga Raat, seorang Indo yang punya beberapa putri cantik. Yang juga ia ingat, rumah keluarga Raat adalah berlawanan arah dengan rumah yang ditinggali Sukarno. Sekalipun begitu, selama berbulan-bulan pacaran, Bung Karno rela tiap hari jalan berputar arah hanya untuk gadis pujaannya.
Nah, tambatan hati keempat adalah seorang noni Belanda nan cantik. Sukarno ingat betul namanya: Mien Hessels. Seketika, Mien Hessels mampu menutup lembaran-lembaran indah Sukarno muda bersama Pauline, Laura dan juga putri keluarga Raat. Mien Hessels telah menyihir Sukarno menjadi gelap mata. Sukarno memuja Mien Hessels sebagai “kembang tulip berambut kuning berpipi merah mawar”. Kulitnya halus selembut kapas. Rambut blondenya ikal mayang. Pribadinya memesona. Sukarno bahkan merasa rela mati untuk mendapatkan gadis pujaannya. Usia Sukarno 18 tahun, ketika itu.
Dan… Sukarno benar-benar nekad. Suatu hari, ia menetapkan hati melamar Mien Hessels. Mengenakan busana terbaik, bersepatu pula, Sukarno duduk di kamar, melemaskan lidah, menghafal kata, melatih bicara: Melamar Mien Hessels menjadi istrinya!
Sore yang cerah, Sukarno menuju rumah Mien Hessels. Begitu memasuki halaman rumahnya, hatinya menggigil ketakutan. Belum pernah sekali pun Sukarno bertamu ke rumah orang Belanda yang mewah. Halamannya ditumbuhi rerumputan laksana hamparan beludru hijau. Kembang-kembang aneka warna berdiri tegak baris demi baris. Sementara, Sukarno tak punya topi untuk dipegang. Karenanya, ia hanya memegang hati, agar tak gugup nanti.
Di hadapan seorang laki-laki tinggi besar, ayah kekasih hatinya, Bung Karno melepas kata, “Tuan… kalau Tuan tidak keberatan, saya ingin minta anak tuan….” Belum selesai Sukarno muda bicara, ayah Hessels melabraknya, “Kamu?! Inlander kotor seperti kamu? Kenapa kamu berani-berani mendekati anakku?! Keluar kamu binatang kotor. Keluar!!!”
Persis adegan sinetron konyol… Sukarno angkat kaki dengan perasaan seperti dicambuk, muka dicoreng, hati terhina. Peristiwa itu, melekat sepanjang hayat.
Tuhan sungguh mencintai Sukarno. Waktu trus berlalu… 23 tahun sejak peristiwa menyedihkan itu terjadi, tepatnya tahun 1942. Perang Dunia II tengah berkecamuk. Sukarno sendiri sudah menjelma menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan bagi bangsanya. Suatu sore, ketika sedang berjalan-jalan di suatu jalanan di Jakarta, ia mendengar seorang wanita menyebut namanya, “Sukarno?” Berpalinglah Sukarno ke arah pemanggil seraya menjawab, “Ya, saya Sukarno.”
Wanita itu tertawa terkikik-kikik, “Dapat kau menerka siapa saya?” Sukarno memandangi wanita berbadan besar, jelek, tak terpelihara. “Tidak, Nyonya… saya tidak dapat menerka, siapakah Nyonya?” Wanita itu kembali tertawa terkikik-kikik sebelum menjawab, “Mien Hessels!” dia terkikik lagi.
Hati Sukarno menyeru, “Huhhh!!! Mien Hessels! Putriku yang cantik seperti bidadari, kini sudah berubah menjadi perempuan mirip tukang sihir, buruk dan kotor….” Sadar ia melamun, buru-buru Sukarno memberi salam kepada mantan kekasihnya di Surabaya dulu. Setelah itu, ia berpamit untuk berlalu.
Sejurus kemudian, ketika mengenang pertemuannya dengan Mien Hessels, Bung Karno mendesiskan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Penyayang. Hati kecilnya berucap, “Caci maki yang telah dilontarkan ayahnya dulu, sesungguhnya suatu rahmat yang tersembunyi….














Di Balik “Perpecahan” Sukarno – Hatta




Baiklah. Kita sepakati saja, mundurnya Mohammad Hatta alias Bung Hatta dari jabatan Wakil Presiden 1 Desember 1956, adalah sebuah antiklimaks bagi keagungan “dwitunggal” Sukarno – Hatta. Menelisik perbedaan pendapat antarkeduanya, adalah sebuah telaah sejarah politik yang sungguh menarik dan tak berkesudahan.

Akan tetapi, mendudukkan keduanya dalam dua kursi terpisah, tidak terlalu pas. Apalagi jika kursi itu digambarkan sebagai beradu punggung. Setali tiga uang, menyamakan perpecahan Bung Karno dan Bung Hatta seperti pecahnya Presiden-Wapres KH Abdurrahman Wahid – Megawati Soekarnopotri, dan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla, juga tidak benar.
Sebelum dwitunggal pecah, maupun setelah dwitunggal pecah, rakyat Indonesia tetap mencintai Bung Karno… sama besarnya cinta rakyat kepada Bung Hatta. Demikian pula kecintaan Bung Karno dan Bung Hatta kepada rakyat. Perbedaan pandangan politik keduanya, berhenti pada tataran perbedaan pandangan yang sama sekali tidak membunuh keintiman batin keduanya.
Manusia Sukarno dan manusia Hatta, tetap menjalin hubungan batin yang tulus. Keduanya saling menolong bila salah satu memerlukannya. Keduanya tetap saling bertemu, keakraban hubungan keduanya tetap terjalin. Seperti contoh, tahun 60-an, sewaktu Bung Karno mendengar bahwa Bung Hatta sakit, BK segera datang menjenguknya. Tidak hanya itu, ia segera membantu agar secepatnya Bung Hatta dapat segera berobat ke luar negeri.

