Searching...

TRAGEDI KARBALA 2 (Sejarah Pembantaian Imam Husein AS)



SAMBUNGAN...

Hurr bin Yazid Al-Riyahi dan Zuhair bin Al-Qain maju ke arah pasukan Umar bin Saad. Kedua jawara itu saling membantu di medan laga. Sambil menari-narikan pedangnya, Hurr bersenandung:
Akulah Hurr yang akan menebas kalian dengan pedang. Akulah pembela manusia paling mulia. Akan kubantai kalian tanpa ragu dan bimbang.

Setelah bertarung cukup lama, Hurr terguling di tanah bersimbah darah. Para sahabat Imam Husein yang masih tersisa datang dan membawa tubuh suci itu ke perkemahan. Hurr masih bernafas. Imam Husein dengan penuh kelembutan meletakkan kepalanya di pangkuan beliau. Sambil membersihkan darah dari wajah Hurr, beliau berkata, "Engkau benar-benar bebas seperti nama yang diberikan ibumu kepadamu. Sungguh engkau bebas, di dunia dan akhirat."
 Ali putra Imam Husein datang dan mengatakan, "Hurr, engkaulah jawara sejati yang berkorban demi Husein."
 Imam Husein AS dan para sahabatnya berdiri untuk melaksanakan shalat Dhuhur berjamaah. Zuhair bin Al-Qain dan Said bin Abdullah Al-Hanafi berdiri di depan mereka dan menjadi tameng hidup. Setelah shalat berjamaah selesai, Said ambruk karena luka yang dideritanya. Pada detik-detik terakhir kehidupannya, Said mengatakan, "Ya Allah, kutuklah kelompok pengkhianat janji ini seperti Engkau melaknat kaum 'Ad dan Tsamud. Ya Allah sampaikanlah salamku kepada Nabi-Mu." Sambil menatap Imam Husein, ia berujar, "Husein tuanku, apakah aku telah memenuhi janji setiaku?" Imam menjawab, "Ya, bergembiralah, karena surga telah menantimu. Tak lama lagi aku akan menyusulmu. Sampaikan salamku kepada kakeku Rasulullah."

Setelah itu, Imam Husein mengalihkan pandangan ke arah para sahabatnya dan berkata, "Sahabat-sahabatku, pintu surga telah terbuka menantikan kedatangan kalian. Sungai-sungai surga dan buah-buahnya tak sabar menunggu kalian. Nabi dan para syuhada berbaris untuk menyambut kalian. Karenanya, teruskan pengorbanan kalian demi keluarga Nabi. Semoga Allah mengampuni kalian semua."

Kata-kata Imam Husein AS belum selesai ketika Yazid bin Mi’qal tiba-tiba berseru, “Hei Burair, bagaimana takdir Tuhan menurutmu?” Burair menjawab, “Demi Allah aku hanya menyaksikan kebaikan dalam takdir dan kehendak Tuhan.  Dialah yang membimbingku ke jalan kebaikan. Sedangkan takdir telah membawamu menjadi budak kejahatan.”
“Bohong,” sergah Ibnu Mi’qal. “Hei Burair, ingatkah engkau waktu kita bersama-sama di kabilah bani Hawazin, saat itu engkau mengatakan bahwa pemimpin kelompok yang mendapat hidayah adalah Ali bin Abi Thalib?”
“Iya,” jawab Burair. “Sampai kinipun aku masih mengatakannya. Aku bersaksi bahwa engkau termasuk dalam golongan mereka yang sesat. Kini aku tantang engkau untuk bermubahalah dan meminta Allah untuk menurunkan laknat-Nya atas orang yang berdusta di antara kita berdua.”

Keduanya lantas mengangkat tangan dan meminta kepada Allah untuk melaknat dan membinasakan orang yang berdusta di antara mereka berdua. Adegan itu dilanjutkan dengan duel. Tidak berapa lama, pedang Burair menancap di kepala Yazid. Yazid terkapar di tanah bermandikan darah. Mendadak Radhi bin Munqiz Al-Abdi datang menyerang. Burair menerkam dan membantingnya ke tanah, lalu duduk di atas tubuhnya. Ka’ab bin Jabir bin Amr Al-Azdi maju untuk segera menghabisi Burair. Afif bin Zuhair bin Akhnas menegurnya, “Celaka engkau yang berniat membunuh Burair bin Khudhair, qari terkemuka di Kufah. Biarkan dia.” Ka’ab tidak memperdulikan teguran itu dan tetap melangkah maju. Sekejap kemudian, pedang Kaab terayun ke punggung Burair. Burair, sahabat setia Imam Husein itu, tersungkur mencium tanah dengan tubuh berlumur darah. Burair gugur sebagai syahid.

Pembunuhan Burair oleh Kaab membangkitkan reaksi keras. Kepada Ka’ab, istrinya berkata, “Celaka engkau hei Ka’ab. Engkau telah menghunus pedang terhadap cucu Rasulullah dan membunuh pemuka para qari Kufah, Burair bin Khudhair. Demi Allah aku tidak akan berbicara lagi denganmu selamanya. Betapa besar dosa yang telah engkau lakukan!”

Handhalah bin As’ad Asy-Syabami maju. Dengan suara lantang dia berseru, “Hei penduduk Kufah, Aku sungguh mengkhawatirkan terulangnya peristiwa Ahzab dan perbuatan umat Nuh, kaum Ad dan kaum Tsamud karena perbuatan kalian. Aku mengkhawatirkan hari di mana kalian saling menyalahkan, sedang Allah tidak akan mengampuni kalian lagi. Barang siapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang bisa memberinya petunjuk. Tinggalkan Husein dan jangan kotori tangan kalian dengan darahnya. Jika tidak, Allah pasti akan menghukum kalian dengan azab-Nya yang pedih.” Imam Husein yang mendengar kata-kata itu mendoakan Handhalah, “Semoga Allah merahmatimu. Mereka telah terjerumus ke dalam jurang dan akan merasakan azab Tuhan.” Putra As’ad Asy-Syabami itu mengiyakan dan berkata, “Benar.” Handhalah lalu bangkit dan maju ke medan tempur untuk bertarung sampai akhirnya ia meneguk cawan syahadah.

