DALAM Kesaksian tentang Bung Karno, Mangil Martowidjojo, salah seorang mantan ajudan Bung Karno, membeberkan kebiasaan makan sehari-hari presiden pertama RI itu. Bung Karno menyukai hidangan sederhana: semangkuk kecil nasi dengan sayur asem atau sayur lodeh plus telur mata sapi atau ikan asin. Satu lagi yang tak boleh dilupakan: sambal. Cara penyajian yang disukai Bung Karno, langsung dihidangkan di atas cobeknya.
Sambal dan cabai yang jadi bahan bakunya tak bisa dilepaskan dari keseharian orang Indonesia. Nyaris setiap daerah memiliki versi sambal masing-masing, juga beragam hidangan yang diolah dengan bumbu cabai.
Dalam peradaban manusia, cabai sudah ada setidaknya sejak 6.000 tahun silam. Ini terungkap dalam sebuah laporan berjudul Starch Fossil and the Domestication and Dispersal of Chili Peppers (Capsicum spp.L.) in the Americas, hasil penelitian sekelompok ilmuwan yang dikepalai Linda Perry dari Smithsonian Institution.
Kesimpulan itu didasarkan atas temuan mikrofosil bubuk cabai dalam hidangan suku Indian Zapotec yang ditemukan di tujuh lokasi berbeda di Kepulauan Bahama hingga bagian selatan Peru. Orang-orang di masa itu biasa menyimpan cabai dalam keadaan segar atau mengeringkannya terlebih dahulu untuk kemudian menggunakannya untuk bumbu beragam masakan.
Sementara sambal ditemukan dalam hidangan Indian Maya, salah satu suku di Amerika Latin. Mereka diperkirakan mulai menciptakan salah satu versi sambal pertama di dunia sekira 1.500-1.000 SM. Bubuk cabai dicampur dengan air dan bahan-bahan lain agar citarasanya lebih nikmat. Versi sambal sederhana itu kemudian menjadi pelengkap makan Tortilla, sejenis roti pipih yang terbuat dari jagung giling atau gandum.
Di kalangan suku-suku purba di Amerika Latin, cabai memiliki posisi penting. DalamAmerica’s First Cuisines, ahli sejarah makanan Sophie Dobhanzsky Coe menulis bahwa cabai ada nyaris di setiap tempat di Amerika Latin. Suku-suku asli nyaris tak pernah lupa membubuhkan cabai ke dalam makanan mereka.
Bagi orang-orang Aztec, cabai adalah salah satu bentuk kenikmatan hidup. Catatan yang dibuat pendeta Fransiscan, Bernardino de Sahagun, pada 1529 menunjukkan, ketika para pendeta Aztec berpuasa untuk memuja para dewa, ada dua hal yang wajib dihindari: seks dan cabai.
Karena cabai tak mengandung banyak kalori, para ilmuwan masa itu yang meneliti tentang bahan makanan tak memperhitungkan jenis tanaman ini. Padahal cabai kaya akan vitamin A dan C, juga zat unik yang disebut capsaicin. Zat inilah yang membuat rasa pedas dan menyengat pada cabai. Dalam jumlah kecil cabai dapat memperlancar pencernaan.
Cabai juga pernah dijadikan senjata dalam perang. Sophie Dobhanzsky Coe mengisahkan bagaimana orang-orang Indian menyerang benteng yang dibangun Christopher Colombus di Pulau Santo Domingo dengan melontarkan buah-buah labu yang diisi campuran abu kayu dan cabai yang ditumbuk. Orang-orang Indian Aztec menggunakan asap cabai sebagai semacam senjata kimia. Asap cabai yang dibakar juga dipakai sebagai disinfektan sekaligus obat antiserangga yang konon amat mujarab.
Penyebaran cabai ke seluruh dunia dipelopori Christopher Colombus. Ketika bertolak pulang ke Spanyol dari Amerika Latin, Colombus membawa biji-biji cabai untuk dipersembahkan kepada Ratu Isabella dari Spanyol. Sebetulnya Colombus salah kira bahwa yang dia bawa adalah lada hitam, yang saat itu merupakan komoditas sangat mahal. Bagi Colombus rasa keduanya tak jauh berbeda. Dari Spanyol biji cabai mulai merambah Eropa lalu dunia.
Manguelonne Toussain-Samat dalam A History of Food menulis, untuk perut orang Eropa yang sensitif rasa cabai agak terlalu panas. Cabai tak digunakan dalam makanan. Orang Jerman dan Prancis bagian utara menggunakan sejumlah kecil cabai untuk menambah rasa ke dalam bir sekaligus mengawetkannya. Orang Inggris menggunakannya untuk membuat acar. Tapi di Afrika, Arab, dan Asia, cabai menjadi komoditas yang sangat populer. Cabai meresap dan melengkapi berbagai hidangan dan makanan.
Menurut Wendy Hutton dalam Tropical Herbs and Spices of Indonesia, orang-orang Portugis-lah yang membawa dan memperkenalkan biji-biji cabai ke Indonesia pada abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Namun ada beberapa indikasi bahwa cabai sudah dikenal di Indonesia jauh sebelumnya. Arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VII-XIV mengungkapkan, teks Ramayana abad ke-10 telah menyebut cabai sebagai salah satu contoh jenis makanan pangan. Di masa Jawa Kuno, cabai juga menjadi komoditas perdagangan yang langsung dijual.
Di masa VOC, sambal juga cukup populer di kalangan orang-orang Eropa yang tinggal di Hindia. Ragam sambal menjadi bagian dari risjttafel –set hidangan komplet berisi nasi, lauk-pauk, dan sayuran khas Indonesia. Risjttafel tergolong makanan mewah saat itu. Selain itu ada juga orang-orang Indo yang alih-alih mengoleskan selai lebih suka mengoleskan sambal di atas roti mereka.
Selain lezat dihidangkan, cabai juga pernah dijadikan bentuk hukuman yang menyakitkan. Jan Breman dalam Taming the Coolie Beast: Plantation Society and the Colonial Order in Southeast Asia mengisahkan deraan yang diberikan kepada para kuli perkebunan, terutama perempuan, di Tanah Deli yang melakukan kesalahan. Karena menolak cinta salah seorang mandor perkebunan dan lebih memilih kekasihnya–yang juga kuli, seorang kuli perempuan berusia 15 tahun diikat telanjang di sebilah tonggak selama berjam-jam. Agar dia tak pingsan, alat kelaminnya dibaluri cabai.
Hingga saat ini cabai dan sambal tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kebiasaan makan orang Indonesia. Begitu pentingnya sampai-sampai ketika panen cabai gagal di pertengahan 2010, harga cabai pun melonjak hingga Rp 60.000 per kilogram. Kontan saja ibu-ibu menjerit –bukan karena kepedasan tapi karena tak bisa menghidangkan sambal di ruang-ruang makan keluarga. [VIFI]
http://www.majalah-historia.com/berita-317-pedasnya-cabai-sedapnya-sambal.html
|