Begitu pula ketika Bung Karno tergolek sakit. Ucapan semoga lekas sembuh serta iringan doa tulus Hatta ditujukan bagi Bung Karno sahabatnya. Bahkan, Bung Hatta-lah yang mewakili Bung Karno menjadi wali dalam pernikahan Guntur Sukarnoputra tahun 1968, sewaktu Bung Karno kritis dan berhalangan menghadiri akad nikah putra pertamanya. Bahkan, ketika Bung Hatta berkunjung ke Amerika dan mendapati Bung Karno diberondong cemooh dan hinaan, Bung Hatta tegas menukas, “Baik buruknya Bung Karno, beliau adalah Presiden saya!”

Keduanya sungguh teladan bagi bangsa ini. Dengan tegar mereka saling mengkritik dan menghantam sikap atau pandangan pihak lain yang dianggap tidak benar. Sebaliknya, keduanya akan saling menghargai dan mengakui dengan jujur kebenaran pihak lain yang menurutnya dianggap benar. Dan di atas semua itu, sejatinya, di dalam diri Bung Karno dan Bung Hatta tidak sedebu kuku pun tersimpan noda permusuhan.
Keduanya gigih mempertahankan dan memperjuangkan pendiriannya, namun tetap manusiawi dalam melaksanakan hidup serta tetap berhubungan satu sama lain. Sejatinya, merekalah DWITUNGGAL INDONESIA, dan satu-satunya DWITUNGGAL NEGERI INI.











Ciuman Pertama Bung Karno

Kapan pertama kali Anda merasakan getaran cinta? Atau dalam kalimat yang lebih sederhana, kapan Anda pertama kali merasakan tertarik kepada lawan jenis? Kalau pertanyaan itu dilontarkan kepada Bung Karno, ia akan menjawab, “Usia empat belas, saat masih duduk di kelas lima Indlandsce School atau Sekolah Dasar Bumiputera di Mojokerto, Jawa Timur.” Benar. Umur 14 tahun untuk pertama kali Bung Karno merasakan getar-getar cinta. Siapa gadis yang telah menggetarkan hati Sukarno remaja? Dia adalah gadis bule bangsa Belanda bernama Rika Meelhuysen. Soal keberanian “nembak” gadis, Bung Karno memang sudah berbakat sejak muda. Daya tarik Bung Karno di mata lawan jenis, juga sudah tampak sejak muda. Karenanya, cinta pertama Bung Karno kepada Rika Meelhuysen bukanlah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Cinta Bung Karno adalah cinta yang berbalas.

Gaya “pe-de-ka-te” Bung Karno memang galant. Ia tak segan membawakan buku-buku Rika. Di tengah rutinitas bermain, Bung Karno acap menyempatkan diri melintas di depan rumah Rika, hanya dengan satu harapan, ia bisa memandang pujaan hati, meski sekilas….
Dan, Rika-lah gadis pertama yang mendapat ciuman Bung Karno. Ciuman penuh cinta. Menggambarkan peristiwa itu, Bung Karno dalam buku biografi yang ditulis Cindy Adams mengatakan, “Aku sangat gugup waktu itu.” Tapi dalam kalimat berikutnya, ia menceritakan bahwa pada ciuman-ciuman selanjutnya, ia menjadi lebih ahli….