‘Abis bin Abi Syaib (شَيْب) Asy-Syakiri bertanya kepada Syaudzab, salah seorang sahabatnya yang dikenal sebagai pengikut setia Ahlul Bait dan muhaddis besar. “Apa yang akan kau lakukan, wahai Syaudzab?” “Berperang membela cucu Rasul sampai aku terbunuh,” jawab Syaudzab. ‘Abis menanggapi kata-kata sahabatnya itu dan berkata, “Aku juga berpikir sama. Kalau begitu mari kita menghadap Imam dan meminta izin beliau untuk maju ke medan tempur.” Syaudzab menghadap Imam Husein AS dan meminta izin untuk bertempur melawan musuh. Imam mengizinkan. Syaudzab maju dan bertempur dengan gigih sampai akhirnya dia meneguk cawan syahadah. Tak berapa lama ‘Abis keluar dari barisan dan menyerbu pasukan musuh. Kelincahannya memainkan pedang dan menjungkalkan lawan serta keberaniannya membuat pasukan musuh berdecak kagum. Pertempuran ‘Abis disebut-sebut sebagai salah satu contoh kepahlawanan para jawara pejuang kebenaran. Sudah menjadi tradisi bagi para sahabat Imam Husein untuk meminta izin terlebih dahulu kepada Imam sebelum pergi ke medan tempur, lalu berpamitan kepada beliau sambil mengungkapkan kata-kata kesetiaan. ‘Abis melakukan hal yang sama. Kepada junjungannya itu, dia berkata, “Wahai Abu Abdillah, ketahuilah bahwa di muka bumi ini tak ada seorangpun yang mulia dan lebih kucintai dari dirimu. Andai saja aku bisa menyelamatkanmu dari pembantaian ini meski dengan mengorbankan sesuatu yang lebih berharga dari jiwa ini, aku pasti akan melakukannya tanpa ragu. Saksikanlah bahwa aku mati dengan membawa keyakinan akan agamamu dan agama ayahmu.” Setelah menyampaikan kata-kata itu, ‘Abis berpamitan dengan Imam Husein dan maju ke medan perang.
 Rabi’ bin Tamim berkata: Saat pandanganku jatuh pada diri ‘Abis, aku segera mengenalinya. Aku telah berkali-kali menyaksikan kepahlawanannya di berbagai pertempuran. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih pemberani dari ‘Abis. Karenanya aku segera berseru “Hei! inilah si raja singa, ‘Abis bin Abi Syaib Asy-Syakiri. Siapa yang berani menghadang jalannya pasti akan terjungkal bersimbah darah.” Bagai singa kelaparan ‘Abis berputar-putar di medan tempur menantang para jawara di barisan pasukan Kufah untuk berduel satu lawan satu. Tak ada seorangpun yang berani maju menghadapinya. Melihat gelagat itu, Umar bin Sa’ad sebagai komandan tertinggi pasukan Ubaidlillah bin Ziyad segera mengerahkan pasukannya untuk mengepung ‘Abis dan menghujaninya dengan lemparan batu. Menyaksikan kelicikan itu, nyali ‘Abis bukan menjadi redup, malah semakin berkobar. Dia menantang musuh dengan melepas baju dan topi besinya sambil bersenandung: “Inilah saatnya kutanggalkan pakaian untuk merasakan maut dengan seluruh tubuh ini.”
 ‘Abis maju menyerang dan menari-narikan pedangnya dengan gigih. Rabi bin Tamim mengatakan, “Demi Allah saat ‘Abis maju menyeruak ke barisan pasukan Ibnu Sa’ad, sekitar dua ratus orang yang berada di hadapannya lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Akhirnya mereka mengambil jalan mengepung sahabat Imam Husein itu dari empat arah. Puluhan luka yang diderita ‘Abis akibat lemparan batu, sabetan pedang dan tusukan tombak membuatnya roboh. Tak lama kemudian aku menyaksikan kepala ‘Abis dibawa beramai-ramai oleh sekelompok prajurit Kufah. Masing-masing mengaku bahwa dialah yang telah berhasil merobohkan ‘Abis.  
 Jaun (جَوْن), bekas budak Abu Dzar Al-Ghiffari mendatangi Imam Husein dan meminta izin untuk mempersembahkan jiwanya dalam membela beliau. Kepadanya Imam berkata, “Wahai Jaun, engkau berada di sisi kami untuk mendapatkan perlindungan dan hidup terjamin. Sekarang aku persilahkan engkau untuk meninggalkan tempat pembantaian ini.” Jaun menangis dan bersimpuh di kaki Imam Husein. Kepada beliau, bekas budak itu mengatakan, “Aku selama ini hidup senang bersama Anda. Bagaimana aku harus meninggalkan Anda di saat Anda menghadapi kesulitan seperti ini? Tuanku, aku adalah seorang budak yang tak jelas asal usulnya sedangkan kulitku berwarna hitam. Karena itu, izinkan aku untuk masuk surga sehingga badanku ini menjadi harum dan kulitku memutih. Demi Allah aku bersumpah tidak akan pernah meninggalkanmu sampai darahku yang hitam ini bercampur dengan darahmu yang suci.” Imam Husein terharu mendengar kata-kata Jaun dan mengizinkannya untuk maju ke medan laga.
 Dengan gagah berai Jaun maju. Dia berhasil membuat beberapa orang prajurit Umar bin Sa’ad menggelepar-gelepar di tanah menunggu kedatangan malaikat maut. Namun dia juga harus berpisah dengan junjungannya setelah meneguk cawan syahadah yang dihidangkan kepadanya. Imam Husein datang dan memangku jenazah Jaun sambil berdoa, “Ya Allah, putihkanlah kulit wajahnya dan berilah dia tempat bersama Nabi-Mu Muhammad dan keluarganya.”
 Tak lama setelah itu, Ars bin Harits Al-Kahili, seorang sahabat Nabi yang telah berusia lanjut dan pernah ikut perang Badr dan Shiffin, datang menghadap Imam Husein dan meminta izin untuk maju ke medan tempur. Dengan mengikat serbannya di pinggang ia maju menari-narikan pedangnya. Sekitar enam puluh tubuh prajurit Umar bin Saad berhasil dirobohkannya, sebelum akhirnya dia sendiri gugur sebagai syahid.. Pertarungan sahabat ini disaksikan oleh Imam Husein yang tak henti-hentinya berdoa, “Semoga Allah membalas budi baikmu wahai orang tua.”
 Kini tiba giliran Amr bin Junadah Al-Anshari untuk menunjukkan kesetiaannya kepada Rasulullah dan keluarganya. Dia adalah putra Junadah bin Kaab Al-Anshari, sahabat Imam Husein yang gugur bersama sejumlah orang lainnya di pagi hari Asyura’ dalam serangan pertama yang dilancarkan oleh pasukan Ibnu Ziyad. Dengarkanlah apa yang dikatakan oleh Ibu Amr bin Junadah kepada putranya yang saat itu masih berusia 11 tahun. “Anakku, bangkit dan berperanglah untuk membela cucu Rasulullah ini.” Remaja belia itupun maju ke medan laga. Imam Husein yang menyaksikan kesiapan Amr untuk bertarung berkata, “Ayah anak ini sudah gugur. Mungkin ibunya akan sangat terpukul jika anak itu maju ke medan tempur dan terbunuh. Suruh dia kembali ke kemah.” Amr bin Junadah menjawab, “Ibukulah yang memerintahkan aku untuk bertempur bahkan dia sendiri yang memakaikan pakaian perang ini di badanku. Kini izinkanlah aku untuk mempersembahkan pengorbanan demimu, wahai putra Rasul.” Amr maju bagai seorang Kesatria. Sambil menari-narikan pedangnya, dia bersenandung:

