Spoiler for wajahnya:
beliau ternyata orang yang pertama kali menerbitkan Kamus Bahasa Indonesia
Spoiler for tampilan kamusnya:
Quote:
Wilfridus Joseph Sabarija Poerwadarminta (lahir di Jogjakarta, 5 November 1904 - meninggal di Yogyakarta, 28 November 1968 pada umur 64 tahun[1]) adalah seorang leksikograf atau penyusun kamus ternama dari Indonesia. Karyanya terutama mencakup kamus bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa Jepang, dan bahasa Latin. Kamus bahasa Indonesia Poerwadarminta sampai saat ini masih menjadi bahan rujukan di samping Kamus Besar Bahasa Indonesia dan masih tetap dicetak ulang. |
1. LATAR BELAKANG KELUARGA
Quote:
Nama kecil dari Wilfridus Joseph Sabarija Poerwadarminta (ejaan lama) adalah Sabarija (dibaca Sabariya). Dilahirkan di Jl. Gamelan Lor - Kraton, Yogyakarta. Sabarija adalah anak dari Bapak Raden Ngabehi Kudawiharja, seorang abdi dalem Kraton yang bertugas sebagai Gamel yang artinya petugas pemelihara kuda Kraton, Ibunya bekerja sebagai pembuat pola batik. Adapun Sabariya tidak memiliki saudara sekandung, berikut saudara dalam keluarganya : 1. Sastra Sutrasna : saudara se - ayah lain ibu - tinggal di Yogyakarta 2. Sastradihardja : saudara se - ibu lain ayah - tinggal di Jakarta 3. Wilfrida Mudjilah : saudara se - ibu lain ayah - tinggal di Purworejo 4. Sutardjana : saudara se - ibu lain ayah - tinggal di Bandung |
Quote:
Sabariya hidup ikut neneknya, dan neneknya termasuk rakyat jelata yang serba kekurangan, oleh karenanya beliau tidak bisa sekolah, dan pada masa penjajahan Belanda, untuk bersekolah sangatlah tidak mungkin kerena Sabariya bukanlah keluarga bangsawan, dan bukannya dari keluarga yang berpangkat Semasa kecilnya, bila ingin bermain apa saja, maka alat-alat mainnya dibuat sendiri, sejak kecil Sabarija sudah memiliki daya kreatif tinggi. Pernah terjadi sewaktu kanak-kanak sekitar umur 7 tahun beliau diajak orang yang tidak dikenal (istilah sekarang mungkin diculik), kemudian dilepas/dibuang di pinggiran kota Solo. Tetapi karena beliau mempunyai naluri yang tinggi, jalan pikirnya bila ia mengikuti jalan kereta api ke arah barat maka akan sampai ke Yogyakarta. Berjalanlah ia menyusuri jalan KA tersebut, akhirnya sampai dekat desa Prambanan ia pingsan karena kelelahan dan tidak makan (hanya mengunyah batang tebu yang tumbuh sepanjang kebun tebu di lintasan Kereta Api). Kemudian ditolong oleh kusir andong (kereta kuda khas Yogyakarta) diantar sampai kerumahnya di jalan Gamelan. Semenjak kejadian tersebut neneknya sangat prihatin, kebetulan ada seorang pastor yang iba melihat nasib Sabariya, maka pastor tersebut meminta ijin untuk mengambil Sabariya untuk di sekolahkan di Sekolah Angka Loro (Tweede Inlandsche School ) di Kintelan Yogyakarta (sekarang lokasi tersebut berada di sekitar daerah kecamatan Gondomanan) dan ia dapat menyelesaikan di sekolah tersebut pada tahun 1919. Atas seijin orang tuanya Sabariya , ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru (Normal School Rooms Katholiek) di Moentilan sampai kelas dua, dan dilanjutkan lagi di Ambarawa sampai kelas tiga, biaya pendidikan di sekolah tersebut ditanggung oleh Gereja Katolik. Mulai saat itulah ia mengenal dan belajar agama Katolik. |
Quote:
Selama didalam pendidikan di asrama Ambarawa, ia mempunyai prestasi belajar yang sangat mengagumkan melebihi dari teman-teman sekolahnya, beliau berbakat juga didalam seni tari, seni karawitan, dan memainkan alat musik gamelan, juga ia senang bermain drama dan pernah mendapat hadiah nomor satu pada saat ia bermain drama di sekolah tersebut. Ia sangat disukai oleh teman-teman sekolahnya karena sangat sopan, lemah lembut, jujur, tekun dan cerdas, dan ia tamat disekolah tersebut dengan predikat murid yang terpandai, lulus pada tahun 1923. Sumber : Kaskus |