Bima, Nama Samaran Bung Karno


Sejak masih belia, usia 15-an tahun, Sukarno sudah digembleng dalam kawah candradimukanya nasionalisme. Dalam usia yang masih “ijo”, Sukarno sudah dimasak di dapurnya nasionalisme. Ya… H.O.S. Cokroaminoto menempa Sukarno dengan wawasan nasionalisme, wawasan cinta tanah air. Cokro pula yang membukakan matanya ihwal kemelaratan rakyat. Cokro pula yang membuka hati dan otaknya untuk bisa melihat secara jernih kehidupan bangsa yang sudah dijajah Belanda ratusan tahun….
Benih-benih nasionalisme yang disemai Cokroaminoto, tumbuh menjadi sebuah jiwa memberontak pada diri Sukarno. Bibit-bibit nasionalisme, telah memunculkan maha kehendak di dada Sukarno untuk memerdekakan bangsanya. Spirit nasionalisme, menjiwai langkah-langkah Sukarno di hari-hari selanjutnya.
Ini terbukti dengan langkah Sukarno, yang –lagi-lagi harus ditegaskan di sini– dalam usia sekitar 15 tahun sudah terlibat aktif dalam organisasi kepemudaan bernama Tri Koro Darmo yang berarti Tiga Tujuan Mulia, yaitu Sakti, Budi, dan Bakti. Organisasi ini yang kemudian menjadi Jong Java pada tahun 1918. Sukarno muda tercatat pernah menjadi Sekretaris Jong Java, dan tak kala kemudian menjadi Ketua.
Tidak hanya aktif berorganisasi, Bung Karno juga mulai menuangkan pikiran-pikirannya yang revolusioner dalam bentuk tulisan. Selanjutnya, ia mengirimkan tulisan-tulisan itu ke redaksi majalah Oetoesan Hindia yang tak lain adalah milik Cokroaminoto sendiri Majalah itu diterbitkan Cokro sebagai alat propaganda partai Sarekat Islam yang dipimpinnya.
Nah, dalam semua tulisannya, Sukarno menggunakan nama samaran Bima. Nama Bima diambil dari tokoh pewayangan ephos Mahabharata. Bima adalah putra kedua Pandu Dewanata. Dalam dunia wayang, Bima atau Wrekodara adalah penegak Pandawa. Kakaknya, Yudistira, sedangkan tiga adiknya adalah Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Bima adalah sosok kesatria pemberani, prajurit besar sekaligus seorang pahlawan.
Dalam biografinya, Bung Karn menyebutkan, tak kurang dari 500 artikel yang ia tulis dan diterbitkan di majalah Oetoesan Hindia dengan nama samaran Bima. Tulisan-tulisan Bima cukup menggemparkan kalangan rakyat pro kemerdekaan. Tulisan-tulisan Bima menjadi perbincangan di seluruh pelosok negeri, utamanya Jawa, dan lebih spesifik, Jawa Timur. Itu karena Bima dalam setiap tulisannya, mengangkat realita kehidupan rakyat yang terjajah di satu sisi, dan kerakusan pemerintah Hindia Belanda di sisi lain dalam menguras sumber daya alam, tanpa sedikit pun menyisakan bagi kesejahteraan rakyat, pewaris negeri yang sah.
Ayah-ibunya, Raden Sukemi dan Idayu, pun turut memperbincangkan tulisan-tulisan Bima. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak mengira, bahwa Bima sang penulis, tak lain adalah putra kesayangan yang mereka idam-idamkan menjadi pemimpin kelak.
Bung Karno sendiri sadar, muncul pada usia dini dengan pemikiran-pemikiran radikal, hanya akan memupus kesempatannya menimba ilmu lebih lanjut. Sebab, pemerintahan penjajah Hindia Belanda tidak akan segan-segan mengerangkeng bahkan membunuh inlander siapa pun yang menebarkan benih-benih kebencian terhadap pemerintahan kolonial.














Hari-hari Terakhir Bung Karno (Part 1)




Bung Karno, di akhir hayatnya sangat nista. Ia dinista oleh penguasa ketika itu. Ia sakit, dan tidak mendapat perawatan yang semestinya bagi seorang Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia sekaligus tokoh pemersatu bangsa. Bahkan untuk sekadar bisa menghirup udara Jakarta (dari pengasingannya di Bogor), ia harus menulis surat dengan sangat memelas kepada Soeharto. Mengenang hari-hari terakhir Bung Karno, sengaja menukil kisah sedih yang dipaparkan Reni Nuryanti dalam bukunya Tragedi Sukarno, Dari Kudeta Sampai Kematiannya. Harapannya, kita semua bisa berkaca dari sejarah. Detail kisah mengharu biru, dari praktik-praktik biadab aparat militer ketika itu kepada Bung Karno selama hidup dalam “kerangkeng” Orde Baru di Wisma Yaso, cepat atau lambat akan terbabar.
Hari-hari terakhir Bung Karno ini, saya penggal mulai dari peristiwa tanggal 16 Juni 1970 ketika Bung Karno dibawa ke RSPAD (Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto). Ia dibawa pukul 20.15, harinya Selasa. Ada banyak versi mengenai peristiwa ini. Di antaranya ada yang menyebutkan, Sukarno dibawa paksa dengan tandu ke rumah sakit.


Hal itu ditegaskan oleh Dewi Sukarno yang mengkonfirmasi alasan militer, bahwa Bung Karno dibawa ke RS karena koma. Dewi mendapat keterangan yang bertolak belakang. Waktu itu, tentara datang membawa tandu dan memaksa Bung Karno masuk tandu. Tentara tidak menghiraukan penolakan Bung Karno, dan tetap memaksanya masuk tandu dengan sangat kasar. Sama kasarnya ketika tentara mendorong masuk tubuh Bung Karno yang sakit-sakitan ke dalam mobil berpengawal, usai menghadiri pernikahan Guntur. Bahkan ketika tangannya hendak melambai ke khalayak, tentara menariknya dengan kasar.
Adalah Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang paling intens mendampingi bapaknya di saat-saat akhir. Demi mendengar bapaknya dibawa ke RSPAD, ia pun bergegas ke rumah sakit. Betapa murka hati Rachma melihat tentara berjaga-jaga sangat ketat. Hati Rachma mengumpat, dalam kondisi ayahandanya yang begitu parah, toh masih dijaga ketat seperti pelarian. “Apakah bapak begitu berbahaya, sehingga harus terus-menerus dijaga?” demikian hatinya berontak.
Dalam suasana tegang, tampak Bung Karno tergolek lemah di sebuah ruang ujung becat kelabu. Tak ada keterangan ruang ICU atau darurat sebagaimana mestinya perlakuan terhadap pasien yang koma. Tampak jarum infus menempel di tangannya, serta kedok asam untuk membantu pernapasannya.
Untuk menggambarkan kondisi Sukarno ketika itu, simak kutipan saksi mata Imam Brotoseno, “Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa –dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar kemana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas.