Tuanku adalah Husein, sungguh dialah sebaik-baik pemimpin
Husein buah hati Rasul, dialah putra Ali dan Fathimah
Adakah seorang pemimpin yang seperti dia?
Dengan wajah bagai mentari dan dahi bagai purnama?

Tak lama, Amr roboh bersimbah darah setelah menunjukkan kesetiaannya kepada putra Fathimah AS. Pasukan Kufah yang kesetanan memenggal kepala pemuda belia itu dan melemparkannya ke perkemahan Imam Husein. Ibu Amr bin Junadah maju memungut dan mendekap kepala anaknya seraya mengatakan, “Selamat untukmu wahai buah hatiku.” Tanpa diduga, sang ibu melemparkan kepala itu ke arah musuh dan berkata, “Apa yang telah kupersembahkan di jalan Allah, tidak akan kuambil kembali.” Wanita itupun maju ke medan tempur dengan bersenjatakan sebatang kayu sambil berkata, “Memang aku wanita tua yang lemah. Kekuatan dan kepintaranku telah lenyap sedang tubuhku juga semakin layu. Aku bersumpah untuk memukul kalian sekuat tenaga demi membela anak-anak Fathimah.” Imam Husein mengembalikan Ibu Amr bin Junadah ke kemah. Sebab beliau tidak mengizinkan seorang wanitapun terjun ke medan tempur. 
 Hajjaj bin Masruq Al-Ju’fi maju memperlagakan kepiawaiannya memainkan pedang demi membela Imam. Beberapa saat setelah itu, ketika sekujur tubuhnya telah bersimbah darah, dia mendatangi Imam Husein dan mengatakan, “Hari ini aku akan segera bertemu dengan ayahmu Ali yang aku yakini sebagai washi dan penerus risalah Nabi.” Imam Husein menjawab, “Ya, aku juga akan segera menyusul.” Hajjaj kembali ke medan tempur sampai syahadah datang membawanya ke surga.
 Setelah Hajjaj, Sawid bin Amr bin Abi Mutha’ maju. Tak berapa lama ia terjungkal dari punggung kuda. Pasukan Kufah yang mengiranya telah gugur, meninggalkan Sawid. Setelah Imam Husein syahid, Sawid dengan menahan luka yang dideritanya bangkit mengambil pisaunya dan bertempur melawan pasukan Kufah sampai akhirnya iapun meneguk cawan syahadah. Sawid adalah orang terakhir dari pasukan Imam Husein yang menjadi korban kebiadaban pasukan Ibnu Sa’ad.

