SUATU hari di sekitar tahun 1921. Laksamana Muda John Lie tak akan pernah melupakannya. Sebuah kapal eskader Angkatan Laut Belanda berlabuh di Manado. Ukurannya besar dan canggih. Banyak penduduk ingin melihat dari dekat dan menaiki kapal itu dengan membayar 10 sen.
John Lie, yang masih berusia sekira 10 tahun, tak punya uang. Tak mau patah arang, ia bersama teman-temannya berenang menuju kapal. Berhasil. Di dekat kapal, ia berkata kepada teman-temannya, ”Nanti saya mau jadi kapten, suatu waktu akan pimpin kapal begini ini,” kenang Bian Loho sebagaimana disitir M. Nursam dalam Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie.
Lahir pada 9 Maret 1911, John Lie Tjeng Tjoan merupakan anak kedua dari delapan bersaudara pasangan Lie Kae Tae dan Oei Tseng Nie. Lie Kae Tae merupakan pemilik perusahaan pengangkutan Vetol (Veem en transportonderneming Lie Kae Tae) yang terkenal sebelum Perang Dunia II dan tutup sepeninggal Lie Kae Tae pada 1957. Kedelapan anaknya tak menuruni bakat dagangnya. John Lie sendiri sedari kecil lebih tertarik dunia maritim.
Meski mendapat pendidikan di sekolah berbahasa Belanda, Hollands Chinese School (HCS), lalu Christelijke Lagere School, hasrat John Lie untuk jadi pelaut begitu kuat. Ia menabung uang hasil menagih piutang ayahnya. Ketika menginjak usia 17 tahun, ia meninggalkan Manado. “Kalo minta izin orangtua pasti nggak diberikan, karena terlalu muda,” ujar Rita Tuwasey, keponakan John Lie.
Di Batavia, ia bekerja sebagai buruh pelabuhan di sesela kesibukannya ikut kursus navigasi. Ia lalu jadi Klerk Muallim III di KPM (Koninklijk Paketvaart Mattschappij), perusahaan pelayaran Belanda. Setelah beberapa kali pindah kapal, ia bertugas di MV Tosari yang pada Februari 1942 membawanya ke Pangkalan AL Inggris Koramshar di Iran. Saat itu Perang Dunia II sedang berlangsung. MV Tosari dijadikan kapal logistik pendukung armada Sekutu. Awak MV Tosari diberi pelatihan militer.
Pada Agustus 1945 Perang Dunia II usai, tak lama kemudian Indonesia merdeka. Kabar itu membuat para pelaut yang “terdampar” di Koramshar ingin pulang. “Agar kami dapat berjuang, berbakti bersama kaum pejuang di Indonesia, untuk memberikan pengetahuan dan pengalaman kami selama ini di medan kelautan,” tulis John Lie.
Keinginan itu terwujud pada Februari 1946. Kapal MV Ophir yang membawa mereka berlayar, lego jangkar di Bombay dan Kalcuta, lalu singgah di Singapura selama 10 hari. Di sini mereka meluangkan waktu untuk belajar penyapuan ranjau dan taktik pertempuran laut.
Setelah bekerja di pelabuhan dan memperdalam kelautan di Jakarta, John Lie bergabung dengan angkatan laut. Atas permintaannya, John Lie ditempatkan di Pelabuhan Cilacap. Dimulailah misi-misi menembus blokade Belanda dan penyelundupan yang membuat namanya melegenda.
John Lie memulai misi pertamanya menembus blokade Belanda dengan kapal ML 336. Kapal ini memuat senjata dan amunisi dengan tujuan Labuan Bilik, sebuah kota kecil di Sumatra Timur. Dalam perjalanan kapal ini dikejar kapal patroli dan kepergok pesawat patroli Belanda. Nyaris terjadi kontak senjata. Tapi pesawat patroli Belanda itu tak jadi menembak. Mungkin, menurut John Lie, bahan bakarnya menipis.
Di Labuhan Bilik, ML 366 didaftarkan ke Jawatan Pelayaran dan diberi nomor PPB 31 LB (Pendaftaran Pelabuhan 31 Labuhan Bilik). Seminggu berlabuh, kapal berlayar lagi ke Port Swettenham, Malaya. John Lie dan timnya lalu mendirikan Help Naval Base of The Republic of Indonesia di sana. Sejak itu, ia terus melakukan pelayaran penetrasi blokade Belanda. Ia sempat ditangkap di Singapura tapi pengadilan membebaskannya karena tak terbukti bersalah. Paling sedikit ada enam pelayaran penetrasi yang ia lakukan dengan PPB 31 LB. Radio BBC selalu menyiarkan keberhasilan pelayaran John Lie. BBC menjuluki kapal John Lie sebagai “The Black Speed Boat”.
John Lie tak lama memimpin PPB 31 LB, hingga penghujung 1948. Sedari awal tugasnya memimpin kapal PPB 58 LB, yang oleh John Lie dinamai “The Outlaw”. Dengan kapal ini pun ia memimpin setidaknya 15 kali “pelayaran maut”. Namanya kemudian melegenda. Roy Rowan, wartawan majalah Life, mengabadikan kisah perjuangan heroik John Lie dalam “Guns – And Bibbles – Are Smuggled to Indonesia”, yang dimuat Life pada 26 Oktober 1949. Dan pers asing menjuluki John Lie “The Great Smuggler with the Bibble”.
Setelah mendapat tugas baru di Pos Hubungan Luar Negeri di Bangkok, memimpin KRI Rajawali dan Gadjah Mada, aktif menumpas gerakan separatis seperti DI/TII, RMS, dan Permesta, John Lie pensiun pada 1967.
Ia mengisinya dengan kegiatan-kegiatan sosial: membagi-bagikan nasi bungkus kepada fakir miskin dan mengangkat anak-anak gelandangan –karena John tak punya anak. Ia juga perhatian kepada sahabat-sahabat seperjuangannya. Menurut Rita, dia menyurati satu per satu anggota Petisi 50 agar berdamai dengan Soeharto. Nasehat itu tak diindahkan tapi hubungan mereka tetap baik.
Pada 27 Agustus 1988, John Lie wafat. Banyak orang datang melayat, dari Presiden Soeharto hingga anak-anak gelandangan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro “mengakui” John Lie sebagai pahlawan nasional. Melalui suratnya tertanggal 10 November 1995, Wardiman mengucapkan selamat kepada keluarga John Lie atas penganugerahan gelar pahlawan nasional dan tanda kehormatan Bintang Mahaputera Utama untuk (almarhum) John Lie. Tapi, penganugerahan John Lie sebagai pahlawan nasional baru terealisasi pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2009.
“Dengan memasukkan John Lie sebagai pahlawan nasional, dengan mengabadikan karya dan perjuangannya, saya kira menghapus salah satu potensi kekerasan terhadap orang Tionghoa,” ujar Asvi Warman Adam. [MF.MUKTHI]
http://www.majalah-historia.com/berita-145-si-penyelundup-yang-humanis.html
|