Hari-hari Terakhir Bung Karno (Part 2)





Hari kedua, 17 Juni 1970, Sukarno tampak lebih baik dari hari sebelumnya. Tapi, ia tidak mau makan. Bahkan, obat-obatan yang diberikan dokter pun enggan meminumnya. Setiap kali dokter hendak memberi suntikan pun, Bung Karno selalu menolak. Rachmawati menerka, Bung Karno mengetahui bahwa semua pengobatan selama ini hanya untuk memperlemah dirinya. Dalam kacamata politik, pengobatan dengan misi pembunuhan. Karenanya, kondisi Sukarno makin lemah dari hari ke hari. Hingga saat itu Rachma berani bertanya kepada tim dokter yang merawat, dalam hal ini ia bertanya kepada Ketua Tim Dokter yang merawat Bung Karno, yakni Prof Mahar Mardjono, “Mengapa sakit komplikasi yang diderita bapak dibiarkan begitu saja. Mengapa tidak dilakukan cuci darah?” Mahar hanya menjawab sambil lalu, sehingga Rachma berkesimpulan, dokter-dokter itu tidak benar-benar merawat Sang Proklamator Bangsa. Bahkan, para dokter tampak tak punya rasa iba sedikit pun.
Lebih sakit hati Rachma ketika dr Mahar mengatakan, “Alat itu sedang dipesan dari Inggris, dan belum tentu ada. Kalaupun ada, kapan datangnya, tidak tahu.” Keterangan Mahar ini, di kemudian hari dibenarkan anggota dokter lain, “Sebenarnya sudah lama, tim dokter telah mengusulkan agar alat itu dibeli. Tapi alat itu tak kunjung datang meski pembeliannya kabarnya telah dijajaki di Singapura dan Inggris.” Dan akhirnya, anggota tim dokter itu menambahkan, “jangan-jangan memang sengaja tidak dibeli….”
Dalam keterangan lain, situasi saat itu memang membuat tim dokter yang dipimpin Mahar Mardjono tak berdaya. Ada kekuatan besar yang bisa mengancam nyawa mereka seandainya mereka bekerja di luar kendali penguasa. Karenanya dalam suatu kesaksian terungkap, saat kondisi Bung Karno kritis, Prof dr Mahar Mardjono sempat menuliskan resep khusus, namun obat yang diresepkannya itu disimpan saja di laci oleh dokter yang berpangkat tinggi. Mahar mengemukakan hal itu kepada rekannya, dr Kartono Mohammad.

Kesaksian datang dari saksi lain yang juga mantan pejabat di era Sukarno. Menurutnya, adalah fakta bahwa Sukarno ditelantarkan oleh Soeharto pada waktu sakit. Saksi yang juga seorang purnawirawan tinggi militer itu juga mengungkapkan, perlakuan yang seragam terhadap Sukarno berasal dari sebuah instruksi, “Yang memberi instruksi adalah Soeharto,” katanya.














Hari-hari Terakhir Bung Karno (Part 3)




Semua detik yang berdetak, semua menit yang lewat, semua jam yang bergulir, semua angin yang berembus… adalah duka sepanjang hari. Satu hari bernama tanggal 18, mungkin hanya bermakna 24 jam. Satu hari berikutnya yang bernama tanggal 19 Juni 1970, adalah bilangan 1440 menit, 86.400 detik. Tapi semua itu adalah tusukan duri bagi Sukarno yang tengah tergolek lemah. Sedangkan tanggal 20 Juni, tercatat sebagai simbol dwitunggal yang terpatri abadi. Sejarahlah yang berkuasa pada hari itu. Bung Hatta, datang menjenguk sahabat seperjuangan. Sementara, Bung Karno, seperti diberi kekuatan untuk menyaksikan kedatangan Sang Hatta. Maka, terjadilah pertemuan yang mengharu-biru, seperti dikisahkan Meutia Hatta dalam bukunya: Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan.
Berkata lirih Sukarno kepada Hatta, “Hatta… kau di sini….?
Seperti diiris-iris hati Hatta melihat sahabatnya tergolek tanpa daya. Demi memompa semangat kepada sahabat, wajah teduh Bung Hatta menampakkan raut yang direkayasa, “Ya… bagaimana keadaanmu, No?” begitu Hatta membalas sapaan lemah Karno, dengan panggilan akrab yang ia ucapkan di awal-awal perjuangan. Hatta memegang lembut tangan Bung Karno. Bung Karno melanjutkan sapaan lemahnya, “Hoe at het met jou…” (Bagaimana keadaanmu?)
Hatta benar-benar tak kuasa lagi merekayasa raut teduh. Hatta benar-benar tak kuasa menahan derasnya arus kesedihan demi mendengar sahabatnya menyapanya dalam bahasa Belanda, yang mengingatkannya pada masa-masa penuh nostalgi. Apalagi, usai berkata-kata lemah, Sukarno menangis terisak-isak. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya. Seketika, Hatta pun tak kuasa membendung air mata. Kedua sahabat yang lama berpisah, saling berpegang tangan seolah takut terpisah. Keduanya bertangis-tangisan.
“No….”
Hanya kata itu yang sanggup Hatta ucapkan, sebelum akhirnya meledak tangis yang sungguh memilukan. Bibirnya bergetar menahan kesedihan, sekaligus kekecewaan. Bahunya terguncang-guncang karena ledakan emosi yang menyesakkan dada, yang mengalirkan air mata. Keduanya tetap berpegangan tangan. Bahkan, sejurus kemudian Bung Karno minta dipasangkan kacamata, agar dapat melihat sahabatnya lebih jelas.
Selanjutnya, Bung Karno hanya diam. Mata keduanya bertatapan… mereka berbicara melalui bahasa mata. Sungguh, ada sejuta makna yang tertumpah pada sore hari yang bersejarah itu. Selanjutnya, Bung Karno hanya diam. Diam, seolah pasrah menunggu datangnya malaikat penjemput, guna mengantarnya ke swarga loka, terbang bersama cita-cita yang kandas di tangan bangsanya sendiri.