Kini tak ada seorangpun sahabat Imam Husein yang tersisa. Hanya keluarga beliaulah yang kini tengah menantikan detik-detik perpisahan dengan dunia yang fana ini. Mereka bertekad untuk menyongsong kematian demi membela agama Rasulullah SAW. Mereka saling mengucapkan salam perpisahan. Orang pertama dari Bani Hasyim yang maju ke medan laga adalah Ali Akbar putra Imam Husein yang disebut-sebut sebagai orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Saat itu para wanita keluarga Rasul berkumpul dan mendatangi Ali Akbar seraya mengatakan, “Wahai putra Husein, kasihanilah keterasingan kami yang tak kuasa berpisah darimu.” Ali Akbar meminta izin untuk maju bertempur. Dengan langkah yang mantap, pemuda tampan itu bergerak sambil membawakan bait-bait syair kepahlawanan:

Akulah Ali Putra Husein bin Ali
Kamilah keluarga terdekat Nabi
Kan kupukul kalian dengan pedang ini
Demi membela Husein cucu Nabi
Aku bertempur dengan gagah berani
Tak kan kuizinkan mereka memerintah kami

Kepergian Ali Akbar ke medan laga diiringi oleh pandangan sayu sang ayah. Dengan air mata yang membasahi pipi, Imam Husein mengangkat tangan dan berdoa, “Ya Allah saksikanlah, bahwa pemuda yang paling mirip dengan rasul-Mu Muhammad maju ke medan tempur. Selama ini jika kami rindu kepada Nabi kami selalu melampiaskannya dengan menatap wajahnya.”
 Saat itulah terdengar suara Imam Husein AS berseru, “Hei Ibnu Sa’ad, semoga Allah memutus tali keturunanmu yang tidak mengindahkan kekerabatanku dengan Rasulullah. Allah swt telah memuliakan Adam, Nuh, Ibrahim, dan keluarga Imran atas semua makhluk-Nya, dan kami adalah keturunan orang-orang suci itu.”
 Di medan perang, Ali Akbar bertempur dengan gagah berani memperlihatkan kepahlawanan keluarga Bani Hasyim. Tujuh puluh orang tersungkur setelah terkena sabetan pedangnya. Rasa dahaga yang sejak tadi mencekik lehernya mendorongnya untuk kembali ke kemah menemui sang ayah. Ali Akbar mengeluhkan rasa haus yang melemahkan badannya. Kepada putranya itu Imam Husein mengatakan, “Anakku, tak lama lagi engkau akan segera bertemu dengan kakekmu Rasulullah yang akan memberimu air dari telaga surga dan engkau tak akan merasakan dahaga lagi selamanya.”
 Ali Akbar kembali ke medan tempur. Sekonyong-konyong sebuah anak panah menancap di lehernya. Dari belakang, Barrah bin Munqidz Al-Abdi mengayunkan pedangnya ke kepala putra Al-Husein itu. Ali Akbar jatuh bersimbah darah. Pasukan musuh yang menyaksikan peristiwa itu serta merta menyerang dan mencabik-cabik tubuh cicit Rasulullah tersebut. Setelah itu, Imam Husein mendatangi jenazah sang anak dan memangkunya. Beliau berkata, “Semoga Allah menumpas mereka yang telah membunuhmu. Sungguh, betapa kejinya mereka yang menginjak-injak kehormatan Rasul dan membantai para kekasih Allah. Anakku, setelah kepergianmu, dunia ini tak lagi berarti.” Imam lantas meraup darah anaknya dan melemparkannya ke atas. Tak ada setetespun dari darah itu yang jatuh ke tanah. Kemudian beliau memerintahkan agar jasad Ali Akbar diletakkan di depan kemah. Para wanita keluarga Nabi SAW duduk mengelilingi jenazah suci cucu Nabi itu dan berlomba menguras air mata. Jerit tangis dan teriakan histeris itu semakin bertambah saat mata mereka tertuju pada tubuh Ali Akbar yang dicincang dengan luka sayatan dan tusukan yang tak terhitung. Zainab, adik kandung Imam Husein, tak mampu menahan diri. Dia ambruk memeluk tubuh keponakan yang sangat disayanginya itu dan menciuminya.
 Abdullah bin Muslim bin Aqil datang menghadap Imam Husein dan meminta izin untuk bertarung. Sambil menarikan pedangnya Abdullah bersenandung:

Aku bergegas untuk menjumpai ayahku, Muslim
Aku kan bertemu dengan para pengorban jiwa demi agama