Hari-hari Terakhir Bung Karno (Part Terakhir)



Siapa yang tak murka, demi mengetahui bahwa selama kurang lebih 1,5 tahun “dikerangkeng” di Wisma Yaso, Bung Karno, mantan Presiden Republik Indonesia, tokoh pemersatu dan proklamator bangsa, ternyata hanya diserahkan perawatannya secara penuh kepada dr Soeroyo. Siapakah dokter Soeroyo? Dia bukanlah dokter spesialis, melainkan dokter hewan! Ia masuk-keluar Wisma Yaso dengan perawat-perawat yang tidak jelas didatangkan dari mana. Bahkan obat-obatan yang dicekokkan ke Bung Karno pun sama sekali tidak tepat. Ia hanya memberinya duvadilin (mencegah kontraksi ginjal), metadone (penghilang rasa sakit), royal jeli, suntikan vitamin B1 dan B12, serta testoteron. Selain itu, Sukarno tiap malam juga minum valium.
Tiap malam minum valium selama tahunan, tentu saja membuat tidurnya tak lagi terkontrol. Akibatnya Sukarno mulai sering merasakan pusing. Setiap itu pula, perawat memberinya obat pengurang rasa sakit, novalgin.
Perawatan yang sembrono juga sering terjadi, ketika Bung Karno terbangun tengah malam dan muntah darah, dokter Soeroyo hanya memberinya vitamin. Sementara, dokter Mahar Mardjono yang disebut-sebut sebagai ketua tim, sama sekali tidak pernah hadir ke Wisma Yaso. Itu semua terungkap dalam dokumen yang lebih 27 tahun tersimpan oleh Siti Khadijah, yang tak lain adalah istri dokter Soeroyo. Benar adanya, bahwa sejarah pada akhirnya akan mengalir menemukan jalan kebenarannya sendiri. Benar pula, bahwa ada kecenderungan yang seolah tersusun rapi, tentang “pembunuhan” terhadap Sukarno.
Tidak banyak cerita, tanggal 21 Juni 1970, pukul 07.00 WIB, Bung Karno menghembuskan nafas terakhirnya. Adalah dr Mahar Mardjono, satu-satunya orang yang menyaksikan “kepergian” Putra Sang Fajar. Keterangan yang ia kemukakan, “Pada hari Minggu, 21 Juni 1970, pukul 04.00 pagi, Bung Karno dalam keadaan koma. Saya dan dokter Sukaman terus berada di sampingnya. Menjelang pukul 07.00 pagi, dr Sukaman sebentar meninggalkan ruangan rawat. Saya sendiri berada di ruang rawat bersama Bung Karno. Bung Karno berbaring setengah duduk, tiba-tiba beliau membuka mata sedikit, memegang tangan saya, dan sesaat kemudian Bung Karno menghembuskan nafas yang terakhir.”
Tak lama berselang, keluarlah komunike medis:
1. Pada hari Sabtu tangal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir. Sukarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
2. Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir Sukarno dalam keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir Sukarno meninggal dunia.
3. Team dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Ir Sukarno hingga saat meninggalnya.
Komunike itu ditandatangai Ketua Prof Dr Mahar Mardjono, dan Wakil Ketua Meyjan Dr (TNI-AD) Rubiono Kertopati.
Sementara itu, Syamsu Hadi suami dari Ratna Juami, anak angkat Bung Karno dan Inggit Ganarsih yang melihat jenazah Bung Karno melukiskan dengan baik, “Wajah almarhum begitu tenang. Seperti orang tidur saja nampaknya. Mata tertutup baik. Alis tebal tidak berubah, sama seperti dulu.















Pesan Bung Karno tentang Pemilu



PEMILIHAN UMUM
Djangan mendjadi tempat pertempuran, perdjuangan kepartaian jang dapat memetjah persatuan bangsa INDONESIA.