Abdullah bin Muslim bin Aqil tiga kali melakukan serangan ke barisan musuh. Beberapa nyawa melayang ditebas oleh ketajaman pedangnya. Mendadak Amr bin Shabih Ash-Shada’i (الصَّـدَاعي) membidikkan anak panah ke arah Abdullah untuk menghentikan petualangan heroiknya. Anak panah itu tepat menancap di dahi putra Muslim bin Aqil. Abdullah mencabut anak panah itu sambil berujar, “Mereka adalah kaum pengkhianat. Habisi dan bantai mereka, sebab mereka datang untuk membantai kita.”
Tiba-tiba seseorang menyuak dan menancapkan sebuah anak panah di dada Abdullah. Abdullah roboh dan menyongsong syahadah dengan senyuman. Keluarga besar Abu Thalib yang menyaksikan gugurnya Abdullah secara serentak maju menyerang. Gerakan mereka diikuti oleh seruan Imam Husein, “Wahai saudara-saudara sepupuku, songsonglah kematian dengan tabah. Demi Allah, tidak ada lagi kehidupan dunia setelah ini.”
 ‘Aun (عَوْن) bin Abdullah bin Ja’far Thayyar yang juga putra Zainab binti Ali, gugur, lalu saudaranya Muhammad, disusul kemudian oleh Abdurrahman dan Ja’far putra Aqil, setelah itu Muhammad bin Muslim bin Aqil. Tak jauh dari tempat mereka meneguk cawan syahadah, Hasan Al-Mutsanna, putra Imam Hasan, tergeletak di padang tandus Karbala dalam kondisi luka parah dan tangan kanan yang terputus. Giliran Muhammad bin Abi Bakr bin Amirul Mu’minin Ali maju ke medan perang. Langkah pemuda suci itu terhenti akibat tebasan pedang Ibnu Nakha’i. Abdullah bin Aqil terjebak di tengah-tengah pasukan Ibnu Ziyad. Sejumlah orang berhasil dilumpuhkannya. Namun luka parah yang diderita Abdullah memperlemah langkahnya. Utsman bin Khalid At-Tamimi datang dan menghabisi nyawa saudara sepupu Imam Husein itu. Giliran Abdullah Akbar putra Imam Hasan Mujtaba maju ke medan perang. Sebelum gugur dia berhasil membuat sejumlah orang tersungkur oleh tebasan pedangnya. 
 Seorang pemuda belia bernama Qasim bin Imam Hasan maju meminta izin untuk bertempur. Imam mengizinkan dan mendekap keponakannya. Beliau teringat akan saudara kandungnya, Imam Hasan Mujtaba. Kepergian Qasim diikuti dengan tangisan Imam Husein AS. Qasim yang berwajah tampan bagai bulan purnama itu dengan tangkas memainkan pedangnya membuat beberapa orang terkapar di tanah. Namun tiba-tiba kegesitan Qasim mengendur setelah Amr bin Saad bin Nufail Al-Azdi memukulkan pedangnya di kepala Qasim. Remaja belia itu menjerit histeris, “Paman! Tolong aku.”
 Imam dengan secepat kilat menerjang ke arah Amr, pembunuh Qasim bin Hasan. Amr berlari tunggang langgang. Pasukan Kufah yang hendak menyelamatkan Amr mundur menyaksikan singa bani Hasyim itu mengamuk. Amr bin Saad bin Nufail yang dengan sadis membantai Qasim putra Imam Hasan, kini menggelepar-gelepar di padang Karbala menunggu kedatangan malaikat maut yang akan mengantarnya ke neraka. Dia tewas di tangan Imam Husein, putra Ali bin Abi Thalib. Imam memangku jasad keponakannya itu dan membelainya sambil mengatakan, “Celakalah mereka yang membunuhmu. Kakekmu Rasulullah, tidak akan memaafkan mereka.” Imam menggendong Qasim menuju perkemahan dan meletakkannya di sisi jasad Ali Akbar.
 Abul Fadhl Abbas yang menyaksikan gugurnya bunga-bunga rumah kenabian, memandang ke arah saudara-saudaranya dan berkata, “Adik-adikku, bersiap-siaplah untuk menyerang pasukan kafir itu demi memperoleh keridhaan Allah.” Abdullah, Utsman dan Ja’far, ketiganya adalah adik kandung Abul Fadhl maju ke medan perang. Tak berapa lama merekapun bergabung dengan kafilah para syuhada. Setelah ketiga adiknya gugur, Abul Fadhl memandang ke sekelilingnya. Tak ada lagi seorangpun selain dirinya dan Imam Husien yang tersisa. Jawara yang bernama Abbas ini datang menghadap Imam Husein dan meminta izin untuk menyerang pasukan lawan. Imam mencegah dan mengatakan, “Abbas, engkau adalah pemegang panji pasukan ini.” Abul Fadhl menjawab, “Benar, tapi demi Allah, dadaku terasa sesak sekali. Izinkan aku untuk menuntut darah para syuhada.” Kepada Abul Fadhl, Imam berkata lagi, “Adikku, pergilah dan usahakan untuk mendapatkan sedikit air untuk anak-anak yang kehausan.”
 Abul Fadhl dengan secepat kilat memacu kudanya ke arah pasukan musuh. Abbas mengingatkan mereka akan kemurkaan Allah dan meminta agar mereka mengijinkannya mengambil air untuk anak-anak kecil di perkemahan Imam Husein yang dicekik rasa dahaga. Kata-kata itu tidak digubris oleh pasukan Kufah yang telah dikuasai setan. Abul Fadhl kembali kepada Imam Husein. Namun hati jawara itu tercabik-cabik kala mendengar jeritan anak-anak yang kehausan. Tanpa berpikir panjang, dia segera mengambil qirbah, kantong air dan memacu kudanya ke arah sungai Furat. Empat ribu prajurit Kufah menghadang dengan pedang terhunus dan tombak yang diarahkan kepadanya. Abul Fadhl terus melaju dengan cepat. Sesampainya di tepi sungai dia segera mengambil air di tangannya. Sebelum sempat air itu menyentuh bibirnya, ia teringat akan abang sekaligus junjungannya, Imam Husein AS yang sedang kehausan. Abbas mengurungkan niatnya dan melemparkan kembali air itu ke sungai.
 Abul Fadhl yang sudah selesai memenuhi qirbahnya dengan air sungai Furat, segera naik kembali ke punggung kuda dan memacunya ke arah perkemahan Imam Husein. Di tengah jalan, Abbas dihadang oleh pasukan Kufah. Tak ada pilihan lain selain mencabut pedang dan mengusir mereka dari hadapannya. Bentrokan antara jawara bani Hasyim dengan pasukan Kufah terjadi. Banyak yang tersungkur di tanah bersimbah darah. Sambil mempertontonkan aksi heroiknya, Abul Fadhl Abbas bersenandung:

Aku tak berpaling dari kematian kala datang menjemputku
Tugas memberi air minum keluarga Nabi ada di pundakku
Aku tak takut, meski hadapi maut untuk tugas itu  
 Zaid bin Warqa’ Al-Juhani yang bersembunyi tiba-tiba muncul membantu Hakim bin Thufail menebas tangan kanan Abul Fadhl. Abbas yang kehilangan tangan kanan mengambil pedang dengan tangan kirinya sambil berkata, “Meski aku kehilangan tangan kanan, namun aku tetap akan membela agama dan junjunganku, Al-Husein putra Rasul.” Hakim bin Thufail kembali menyerang. Kali ini tangan kiri Abul Fadhl Abbaslah yang diincarnya. Tak lama kemudian tangan itupun terlepas dari tubuh suci Abbas. Kehilangan dua tangannya, Abul Fadhl mendekap panji pasukan Imam Husein di dadanya. Gerakan jawara putra Ali itu mengendur. Dia dikepung dari segala penjuru oleh pasukan Ibnu Sa’ad. Beberapa anak panah menghujani pemegang panji Imam Husein itu dan menancap di dada, punggug, wajah, bahkan matanya. Dalam keadaan seperti itu mendadak seorang prajurit Kufah memukulkan besi di kepala Abbas. Abbas tersungkur ke tanah dan berteriak histeris, “Oh Husein abangku.”
 Mendengar jerit suara Abul Fadhl, Imam Husein segera memaju kudanya dan secepat kilat melesat ke arah saudaranya. Bagai singa kelaparan Imam Husein membabat setiap orang yang menghadangnya. Pasukan Kufah kocar-kacir. Tak berapa lama, beliau telah tiba di sisi Abul Fadhl. Dengan lembut Imam meletakkan kepala adiknya itu di pangkuannya. Menyaksikan keadaan Abbas, Imam mendesah dan mengatakan, “Patah sudah tulang punggungku.” Imam Husein bangkit dan dengan sengit menghajar para prajurit Kufah. Pasukan itu dibuatnya kewalahan. Masing-masing berpikir untuk menyelamatkan diri dari tebasan pedang putra Fathimah itu. Menyaksikan musuh yang lari menjauh, Imam Husein berseru, “Di maka kalian yang telah membunuh adikku?  Ke mana kalian yang telah meluluhkan lengan kananku?” Sejenak kemudian Imam Husein kembali memangku jasad adiknya, Abul Fadhl Abbas yang tak lama kemudian menghembuskan nafas terakhir setelah mempersembahkan pengorbanan besar untuk agama dan imamnya. Inna lillahi wa inna ilahi rajiun.

 Imam Abu Abdillah Al-Husein AS kembali ke kemah. Peristiwa yang baru disaksikannya sedemikian pahit hingga seakan-akan melumpuhkan pundaknya. Imam menyeka air mata yang membasahi wajahnya, Sukainah, putri kesayangannya datang menghampiri beliau dan menanyakan perihal pamannya, Abbas. Imam Husein menceritakan apa yang dialami Abbas di medan perang. Zainab yang mendengar untuk sejenak membisu, tak mampu mengurai kata-kata. Namun tak lama kemudian dia menjerit histeris, “Oh Abbas, adikku.”
 Imam menatap sekelilingnya. Hanya tubuh-tubuh para sahabatnya yang bersimbah darah yang tampak. Suara jerit tangis para wanita dan anak-anak di kemah menambah pedih perasaannya. Imam bangkit dan berseru, “Adakah orang yang bersedia membela keluarga Nabi?” Kata-kata beliau membuat jerit tangis mereka yang di kemah semakin menjadi-jadi. Imam Sajjad, putra Imam Husein yang saat itu sedang sakit berusaha berdiri dengan topangan tongkat lalu mengambil pedangnya. Pemuda cucu Nabi itu siap untuk maju ke medan perang. Imam Husein yang melihatnya, segera memerintahkan Ummu Kultsum untuk mencegahnya dan berpesan, jangan sampai dunia kosong dari putra Nabi. 
 Imam lantas menyuruh semua anggota rombongannya yang terdiri dari para wanita keluarga Nabi itu untuk diam. Beliau ingin mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Imam Husein lantas mengambil pedang dan perisai Nabi. Tak berapa lama beliau meminta Abdullah anaknya yang masih berusia enam bulan untuk memberinya ciuman terakhir. Zainab menyerahkannya kepada beliau. Sebuah ciuman suci mendarat di pipi Abdullah. Imam Husein lantas mengangkat anaknya itu dan meminta pasukan Ibnu Sa’ad untuk memberinya minum. Pasukan Kufah yang kesetanan tak menggubris seruan itu. Bahkan Harmalah yang berhati batu membidikkan sebuah anak panah ke arah bayi tersebut. Anak panah mendarat tepat di leher Abdullah. Darah segar membasahi tangan Imam Husein. Imam memenuhi tangannya dengan darah Abdullah lalu melepmparkannya ke langit. Tak ada setetespun yang tercecer di tanah. Beliau berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberiku kemudahan menanggung segala penderitaan ini. Ya Allah, semoga derita ini tidak memudahkan terpisahnya nyawa dari tubuh ini. Tuhanku, aku tahu bahwa Engkau telah memberikan kemenangan kepada kami dan Engkaulah yang akan menuntut balas dari mereka akan perbuatan ini. Engkau pulalah yang menjadikan musibah yang mereka timpakan kepadaku sebagai simpanan untuk hari akhirat. Ya Allah Engkau telah menyksikan sendiri bahwa mereka telah membunuh orang yang paling mirip dengan Rasul-Mu.”
 Tiba-tiba Imam Husein mendengar suara yang memintanya untuk mengembalikan Abdullah ke dalam kemah. “Husein, kembalikan anak itu, sebab dia telah ditunggu oleh perawatnya di surga.” Imam memberikan sang anak kepada adiknya, Zainab. Beliau tahu bahwa ibu Abdullah tidak akan kuasa menyaksikan keadaan anaknya yang dengan leher menganga dibelah anak panah Harmalah. Zainab menerima anak itu sambil mengatakan, “Abangku, tutupilah anak ini. Aku tak kuasa menyaksikan keadaannya.”
Imam Husein menggali sebuah kubur kecil dan memakamkan Abdullah tanpa mencabut anak panah yang menancap di lehernya.  Beliau tahu benar bahwa setelah kesyahidannya, pasukan berkuda musuh akan menginjak-injak tubuhnya dan tubuh para sahabatnya.
 Tak lama kemudian, Imam Husein maju ke medan tempur. Pasukan Kufah dibuatnya kocar-kacir. Ya, Husein tak lain adalah jelmaan Muhammad, Rasululah dan Ali. Dialah yang mewarisi darah Fathimah, Hasan, Hamzah, Ja’far Thayyar, Isa, Musa, Ibrahim, Ismail dan seluruh Nabi pilihan Tuhan. Dialah korban persembahan agung yang dimaksud Al-Qur’an dalam janji Allah kepada Ibrahim. Husein adalah darah Tuhan. Putra Ali itu menyerang kamp pasukan Ibnu Saad dan bersenandung:
Akulah Husein putra Ali
Untuk tunduk, aku tak kan sudi
Kubela keluarga ayahku sampai mati
aku memegang teguh agama Nabi
 Abdullah bin Ammar bin Abi Yaghuts mengatakan: Demi Allah aku tidak pernah melihat seorang seperti Husein yang meski ditimpa berbagai musibah dan menyaksikan sendiri kematian anak-anaknya, para sahabat dan sanak keluarganya, namun tetap tegar dan berperang bagai singa kelaparan hingga membuat pasukan lawannya tercerai-berai. Tak ada seorangpun yang bisa dan berani menghadangnya. Ketangkasan dan kepahlawanan Imam Husein tidak mengherankan bagi sebagian orang termasuk Umar bin Saad yang berseru, “Ingat, Husein adalah putra Ali yang akan menjungkalkan semua jawara Arab. Karena itu kepung dia dari segala penjuru!” menyusul perintah Ibnu Sa’ad, sebanyak empat buah tombak dilemparkan ke arah Imam Husein dari empat arah. Imam Husein praktis terpisah dari perkemahannya. Sekelompok orang dari pasukan Kufah datang beramai-ramai ke perkemahan keluarga suci Nabi.
 Tindakan mereka membangkitkan amarah Imam Husein yang lantas menghardik mereka, “Hei para budak Abu Sufyan, jika kalian tidak beragama dan tidak percaya akan hari akhirat, jadilah orang yang bebas dan merdeka.” Syimr menyergah, “Apa yang kau inginkan hei anak Fathimah?”
Imam menjawab, “Akulah yang berperang dengan kalian, bukan wanita-wanita itu. Selama aku masih hidup jangan sekali-kali kalian mendekati mereka.”
Syimr mengiyakan dan mengabulkan permintaan Imam Husein.
 Seluruh pasukan Kufah memusatkan perhatian mereka kepada Imam Husein. Perang tak seimbang itu semakin sengit. Rasa haus dan dahaga semakin mencekik tenggorokan cucu Nabi itu. Dengan terus menari-narikan pedangnya, Imam Husein AS berjalan menuju sungai Furat. Setelah berhasil menghalau Amr bin Hajaj dan pasukannya yang berjumlah empat ribu orang, beliau sampai di tepi sungai Furat. Tanpa membuang waktu beliau mengambil air dan siap meminumnya. Namun sayup-sayup terdengar suara seseorang yang menegur beliau dengan mengatakan, “Mengapa engkau ingin membasahi kerongkongan dengan air itu sedangkan perkemahan keluargamu diserang oleh pasukan musuh?” Imam Husein mengurungkan niatnya dan secepat kilat memacu kudanya ke arah perkemahan. Dengan gesir beliau menghalau para durjana dari perkemahannya. Kembali Imam Husein AS menjumpai keluarganya dan berpesan, “Siapkanlah diri kalian untuk menghadapi banyak musibah besar setelah ini. Wahai keluarga kenabian, Allah adalah sebaik-baik penolong kalian. Dialah yang akan menjaga kalian dari gangguan mereka. Allah telah menentukan akhir yang baik bagi kalian dan akan mengazab musuh-musuh itu dengan siksaan yang amat pedih. Ingatlah bahwa setiap musibah yang kalian alami akan diganti dengan kenikmatan-kenikmatan yang tak terkira. Karena itu, jangan kalian lemahkan diri kalian dengan jerit tangis.” Setelah mengucapkan kata-kata itu Imam Husein berpamitan dengan mereka.
 Tiba-tiba terdengar suara gelegak Umar bin Sa’ad yang menghardik pasukannya sendiri. “Hei! serang dan habisi dia. Jika tidak, dia pasti akan mengobrak-abrik barisan kalian.”
 Pasukan Kufah segera mengarahkan panah dan tombak mereka ke arah Imam Husein. Beberapa anak panah dan tombak mengenai tubuh beliau. Terdengar suara Imam, La haula wa la quwwata illa billahi al-aliyyil adzhim, “ Tiada daya dan upaya menlainkan dari Allah yang Maha Tinggi lagi maha Agung.
 Sebuah suara ejekan terdengar dari balik barisan Umar bin Sa’ad. “Hei Husein, lihatlah sungai yang tampak segar itu. Tapi sayangnya, engkau tidak akan pernah merasakan air Furat sampai mati kehausan.” Imam Husein hanya memanjatkan doa menjawab kelancangan itu, “Ya Allah, binasakanlah dia dengan rasa haus yang mencekik.”
Doa Imam Husein terkabul. Orang itu terkena rasa dahaga yang mencekik namun tak kunjung reda meski telah meminum banyak air. Akhirnya dia tewas mengenaskan dengan perut yang kekenyangan air tanpa mampu mengusir rasa hausnya.
 Abul Hunuq Al-Ju’fi membidikkan panahnya ke arah Imam Husein AS. Anak panah itu menancap tepat di dahi beliau. Imam menariknya dari dahi suci itu. Tak ayal, darah segar langsung mengalir dengan derasnya dan membasahi wajah beliau. Beliau mengatakan, “Ya Allah, saksikanlah apa yang dilakukan kaum ini terhadapku. Ya Allah binasakanlah mereka. Jangan Engkau biarkan seorangpun dari mereka hidup di bumi ini. Tuhanku jangan Engkau ampuni kesalahan mereka.”
 Kepada para durjana itu, Imam Husein berseru, “Hei kalian semua, betapa buruknya perlakukan kalian terhadap keluarga Nabi kalian sendiri. Demi Allah, aku selalu mengharapkan kemuliaan syahadah. Allah-lah yang kelak akan menuntut balas darahku dengan cara yang tidak kalian duga sama sekali.”
 Hushain bin Umair menyela, “Hei Husein, bagaimana Tuhan akan menuntut balas darahmu dari kami?” Imam menjawab, “Allah akan menghukum kalian dengan kejahatan di antara kalian sendiri. Saat itulah, Dia akan menurunkan azab-Nya atas kalian.”
 Sejenak Imam Husein menghentikan pertempuran untuk sedikit beristirahat. Tanpa diduga, seorang durjana melemparkan batu besar ke arah beliau dan mengenai wajahnya. Kembali darah segar mengucur dari wajah Imam Husein AS. Beliau segera menarik ujung baju dan membalut lukanya dengan kain itu.  Namun di saat yang sama seorang pendurhaka membidikkan anak panah bermata tiga ke arah Imam Husein dan bersarang tepat di dada beliau. Terdengar suara Imam yang mengatakan, “Bismillah wabillah wa a’la millati rasululillah.”  Cucu nabi itu mengangkat tangannya dan berdo’a, “Ya Allah, Engkau saksikanlah bahwa mereka telah membantai satu-satunya cucu Nabi-Mu di muka bumi ini.”
Imam Husein AS mencabut anak panah itu dari punggungnya. Darah segar mengalir deras dari luka itu. beliau mengambil darah itu di telapak tangannya dan melemparkannya ke atas seraya mengatakan, “Ya Allah, mudahkanlah kematian ini.” Imam Husein kembali meraup darahnya dan berkata, “Aku ingin segera bertemu Allah dan Rasul-Nya dalam keadaan seperti ini.”