Demikian bunyi salah satu poster Pesan Bung Karno kepada rakyat Indonesia tanpa kecuali dalam menghadapi Pemilu. Rakyat pemilih, maupun rakyat yang dipilih.
Bung Karno, satu-satunya Presiden Republik Indonesia yang secara konsisten berdiri di atas semua pihak. Saat ia terpilih menjadi Presiden, saat itu juga dia bukan lagi milik partai. PNI dan Partindo adalah dua partai yang pernah dibidani dan menjadi kendaraan politik Sukarno.
Akan tetapi, sebagai seorang Presiden, ia kemudian tidak lagi berpartai. Ia menaungi seluruh partai politik. Ia menjadi bapak bangsa. Ini yang tidak pernah ditiru oleh para penerusnya, baik Soeharto (Golkar), Habibie (Golkar), Gus Dur (PKB), Megawati (PDI-P), Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat). Mereka tidak pernah melepaskan diri dari partainya, karenanya, tidak ada satu presiden pun (setelah Bung Karno) yang benar-benar berdiri di atas semua golongan, menjadi pengayom bagi seluruh rakyatnya.













“Silent Mission” di Malaysia



Dibentuknya negara boneka Malaysia oleh Inggris, memang salah satu tujuannya adalah untuk mengerangkeng Indonesia, yang di bawah Bung Karno sudah berhasil menggalang kekuatan-kekuatan baru. Bahkan, siap mendirikan kekuatan blok baru bernama CONEFO (Conference of The New Emerging Forces) untuk menyaingi dua kekuatan blok yang sudah ada (Blok Uni Soviet dan Blok Amerika Serikat).
Pengobaran dua komando rakyat (Dwikora) tahun 1964 melibatkan banyak pejabat dan rakyat. Satu di antaranya adalah Oei Tjoe Tat yang ketika itu menjabat Menteri Negara Diperbantukan pada Presidium Kabinet Dwikora. Dalam suatu pertemuan di Istana, Jenderal Achmad Yani mendekati Oei Tjoe Tat dan berkata, “Kamu sebagai menteri keturunan Tionghoa nanti bisa bermanfaat dalam konfrontasi.”


Benar. Seperti halnya pejabat-pejabat yang lain, maka Oei Tjoe Tat pun mendapat perintah khusus dari Bung Karno dalam misi “Ganyang Malaysia”. Pesan Bung Karno kepada Oei, “Perang bukan hanya untuk dimenangkan di atas rumput hijau medan, juga di meja hijau rapat. Artinya, kamu saya tugaskan melakukan apa yang dinamakan silent mission.”
Oei Tjoe Tat mengemban tugas strategis. Karena dialah yang maju ke garis terdepan, menyusup ke wilayah musuh menjadi mata dan hidung Presiden Sukarno. Perintah Bung Karno diterimanya gamblang, “Kamu harus merasuk ke dalam dan makin ke dalam. Bekerja dengan semua pihak, golongan, yang kiranya bisa bermanfaat buat konfrontasi. Kamu bekrja dengan ultra merah, ultra putih, dengan komunis, sosialis, pengusaha, mahasiswa, nite-club, hostes, pelacur, profesor, tokoh-tokoh Kuomintang. Tengku Abdul Rahman, Lee Kuan Yew, Lee Siew Chow, Ketua Barisan Sosialis Singapura, dan sebagainya.”


Caranya?... Oei Tjoe Tat menyamar. Ia melakukan serangkaian perjalanan dengan berbagai macam profesi bulan Agustus 1964. Ia kadang menyamar menjadi pedagang, sukarelawan, pegawai bea cukai, apa saja…. Dalam seluruh rangkaian perjalanannya ke daerah perbatasan dan wilayah musuh, ia menyaksikan kita sudah siap perang. Sukarelawan tinggal menanti perintah. Bukan hanya itu, banyak di antara relawan itu yang merupakan warga Malaysia, Brunei, Singapura, yang tidak setuju terhadap pembentukan negara boneka Malaysia.
Meski kondisi mereka serba kekurangan, tegang setiap saat menanti perang, tetapi semua dalam semangat yang menyala-nyala. Oei Tjoe Tat bahkan mencatat seorang anggota KKO (Marinir) yang sudah putus kaki dan lengan tangannya karena terkena ranjau laut, menolak dipulangkan ke Jawa, dan tetap bertahan dan dalam semangat tempur yang tinggi.
Satu hal yang bisa dicatat adalah, tahun 1964, semangat nasionalisme rakyat Indonesia begitu berkobar-kobar. Kini, semangat itu terbukti belum pudar. Yang membedakan adalah, siapa pemimpinnya!













Balada Bung Karno dan Burung Nuri




Adalah kebiasaan Bung Karno untuk menerima rakyatnya di Istana. Ya… ketua adat, tokoh agama, sampai rakyat jelata. Sebaliknya, tidak sedikit rakyat dari berbagai penjuru Nusantara yang tak segan menembus jarak, menerobos kesusahan untuk sekadar bisa memberi sesuatu yang menurut mereka berharga. Tidak sedikit rakyat yang tinggal di pedalaman sebuah pulau, datang menemui presidennya, sekadar ingin memberikan sesuatu sebagai tanda cinta.
Ini kisah seorang warga Maluku. Tersebutlah seorang bapak diantar anaknya, datang dari Maluku ke Istana hendak menjumpai Bung Karno. Ia membawa persembahan berupa seekor burung nuri khas Maluku. Bukan sembarang nuri, karena yang dibawanya adalah seekor burung nuri raja yang begitu elok rupanya.
Bung Karno menemui tamunya dari Maluku dengan sangat ramah. Ditanya tentang keluarganya… ditanya bagaimana perjalanannya dari Maluku sampai Jakarta… ditanya situasi dan keadaan daerah tempat tinggalnya…. dan banyak pertanyaan lain yang tentu saja membuat si tamu dengan antusias bertutur, bercerita bangga. Bangga pula mendapat perhatian yang begitu personal dari presidennya.
Tak lupa, Bung Karno mempersilakan tamunya minum teh, dan makan kue-kue seperti biasa Bung Karno kalau menerima rakyatnya di beranda Istana yang teduh. Usai berbicara panjang, sampailah Bung Karno kepada burung nuri persembahan tamunya. “Jadi, Bapak menyerahkan burung ini kepada saya? Saya boleh berbuat apa saja kepada burung ini?
Dijawab antusias, “Ya pak. tentu saja terserah bapak, mau diapakan burung itu.” Bung Karno menimpali, “Nah, kalau begitu, ikutlah saya…” Bung Karno diikuti pengawal, mengajak tamunya menuruni tangga istana, berjalan menuju bibir taman yang hijau. “Coba buka sangkar itu, dan lepaskanlah burung yang indah itu,” kata Bung Karno kepada pengawalnya. Tanpa bertanya lebih lanjut, si pengawal itu melepas burung nuri raja itu. Burung itu pun terbang riang dan hinggap di dahan yang rindang.
Berkatalah Bung Karno kepada tamunya, “Pak, burung itu akan lebih senang kalau bisa terbang bebas, bisa terbang kemana-mana. Biarkanlah ia merdeka, seperti kita pun ingin merdeka selama-lamanya.”
Begitulah Bung Karno. Dia sangat tidak senang melihat burung di dalam sangkar. Ia bahkan melarang staf dan pegawai Istana memelihara burung di dalam sangkar. Karenanya, tidak ada satu pun burung dalam sangkar terpajang di Istana Jakarta, Bogor, Yogyakarta, maupun Bali. Bung Karno senang sekali melihat burung-burung beterbangan, hinggap di dahan dan berkicau dengan riang.



Pidato Terbaik Sukarno : Tentang Imajinasi dan Fantasi Besar
This image has been resized. Click this bar to view the full image. The original image is sized 550x372.


"Mereka mengerti bahwa kita - atau mereka - djikalau ingin mendjadi satu bangsa jang besar, ingin mendjadi bangsa jang mempunjai kehendak untuk bekerdja, perlu pula mempunjai "imagination",: "imagination" hebat, Saudara-saudara!!!"



Inilah pidato Bung Karno
di Semarang 29 Juli 1956 yang spektakuler itu.
Di pidato penting ini Bung Karno menekankan bagaimana cara, supaya Indonesia menjadi bangsa yang berpikir besar, punya impian-impian dan fantasi besar, tidak kalah dari Amerika. Wajarlah bila Bung Karno begitu dikagumi oleh bangsa Indonesia bahkan seluruh dunia. Selamat membaca.


"Saudara-saudara,
Djuga sadja pernah tjeritakan dinegara-negara Barat itu hal artinja manusia, hal artinja massa, massa.

Bahwa dunia ini dihidupi oleh manusia. Bahwa manusia didunia ini, Saudara-saudara, "basically" - pada dasar dan hakekatnja - adalah sama; tidak beda satu sama lain. Dan oleh karena itu manusia inilah jang harus diperhatikan. Bahwa massa inilah achirnja penentu sedjarah, "The Makers of History". Bahwa massa inilah jang tak boleh diabaikan ~ dan bukan sadja massa jang hidup di Amerika, atau Canada, atau Italia, atau Djerman, atau Swiss, tetapi massa diseluruh dunia.

Sebagai tadi saja katakan: Bahwa "World Prosperity", "World Emancipation", "World Peace", jaitu kekajaan, kesedjahteraan haruslah kekajaan dunia : bahwa emansipasi adalah harus emansipasi dunia; bahwa persaudaraan haruslah persaudaraan dunia ; bahwa perdamaian haruslah perdamaian dunia ; bahwa damai adalah harus perdamaian dunia, berdasarkan atas kekuatan massa ini.

Itu saja gambarkan, saja gambarkan dengan seterang-terangnja. Saja datang di Amerika,- terutama sekali di Amerika - Djerman dan lain-lain dengan membawa rombongan. Rombongan inipun selalu saja katakan : Lihat, lihat , lihat, lihat!! Aku jang diberi kewadjiban dan tugas untuk begini : Lihat, lihat, lihat!! - Aku membuat pidato-pidato, aku membuat press-interview, aku memberi penerangan-penerangan; aku jang berbuat, "Ini lho, ini lho Indonesia, ini lho Asia, ini lho Afrika!!"

Saudara-saudara dan rombongan : Buka mata, Buka mata! Buka otak! Buka telinga!

Perhatikan, perhatikan keadaan! Perhatikan keadaan dan sedapat mungkin tjarilah peladjaran dari pada hal hal ini semuanja, agar supaja saudara saudara dapat mempergunakan itu dalam pekerdjaan raksasa kita membangun Negara dan Tanah Air.

Apa jang mereka perhatikan, Saudara-saudara? Jang mereka harus perhatikan, bahwa di negara-negara itu - terutama sekali di Amerika Serikat - apa jang saja katakan tempoh hari disini " Hollandsdenken " tidak ada.

"Hollands denken" itu apa? Saja bertanja kepada seorang Amerika. Apa "Hollands denken" artinja, berpikir secara Belanda itu apa? Djawabnja tepat Saudara-saudara "That is thinking penny-wise, proud, and foolish", katanja.