Kucuran darah itu melemahkan gerak Imam Husein yang lantas terduduk di padang gersang Karbala. Mendadak Malik bin Nashr datang. Sambil mengucapkan kata-kata penghinaan kepada putra Fathimah itu, Malik mengayunkan pedangnya ke arah Imam Husein. Pukulan itu tepat mengenai kepala Imam Husein. Darah segar kembali memancar dari kepala beliau. Hani bin Tsabit berkata, “Ketika Husein terduduk, aku menyaksikan sekelompok prajurit Kufah datang menyerang dan mengepungnya. Tiba-tiba Abdullah bin Hasan, yang masih sangat belia datang untuk membela pamannya. Saat Bahr bin Ka’ab hendak memukulkan pedangnya ke arah Husein Abdullah berseru, ‘Hei anak wanita jalang, Apa yang hendak kau perbuat terhadap pamanku?” Bahr berpaling dari Imam dan melayangkan pukulan pedangnya ke arah Abdullah. Bocah cucu Nabi itu menangkis pukulan Bahr dengan tangannya. Tak ayal tangan kecil itupun terbabat dan terlepas dari tubuh Abdullah. Abdullah menjerit histeris, “Paman, mereka memotong tanganku.” Imam Husein mendekap keponakannya itu dan mengiburnya, “Bersabarlah, karena sebentar lagi Allah akan mempertemukanmu dengan ayah dan kakekmu yang shaleh.” Tiba-tiba Harmalah bin Kahil membidikkan panahnya ke arah Abdullah. Abdullah gugur di pangkuan pamannya, Al-Husein AS.

Imam Husein berada di tengah-tenah arena pembantaian. Tapi tak ada seorangpun yang berani membunuhnya. Masing-masing menolak untuk tampil di lembar sejarah sebagai pembunuh cucu Rasul. Syimr yang menyaksikan keadaan itu menyeringai, “Apa yang kalian tunggu? Cepat habisi dia.” Zar’ah bin Syuraik maju memukulkan pedangnya di pundak kiri Imam Husein. Di saat yang sama, Hushain membidikkan anak panahnya ke tenggorokan beliau, sementara seorang lagi mengayunkan pedang ke leher Al-Husein. Sinan bin Anas ambil bagian. Dengan kejamnya, dia menusuk dada putra Fathimah itu dibantu oleh Sholeh bin Wahb yang memukul pinggang beliau dengan pedangnya.

Peristiwa segera disusul oleh teriakan histeris para wanita suci keluarga Nabi. Ummu Kultsum berseru, “Ohhh, Huseinku.” Zainab yang tak mampu menahan diri menjerit histeris, “Ohhh, Husein, setelahmu, dunia ini tak berarti lagi. Ohhhh, andai saja langit ambruk ke bumi ini.” Zainab segera berlari ke arah abangnya sambil berseru, “Adakah orang muslim di antara kalian? Lihatlah apa yang mereka perbuat terhadap buah hati Rasul!”

Umar bin Sa’ad maju, “Habisi Husein secepat mungkin,” perintah Ibnu Saad. Syimr bin Dzil Jausyan maju dan duduk di atas dada Imam Husein. Sekejap kemudian, kepala cucu Rasul itu terlepas dari tubuhnya dan berada di tangan si durjana Syimr bin Dzil Jausyan.
 Allahu Akbar - Lailaha illallah
 Mendung selimuti langit, tebarkan senandung duka
Mentari Karbala tampil bersungut suguhkan prahara
Deru derap kaki kuda dendangkan irama luka
Bunga-bunga suci kenabian terbujur di Karbala

Sebuah drama pengorbanan telah dipentaskan
Para syuhada gugur, tinggalkan kisah kebebasan
Jiwa-jiwa suci melayang, menolak kehinaan
Pengorbanan sejati demi agama dan kemuliaan

Darah Husein sirami sahara Nainawa
Tebarkan aroma harum taman nirwana
Karbala kini rumah abadi cucu Musthafa
Bersama keluarga dan para sahabat setia