"Thinking penny-wise, proud and foolish". Amerika, orang Amerika berkata ini, "Thinking penny-wise" artinja Hitung……..satu sen……..satu sen……..lha ini nanti bisa djadi dua senapa `ndak?........ satu sen……..satu sen……… "Thinking penny-wise"………"Proud" : congkak, congkak, "Foolish" : bodoh.

Oleh karena akhirnja merugikan dia punja diri sendirilah, kita itu, Saudara-saudara, 350 tahun dicekoki dengan "Hollands denken" itu. Saudara-saudara, kita 350 tahun ikut-ikut, lantas mendjadi orang jang berpikir "penny-wise, proud and foolish".

Jang tidak mempunjai "imagination", tidak mempunjai konsepsi-konsepsi besar, tidak mempunjai keberanian - Padahal jang kita lihat di negara-negara lain itu, Saudara-saudara, bangsa bangsa jang mempunjai "imagination", mempunjai fantasi-fantasi besar: mempunjai keberanian ; mempunjai kesediaan menghadapi risiko ; mempunjai dinamika.



George Washington Monument misalnja,
tugu nasional Washington di Washington, Saudara-saudara : Masja Allah!!! Itu bukan bikinan tahun ini ; dibikin sudah abad jang lalu, Saudara-saudara. Tingginja! Besarnja! Saja kagum arsiteknja jang mempunjai "imagination" itu, Saudara-saudara.

Bangsa jang tidak mempunjai : imagination" tidak bisa membikin Washington Monument. Bangsa jang tidak mempunjai "imagination"………ja, bikin tugu, ja "rongdepo", Saudara-saudara. Tugu "rong depo" katanja sudah tinggi, sudah hebat.

"Pennj-wise" tidak ada, Saudara-saudara. Mereka mengerti bahwa kita - atau mereka - djikalau ingin mendjadi satu bangsa jang besar, ingin mendjadi bangsa jang mempunjai kehendak untuk bekerdja, perlu pula mempunjai "imagination",: "imagination" hebat, Saudara-saudara.

Perlu djembatan? Ja, bikin djembatan……tetapi djangan djembatan jang selalu tiap tiap sepuluh meter dengan tjagak, Saudara-saudara, Ja , umpamanja kita di sungai Musi…….Tiga hari jang lalu saja ini ditempatnja itu lho Gubernur Sumatera Selatan - Pak Winarno di Palembang - Pak Winarno, hampir hampir saja kata dengan sombong, menundjukkan kepada saja "ini lho Pak! Djembatan ini sedang dibikin, djembatan jang melintasi Sungai Musi" - Saja diam sadja -"Sungai Ogan" - Saja diam sadja, sebab saja hitung-hitung tjagaknja itu. Lha wong bikin djembatan di Sungai Ogan sadja kok tjagak-tjagakan !!

Kalau bangsa dengan "imagination" zonder tjagak, Saudara-saudara !!

Tapi sini beton, tapi situ beton !! Satu djembatan, asal kapal besar bisa berlalu dibawah djembatan itu !! Dan saja melihat di San Fransisco misalnja, djembatan jang demikian itu ; djembatan jang pandjangnja empat kilometer, Saudara-saudara ; jang hanja beberapa tjagak sadja.

Satu djembatan jang tinggi dari permukaan air hingga limapuluhmeter; jang kapal jang terbesar bisa berlajar dibawah djembatan itu. Saja melihat di Annapolis, Saudara-saudara, satu djembatan jang lima kilometer lebih pandjangnja, "imagination", "imagination" "imagination"!!! Tjiptaan besar!!!


Kita jang dahulu bisa mentjiptakan tjandi-tjandi besar seperti Borobudur, dan Prambanan, terbuat dari batu jang sampai sekarang belum hancur ; kita telah mendjadi satu bangsa jang kecil djiwanja, Saudara-saudara!! Satu bangsa jang sedang ditjandra-tjengkalakan didalam tjandra-tjengkala djatuhnja Madjapahit, sirna ilang kertaning bumi!! Kertaning bumi hilang, sudah sirna sama sekali. Mendjadi satu bangsa jang kecil, satu bangsa tugu "rong depa".


------------------------------------------

Saja tidak berkata berkata bahwa Grand Canyon tidak tjantik. Tapi saja berkata : Tiga danau di Flores lebih tjantik daripada Grand Canyon. Kita ini, Saudara-saudara, bahan tjukup : bahan ketjantikan, bahan kekajaan. Bahan kekajaan sebagai tadi saja katakan : "We have only scratched the surface " - Kita baru `nggaruk diatasnja sadja.

Kekajaan alamnja, Masja Allah subhanallahu wa ta'ala, kekajaan alam. Saja ditanja : Ada besi ditanah-air Tuan? - Ada, sudah ketemu :belum digali. Ja, benar! Arang-batu ada, Nikel ada, Mangan ada, Uranium ada. Percajalah perkataan Pak Presiden. Kita mempunjai Uranium pula.

Kita kaja, kaja, kaja-raja, Saudara-saudara : Berdasarkan atas "imagination", djiwa besar, lepaskan kita ini dari hal itu, Saudara-saudara.

Gali ! Bekerdja! Gali! Bekerdja! Dan kita adalah satu tanah air jang paling cantik di dunia.